Selasa, 09 Desember 2014

Cerpen - KETIKA CINTA ITU TERBALAS

KETIKA CINTA ITU TERBALAS
Ayu Berlian
kepada saya
29 menit yang lalu
Detail


KETIKA CINTA ITU TERBALAS


Aku masih termangu mengingat ucapan Ibu Dosen Muliyanah, beliau adalah Dosen mata kuliah agama islam dikampusku, saat itu beliau sedang mengajarkan kami mengenai hal pernikahan, diselingan pengajarannya, beliau sempat mengatakan kepada kami semua mahasiswa dikelasnya bahwa hal yang terindah dalam hidupnya adalah ketika perasaan hatinya terbalas dengan ucap ijab kabul dari suaminya pada saat keduanya menikah. Aku sebagai wanita yang ingin menjadi muslimah merasa ingin hal itu terjadi padaku, tapi apakah mungkin? Ah, tidak ada yang tak mungkin, jika kita mau berikhtiar dan bertawakal.
Sore itu, ketika jam kuliahku telah selesai, aku menapakkan kaki pada anak tangga menuju lantai dasar kampusku, tiba – tiba aku bertemu dengan salah satu teman akrab kakakku, namanya Ahmad Fahri, cukup dipanggil Fahri katanya. Aku sempat dikenalkan oleh kakakku pada saat keluargaku mengadakan acara syukuran dirumah pada beberapa minggu lalu.
Awalnya aku tak merasakan hal apapun padanya, namun entah saat ini ada perasaan aneh dalam diriku. Rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya, perasaan yang belum berani aku ungkapkan dengan mengira – ngira.
“Assalamualaikum Syifa.” sapa salam dari Mas Fahri, begitu aku memanggilnya.
“Walaikumsalam, Mas Fahri.” jawabku, sambil menundukkan kepala, jujur aku tak berani untuk menatap matanya.
“Mau kemana, Syifa?” tanya Mas Fahri padaku tanpa mengkomplain atas menunduknya wajahku dihadapannya.
“Syifa mau pulang Mas, sudah selesai jam kuliahnya.” jawabku yang masih dalam keadaan menunduk.
“Oh begitu, ya sudah hati – hati dijalan ya.”
“Iya Mas.”
“Salam untuk Iqbal ya, Assalamualaikum.” katanya sambil berlalu.
“Walaikumsalam.” jawabku.
Setelah Mas Fahri berlalu, aku baru menaikkan wajahku kembali dan berjalan kaki untuk pulang. “Untung saja aku bisa menjaga pandangan ini. Terima kasih ya Allah.” hatiku berkata.
***
Buku harianku tergeletak diatas meja kamarku, dengan bagian dalam buku terbuka, sengaja aku membiarkannya dengan sebuah pulpen tergeletak diatasnya, karena aku sedang sibuk merapikan kamarku yang saat itu sedang berantakan, entah siapa yang membuat kamarku berantakan. Mungkin kedua keponakanku yang senang sekali main – main dengan kamarku, katanya nyaman dan sejuk suasananya. Ya memang, aku sengaja memberikan nuansa hijau serta sedikit biru muda untuk menghiasi warna dikamarku, warna favoritku adalah warna hijau.
Setelah merapikan seisi kamarku, aku langsung duduk dan siap untuk menulis hari – hariku di buku harianku, hanya itu yang ku bisa lakukan untuk mengungkapkan semuanya yang aku rasakan.
Tangerang, 02 Agustus 2011
Assalamualaikum buku hariannku..
kita berjumpa lagi pada hari ini, tepat pada tgl 02 Agustus 2011, hari Selasa. Aku menggoreskan tinta dalam tubuh putihmu.. hihi.. hiperbola banget ya aku. Hari ini kesekian kalinya aku mengungkapkan padamu bagaimana perasaanku, jujur aku bingung, apa aku hanya mengaguminya atau merasakan hal lain. Ah aku tak berani mengira – ngira. Seandainya memang ada hal lain, biarlah bersarang di hatiku saja jangan sampai dia tahu perasaanku.
