REVERSE
Andika berjalan menuju kelasnya dan tak
sengaja dari arah yang berlawanan terlihat Dimas menghampirinya.
“Hei, darimana?” Dimas mendahului.
“Eh harusnya aku yang bertanya padamu.
Tadi aku ke perpustakaan kau tidak ada disana. Biasanya jika tidak ke kantin
kau pasti berada disana kan?”
“Ah, aku baru saja dari lapangan tenis.”
Dimas berjalan menuju mejanya, diikuti Andika.
Andika menggeser kursinya untuk diduduki,
“Hn? Ada apa disana?”
“Tidak ada apa – apa. Aku hanya berbicara
dengan Lyan.”
“Oh….” Andika menganggukkan kepalanya.
Dalam hatinya bertanya – tanya apakah Dimas bisa membantu apa yang sekarang ada
dipikirannya. “Hem… sepertinya ada yang ingin aku ceritakan padamu.”
Dimas menutup kembali buku yang diambilnya
dari tas, “Hn?”
“Aku tidak tahu ini tepat atau tidak untuk
bertanya pendapatmu.”kedua tangannya saling bertautan diatas meja.
Dimas mengubah posisi duduknya, “Kalau
begitu, aku juga ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Apa?”
“Hem.. jadi seperti itu. Mengapa mereka berdua mengalami hal yang sama?” Andika menggaruk tengkuknya.
“Hem.. jadi seperti itu. Mengapa mereka berdua mengalami hal yang sama?” Andika menggaruk tengkuknya.
“Hem..” Dimas mengangkat kedua bahunya dan
mengalihkan pandangannya kedepan kelas.
“Tapi apa kau yakin akan membantunya dalam
mengingat semua ingatannya yang hilang?”
“Heem..” Dimas mengiyakan.
“Kau juga berpikiran yang sama denganku
rupanya.”
“Bukankah itu bagus?”
“Maksudmu?”
“Bukankah ini adalah kesempatanmu untuk
membohonginya?”
“Tadinya aku berpikirian seperti itu. Tapi
aku mengurungkan niatku. Hal itu lebih buruk dibanding aku ditolaknya berkali –
kali.”
“Haahh.. akhirnya baru kali ini aku bangga
padamu!”
“HAH?”
Dimas hanya tersenyum jahil pada
sahabatnya itu. Dalam benaknya, ‘Aku sendiripun tida begitu yakin dia akan
percaya semua cerita yang aku ungkapkan nantinya. Bisa saja itu hanya
kebohongan. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi aku tak ingin dia dekat kembali
dengan laki – laki itu.’
***
Bel sekolah berbunyi,
“Hei, hari ini jadi
mencari tempat bekerja?” ucap Reihan.
Eka menjawab dengan
anggukan.
“Oke. Sepertinya diujung
dekat halte bus, aku pernah melihat sebuah kafe membuka lowongan pekerjaan. Siapa tau disana
membutuhkan pekerja parttime seperti kita.”
“Hah? Tunggu dulu. Kita?”
“Iya.” Ucapnya yakin.
Eka menyipitkan kedua
matanya, “Bukankah hanya aku yang ingin mencari pekerjaan itu.”
“Aku juga akan ikut. Ikut
menemanimu..”
“Apa – apaan sih. Tidak
usah seperti itu. Aku jadi tidak enak.”
“Tidak apa – apa.
Lagipula aku tidak akan meninggalkanmu sendirian dalam kondisi seperti ini.
Bagaimanapun aku adalah teman terbaikmu saat ini, teman yang paling mengerti..
bukankah seperti itu?” Reihan mengucapkannya dengan berbinar – binar dan
berbunga – bunga. Tanpa disadari Eka telah meninggalkannya keluar kelas.
“Menjijikan.”
“Eh, hoi tunggu aku. Kau
mau kemana?” ia berlari menghampiri Eka dan merangkulnya. “Jangan tinggalkan
aku dong.”
“Apa sih. Geli tau!”
protes Eka menyingkirkan tangan Reihan dari bangkunya.
“Hahahhaaa….”
-
Klontang – suara bel kafe itu berdentang ketika terbuka.
“Syukurlah, akhirnya aku
diterima dan mulai besok bisa langsung bekerja.” Eka dengan semangatnya.
“Hem, aku juga. Aku tak
menyangka kalau bisa semudah ini.”