Dia laki – laki sholeh, ibadahnya sangat rajin baik dalam sholat maupun puasa – puasa sunahnya. Dia sopan, santun terhadap orang tua, dan sangat menghargai orang lain apalagi wanita. Duh apakah dia sudah ada yang memiliki?
Semoga semua dapat terjawab dengan kuasa-Mu ya Allah.
Wassalamualaikum.
Syifa Ramadhani
Ku tutup buku harianku setelah selesai aku tulis, sekilas wajahnya terbayang dimataku lalu langsung aku tepis bayangan itu, aku tak mau terlalu berharap banyak. Ku lirik jam didinding kamarku, tepat pukul. 16,00 wib, waktunya aku mandi dan menunaikan shalat ashar. Aku segera bergegas.
***
  • Kring kring – suara bel telepon rumahku berbunyi.
Aku menghampiri telepon itu dan mengangkatnya, ku ucap salam, “Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, selamat sore, bisa saya bicara dengan Iqbal?” balas dari seberang sana.
Perasaanku tak keruan, entah rasanya aku mengenal suara ini, jangan - jangan!
“Halo, halo?” terdengar suaranya lagi, mengetahui aku tak menyahut.
Aku tersadar dari sekejap kejutku mendengar suaranya, “Aduh kenapa perasaanku begini?” gumamku dalam hati. “Ah, ya Halo. Tunggu sebentar ya. Saya panggilkan.” jawabku sambil kutaruh gagang telepon di samping badan telepon itu. Aku bergegas ke kamar kakakku, kemungkinan sore seperti ini ia sedang santai – santai membaca buku dikamarnya.
Ku buka, pintu perlahan sampai aku lupa mengucapkan salam, kakakku terlonjak kaget. “Syifa!” ucap kakakku. “Kenapa nggak ketuk pintu atau ngucap salam dulu sih.” kesal kakakku.
“Maaf Mas, aku lupa.” ucap maafku pada Mas Iqbal.
“Ya sudah, ada apa?” tanya Mas Iqbal.
“Ada telepon, dari anu... ehmm... duh aku nggak tahu Mas.” jawabku terbata bibirku bergetar. “Aku tinggal dulu ya Mas.” ucapku sambil berlalu. Mas Iqbal bingung melihat tingkahku, lalu ia mengangkat telepon itu.
“Halo.”
“Halo Iqbal, ini Fahri.” jawabnya dari seberang.
“Oh, Fahri. Dikira siapa?”
“Loh, kenapa Bal? Bukannya Syifa tahu bahwa aku yang telepon.”
“Dia bilang nggak tahu, sambil nunduk malu begitu.”
“Oh, begitu ya.”
“Ehm, jangan – jangan adikku naksir kamu Ri.” canda Mas Iqbal.
“Ah, yang benar saja kamu Bal. Tidak mungkin adik cantikmu itu naksir sama aku.” balasnya yang terdengar suarasumingrahnya.
“Kemungkinan itu ada loh Ri.” yakin Mas Iqbal.
“Ya mungkin saja. Oh ya rencana kita bertemu besok siang jadi nggak?”
“Oh, course.”
“Ok. Kalau begitu, aku sudahi dulu ya teleponnya. Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Pembicaraan itu ditutup, Kak Iqbal hanya tersenyum – senyum kecil. Tanpa sepengetahuannya, dibalik dinding aku mengupingnya sambil tersenyum kecil. “Ah, ini perasaan cinta bukan ya?” tanyaku dalam hati.
***
Tak terasa matahari akan terbenam dengan indahnya, ku pandangi senja itu sedari tadi. Kebiasaan setap sore – soreku, dimanapun aku pasti meyempatkan melihat senja itu. Terasa sangat indah kuasa-Mu ya Allah. Dari belakangku, Kakak iparku menghampiri, ia bernama Aisyah.
“Syifa, sedang apa?” tanya Mba Aisyah.
“Ah, sedang menanti matahari terbenam Mba. Syifa suka melihat senja sore seperti ini.”
“Oh.” gumamnya. “Ehm.. Syifa kapan kuliahmu selesai?” tanyanya melanjutkan.
“Dua Semester lagi Mba, kenapa?”
“Nda, Mba hanya tanya saja. Lalu setelah lulus, mau melanjutkan kemana? Kuliah S2?”
“Pengennya sih Mba, tapi sebelum itu Syifa ingin jadi guru pesantren Mba, kaya Ibu di Semarang.”
“Oh.” ucap Mba Aisyah sambil membentuk huruf O pada bibirnya. “Lalu, tidak ingin menikah?” tanyanya tiba – tiba.
Aku tersontak kaget mendengar pertanyaan Mba Aisyah terakhir itu, “Ehm.. Belum tahu Mba.” sambil nyengir aku menjawab.
“Loh, memangnya belum ada calon toh?”
Aku menyengir lagi, “Belum Mba.”
“Loh, kok belum?” sela Mba Aisyah sambil menyerenyit dahi.
“Belum ada yang mau dengan Syifa, Mba.”
“Hus, nda boleh berkata begitu.”
“Lah, sampai sekarang Syifa masih sendiri ko Mba.” pasrahku.
“Hmm.. mungkin Syifa belum membuka hati.” sindirnya.
“Ah, Mba. Syifa belum berani.”
“Loh, kenapa toh?”
“Syifa nunggu saja Mba, nunggu dilamar.”
“Nah tuh nunggu dilamar, pasti sudah ada yang disukai toh?” selanya.
“Eh, nda ada Mba.” selakku. “Waduh kenapa keceplosan gini.” gumamku dalam hati.
“Nda apa, ngomong saja sama Mbamu ini, wong orang tuamu di Semarang, disini kamu tinggal sama Mas Iqbal dan Mba. Kalau kamu nda bisa cerita sama Mas Iqbal bisa cerita sama Mba, kali saja Mba bisa bantu.” rayunya.
Aku terdiam sejenak, “Apa aku cerita saja ya kebingungan perasaanku ini?” tanyaku dalam hati. “Bagaimana ya Mba?” tanyaku.
“Cerita saja.”
“Ah, nda Mba, nda ada apa – apa kok?”
“Yakin.” bujuknya sambil menyonggel bahuku pelan.
“Yakin sekali Mba.” jawabku sembari mengangguk kepala.
“Ehm.. ya sudah kalau begitu.”
Aku hanya tersenyum, aku tak mau ada orang lain yang tahu perasaanku ini. Aku takut menyalah artikan perasaan ini.
***
Siang itu, di Masjid dekat kampusku. Mas Iqbal dan Mas Fahri melakukan pertemuan antar dosen - dosen dikampusku, entah mereka membicarakan apa. Sekilas aku melihat raut wajah Mas Fahri, serasa hatiku ingin melompat dan ada rasa tak keruan, darah mengalir dengan derasnya. “Ya Allah, subhanallah, apa yang kurasa dalam hati ini benar – benar cinta, apakah aku jatuh cinta dengan Mas Fahri?” ucapku dalam hati. Tak kusadari sedari tadipun, ada seseorang yang tengah memperhatikan aku dari kejauhan.

Tepat pukul 17,00 wib, sore ini. Keadaan rumah menjadi hening dan tak biasanya seperti ini, kedua keponakanku tidak ada dirumah, entah mereka ada dimana. Mba Aisyah dan Mas Iqbalpun tak ada dirumah, kemungkinan mereka pergi bersama dengan anak – anak mereka sedari tadi . “Ah! Aku sendirian dirumah” gumamku sembari aku berjalan ke atas balkon rumah, menanti senja itu datang.
Angin sore berhembus dengan lembut, membelai tudungku searah dengan semilir angin, aku terbawa oleh suasananya. Namun, tiba Mba Aisyah yang tak kusadari ada disampingku.
“Syifa, ayo ikut sama Mba ke ruang tamu.”
“Ada apa Mba?” tanyaku yang saat itu sempat kaget karena Mba Aisyah membuyarkan lamunanku.
“Sudah ikut saja, ada yang ingin bertemu denganmu.” paksa Mba Aisyah dengan lembut.
Terpaksa aku meninggalkan saat – saat senja itu hilang dari tatapanku. Aku mengikuti langkah Mba Aisyah yang ada di hadapanku. “Kenapa hatiku nggak keruan begini ya?” tanyaku dalam hati. Langkah demi langkah seakan menandakan akan terjadi sesuatu yang berarti dalam hidupku. Ruang tamu itu seakan mendekat dengan segera, ku lirik dari sudut – sudut dinding rumahku, ada suasana kebahagiaan disana. “Mas Fahri?” sontakku dalam hati, bertanya – tanya kenapa ada Mas Fahri disana.
***
Aku tersenyum, tak henti aku tersenyum dan tak ada hentinya aku bersyukur, mengucapkan Asma Allah. Aku bahagia saat ini, tepat pada tanggal 4 Agustus 2011, hari ini adalah hari yang berarti dalam hidupku, ketika akan saat itu, aku membayangkannya.
“Syifa, duduklah.” ucap Mas Iqbal mempersilahkan aku duduk seketika aku datang, dengan senyuman hangatnya. Namun aku tak memandangi wajah itu yang berada dihadapan Mas Iqbal.
“Ada apa ya Mas?” tanyaku sembari aku duduk disamping Mba Aisyah.
“Begini, Fahri, begitu kamu kenal orangnya. Saat Mas kenalkan padamu Syifa. Beberapa minggu kemudian ia mengatakan hal perasaannya pada Mas. Dan kemarin Fahri bicara pada Mas bahwa ia ada niat untuk melamarmu.”
Aku terdiam, ada perasaan yang menusuk begitu hangat dan selaras dengan derasnya aliran darahku. Tiba wajahku merona merah, aku malu sekaligus bercampur dengan perasaan senang. “Ya Allah, Kau menjawab semua tanyaku. Alhamdulilah.” ucap syukurku dalam hati.
“Betul Syifa, Aku berniat untuk melamarmu, karena jujur ketika aku bertemu denganmu ada perasaan lain yang aku rasakan. Maka dengan itu, aku berniat untuk melamarmu melalui Kakakmu. Apakah kamu menerimaku?” jelasnya dengan mantap. Matanya bersinar berharap jawaban “Iya” dari mulutku, aku melihatnya, ini yang kedua kali aku melihat matanya.
Pandangan kami bertemu dalam sekejap, aku menunduk. Menahan rasa nervousku yang sedari tadi tak menghilang dari dalam diriku. Aku menghela nafas lembut, “Syifa.. ehm.. Syifa menerima Mas Fahri untuk menjadi Imam Syifa.” jawabku terbata dan bergetar.
Tergores senyum bahagia pada semua orang yang berada di dalam ruangan itu, Mas Fahripun tersenyum dengan lega. Ternyata Mas Iqbal sudah menceritakan semuanya pada Ibu dan Ayah di Semarang, mereka menyetujuinya, dan Mas Iqbal menjadi wakilku.
“Terima kasih ya Allah, atas karunia-Mu ini. Aku tak henti bersyukur pada-Mu.” ucapku dalam senyum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 6

The Handsome freak Chapter 6 Previous  1 ,  2 ,  3 ,  4 ,  5 Title : Fanfiction Chapter Genre : Romance, Comedy Ca...