“Apaan sih, kau tidak
ingat kalau kau ini memohon – mohon sambil menangis menjijikan seperti itu.”
“Hahahaaa.. itu hanya
taktik.”
“Alasan! Sudah aku mau
pulang.”
“Aku juga. Hehe..” Reihan
berjalan berdampingan dengan Eka, “Hem, kenapa kau ingin bekerja paruh waktu
sekarang.”
“Ah, aku hanya ingin
meringankan beban ibuku.”
“Wah.. kau anak yang baik
rupanya. Apa sekarang kau sudah insyaf.”
“Hey, apa dulu aku begitu
parah?”
“Hem.. tidak juga, kau
hanya terlalu acuh. Bahkan tidak peduli apapun.”
“Seburuk itukah?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Jangan mengada – ngada.”
“Tidak aku hanya
mengucapkan yang sebenarnya kok.”
Eka terdiam sejenak.
“Maka dari itu mulai hari ini aku harus berubah untuk menjadi lebih baik. Jika
memang benar dengan apa yang kau katakan, kalau aku dulu sangat buruk.”
“Itulah yang aku tunggu
dari dulu kawan.kau harus peduli dengan keluargamu dan sekitarnya.”
Eka mengangguk – angguk.
***
“Haaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhh
hari ini sangat panas…” eluh panjangnya ketika Lyan merebahkan diri dikasur
empuknya itu. Setibanya dirumah ia langsung menuju kamar dan menyalakan AC
kamarnya.
‘Tok
tok’
“Hn?
Siapa?” Lyan bangun dan mendudukan diri ditepi tempat tidur.
“Aku
kak. Boleh aku masuk.”
“Ah,
masuklah.”
Adik
perempuan Lyan yang bernama Wulan itu menggeser kursi dihadapan kakaknya.
“Hem.. kaka da sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu. Tapi kau harus berjanji
jangan sampai ibu dan ayah tau.” Ucapnya sambil berbisik.
“Eh,
apa itu. Kenapa dengan nada bicaramu yang seolah berbisik itu.”
“Ssstt..
tenanglah.”
Lyan
menganggukkan kepala.
“Kak,
apa yang kau lakukan saat mengalami hal yang belum pernah kau ketahui
sebelumnya?”
“Hah?
Hal apa? Semacam apa?”
“Perubahan
pada dirimu kak, apalagi!”
“Perubahan
pada diriku? Aku tidak mengerti apa maksudmu. Katakanlah dengan kata – kata
yang aku mengerti. Atau to the point saja.”
“Tidak
bisa.”
“Mengapa
tidak bisa?”
“Seperti
kau menyentuh bagian dari tubuhmu dan itu membuatmu merinding dan seperti ada
rasa kejut.”
Lyan
membulatkan kedua matanya, ‘Apa – apaan bocah ini. Bahasa yang dikeluarkannya
fasih sekali. Ngeri..’
“Tapi
disatu sisi kau juga merasakan sesuatu yang keluar dari tubuhmu begitu saja
tanpa kau sadari dan kau mau.” Wulan menjelaskan dengan wajah serius dan
mengekspresikannya dengan kedua tangan dengan paham sekali.
Dahi
Lyan mengkerut, ‘Tidak mungkin, mana mungkin anak sekecil ini mengerti tentang
hal itu…. Aku harus memastikannya dan menghentikan tingkahnya ini. Ini sangat
mengerikan.’
“Kak..
jawab aku.”
“Ah,
apa kau sering melakukan hal itu?”
“Hem..
kalau hal yang pertama beberapa kali. Tapi untuk hal yang kedua sepertinya baru
kali ini.”
“Apa!”
Lyan mencengkram kedua bahu adiknya itu, “Wulan, kau ini masih sangat kecil
untuk mengetahui apalagi melakukan hal semacam itu. Dan itu sangat tidak baik
untukmu.”
“Hem?
Tapi beberapa temanku berkata dan menanyakan kepada kakaknya kalau hal itu
sangat wajar.”
“Hah?”
Lyan terkejut, “Pokoknya kau tidak boleh seperti itu lagi.”
“Tapi
kak, itu mengalir begitu saja. Lihatlah kebawah..”
Lyan
mengikuti perintah adiknya dan ternyata…. “Ah…. Kau mengalami menstruasi
rupanya dan hal yang pertama tadi adalah tumbuh sesuatu didadamu.”
Wulan
mengangguk – angguk. "Wajar kan kak. Tapi Ibu jangan diberi tahu nanti dia heboh
sendiri.”
Lyan
menghela nafasnya panjang, ‘Perkiraanku terlalu awal berpikir buruk ternyata..
hahaha..’. “Baiklah lalu apa yang kau butuhkan?”
“Apa
kau punya pembalut kak? Dan apa dulu kau diam saja pada saat pertama seperti
ini?”
“Yang
jelas kau harus membersihkan itu dikamar mandi dan pakai ini segera. Setelah itu
beri tau ibu agar dia bisa membelikan pembalut padamu dan miniset untukmu.”
“Hem..
begitu rupanya.. oke..” Wulan berlalu dari kamar Lyan.
“Hah..
pikiran yang sangat konyol. Bisa – bisanya aku berpikiran seperti itu pada
adikku.. hahahaa…” Lyan merebahkan lagi tubuhnya. Ia memandangi langit – langit
kamarnya, teringat wajah pacar dinginnya itu. “Apa – apaan sih dia itu.
Kenapa juga aku bisa berhubungan dengannya. Dia memang tampan bahkan sangat
tampan dan juga pintar. Tapi jika aku mengingat kejadian pagi tadi rasanya aku
ingin mengucek – ucek wajahnya dengan tanganku. Kesal..”
Lyan
bangun dari tidurnya dan menghampiri laci meja belajarnya, “Ini diaryku ya… aku
harus membacanya lagi agar lebih paham perasaan apa yang aku miliki disini
dengan laki – laki dingin itu.”
***
Jam
pelajaran pertama sudah selesai,
Ponsel
sari bergetar, ada pesan masuk disana.
-
Aku
perlu bicara denganmu. Perihal ingatanmu.
-
Ku
tunggu jam istirahat di taman sekolah
“Dari
Andika..” lirihnya.
Andika
sudah berada ditempat pertemuannya.
“Andika,
maaf sudah membuatmu menunggu.” Ucap Sari baru tiba.
“Ah,
tidak kok. Aku baru saja sampai.”
“Begitu.
Aku duduk ya.”
Andika
menganggukkan kepalanya.
“Jadi
hal pertama apa yang ingin kau ceritakan padaku?”
Andika
terdiam sesaat, “Hemm..”
Dilain
tempat dengan waktu bersamaan.
Dimas
berdiri didepan kelas Lyan, ia berniat ingin bicara dengannya. Namun hal
pertama yang dia lihat adalah bertemu dengan Eka.
“Eh,
kau dari kelas sebelah ya?” tanya Reihan ketika akan keluar kelas.
“Ah
ya.”
“Sedang
menunggu siapa atau kau ingin bertemu dengan...”
“Aku
menunggu Lyan keluar.”
“Mau
aku panggilkan?” tawar Reihan.
“Ah,
jika tidak merepotkan.”
“Tidak
masalah.”
Reihan
meninggalkan Dimas dan Eka berdua. Dan mereka diam seribu Bahasa hanya sekilas
melirik satu sama lain.
‘Apa dia ini pacarnya?’ gumam Eka dalam hati.
Lyan
kemudian mengikuti Reihan keluar kelas dengan wajahnya yang datar.
“Ini
orangnya yang mencarimu.” Reihan menunjuk Dimas.
Lyan
sontak terkejut dan segera menghampiri Dimas. “Oh, ada apa kau mencariku?”
“Aku
perlu bicara denganmu. Tapi tidak disini.”
“Hn?
Bukankah kau bilang tidak mau berjalan dekat – dekat denganku?” jawabnya dengan wajah cemberut.
‘Rupanya
dia merajuk. Lucunya ekspresi itu.’ Ucap Dimas dalam hati. “Sudahlah ayo ikut
aku.” Dimas membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, Lyan mengikuti
dibelakangnya.
“Hey,
apa itu pacarnya?” tanya Eka pada Reihan.
“Ya. Memangnya kau tak ingat?"
"Tidak."
"Hem? Bukankah kau dulu…… eh” Reihan hampir saja mengungkapkan sesuatu.
"Tidak."
"Hem? Bukankah kau dulu…… eh” Reihan hampir saja mengungkapkan sesuatu.
“Apa?”
tanyanya pada Reihan.
“Tidak
ada apa – apa.. hehee”
“Mencurigakan
sekali tertawamu itu.”
“Sudahlah
ayo kita kekantin.”
***
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar