The world of dreams and two pendants
Chapter 2
Genre : Fantasi, romance
Genre : Fantasi, romance
This first i'am writing for a story about fantasy..
Just for my hoby for read a comic and watch a anime movie..
Happy reading and sorry for typo.. ^^
And don't plagiat!
Previous Chap 1
***
Ina dan
Fazi berjalan menyelusuri hutan setelah pertemuan awal mereka hari ini. Ina
berjalan didepan Fazi tepatnya, kemudian tiba – tiba ia terhenti karena
mendengar sesuatu yang mengusik pendengarannya.
Fazi
menyadari, “Eh? Ada apa?”
“Apa kau
mendengar suara desiran air?” Ina menoleh kearah Fazi berdiri.
“Hem…”
Fazi mencoba mendengar suara disekelilingnya. “Ah, sepertinya dari arah sana.”
Fazi menununjukkan arah suara itu.
Ina
langsung beranjak kearah suara desiran air itu dan Fazi mengikutinya.
‘Apa ini
surga? Air terjunnya indah sekali’ aku nampak takjub dengan sungai yang
kutemukan beberapa menit yang lalu. “Apa aku mimpi? Ada aliran sungai disini?
Airnya jernih sekali.” Aku berlari ketepi sungai itu dan mencoba mengambil
segenggam air dikedua tanganku, “Wah jernih sekali airnya.” Aku membasuh
wajahku, “Ah.. rasanya segar. Sudah lama aku tidak merasakan sesegar ini
mencuci wajahku.” Aku tersenyum pada bayanganku sendiri di sungai itu, “Benar –
benar sangat jernih. Benar kan Fa…….” aku tertegun dengan pemandangan didepanku
membuat tubuhku bahkan wajahku menjadi kaku. “Aaaa……..” teriakku seketika
ketika melihat Fazi yang sudah bertelanjang dada membasuh tubuhnya tak jauh
dari tempatku.
Aku
berhasil mencari tempat untuk menyembunyikan tubuhku dan apa yang kulihat tadi,
“Apa tadi? Sangat tidak sopan!” omelku. Aku yakin wajahku masih memerah.
“Hei,
apa – apaan kau ini. Berteriak seperti itu. Apa aku terlihat seperti penjahat.”
Dia sudah berada dihadapanku dengan pakaiannya yang komplit bak prajurit.
Aku
berdiri berhadapan dengannya, “Kau ini. Apa kau tidak sadar bahwa ada seorang
wanita bersamamu? Bagaimana bisa kau bertindak seperti itu didepanku!” protesku
dengan menggembungkan kedua pipiku.
Dia
hanya tersenyum dan memalingkan wajahnya, “Hah!” ia menghela nafasnya. “Memang
apa salahnya?” tanyanya tanpa dosa dengan mengangkat kedua tangan setara dengan
bahunya.
“Apa?
Kau ini.. rrggghhh..” aku berhasil menendang kaki kirinya hingga ia terjatuh.
“Aahhh…”
ia mengelus – elus betisnya yang kutendang tadi. “Kau ini wanita apa sih? Kasar
sekali.”
“Kau itu
laki – laki mesum!”
“Apanya
yang mesum. Aku hanya ingin membasuh tubuhku. Aku hanya ingin mandi. Apa itu
salah?” ia mulai terlihat geram.
“Tapi
tidak didepanku tau!” aku tak kalah geram.
Aku dan
dia saling menatap tajam dan beberapa lama kemudian kami saling membuang muka
kearah berlawanan.
***
“Sudah
kubalut dengan perban, semoga kakimu cepat pulih.” Ucapnya sambil menaruh
perlengkapan obat dimeja.
“Ah,
terima kasih.”
Dia
hanya mengangguk.
“Hmm..
a..anu.. apa kau tinggal sendirian ditempat ini?” tanyaku saat ia beranjak
keluar rumah kecilnya.
Dia menghentikan
langkahnya dan berbalik kearahku. “Aku tinggal sendiri disini, kalau kau butuh
sesuatu panggil saja aku. Aku ada didepan.” Ia kembali beranjak keluar rumah.
Aku
terdiam sambil terus mengenggam liontin yang tergantung dileherku, ‘Aku… sebenarnya
aku ada dimana? Tempat ini begitu asing bagiku.’ Aku melihat kearah jendela
yang terbuka dengan beberapa baris kayu berbentuk tabung yang rapi. Aku melihat
punggungnya, wajahnya begitu bersinar dengan pantulan cahaya senja saat ini.
Aku
menundukkan wajahku dan berpikir, “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” aku
menampar pipi kananku sengaja, “Sakit.” Aku menderu pelan dan mengelus pipiku.
“Ini bukan mimpi, tapi?” banyak pertanyaan yang berkecamuk dipikiranku.
“Apa kau
lapar?” dia masuk tanpa aku tau dan berdiri tegap didekat pintu, cahaya senja
itu masih memantulkan sinar bias diwajahnya. Aku tertegun melihat kilauan
dikedua bola matanya yang hijau. “Kenapa kau diam saja?” tanyanya lagi
membuyarkanku.
“Ah,
maaf.” Aku menunduk malu. “A..aku hanya sedikit.” Jawabku tanpa menatapnya.
“Baiklah.
Jangan kemana – mana. Akan kucarikan makanan untukmu.” Langkah kakinya
terdengar semakin menjauh.
Tidak
ada seorangpun tau bahwa gadis yang berada dirumah tua itu tengah diintai oleh
salah satu suruhan dari Sino, si asisten Black Master. Seringai kejamnya
terlihat disudut bibirnya dan ia kembali ke tempat persembunyiannya.
“Apakah
gadis itu yang dimaksud oleh kakek?” Zida tengah bertanya pada dirinya sendiri,
saat ia mencari buah – buahan untuk gadis yang ia temuinya hari ini. Kakek Zida
adalah salah satu keturunan dari seorang penyihir putih yang tersisia. Dahulu
kala beratus tahun yang lalu ada kelompok yang terdiri dari penyihir putih dan
penyihir hitam yang dimana keduanya memiliki perjanjian untuk tidak menganggu
satu sama lain dan hal itu berlangsung selama bertahun – tahun. Namun karena
suatu peristiwa terjadi hubungan terlarang antara penyihir hitam dengan
penyihir putih yang menjadikan penyihir hitam itu harus menjadi atau beralih
menjadi penyihir putih, sang mantan kekasihnya menjadi murka dan membuat
rencana balas dendam untuk menghancurkan keduanya hingga keturunan penyihir
putih itu habis.
“Kurasa
ini cukup.” Zida telah selesai memetik beberapa buah apel dihutan itu dan
kembali ke rumahnya.
Beberapa
saat kemudian, Zida sampai dirumahnya dan hari sudah mulai gelap.
“Maaf
lama menunggu.” Zida masuk dan menemukan Iza tertidur pulas ditempat tidurnya.
Dia menghampiri gadis manis itu dan duduk ditepi tempat tidurnya. “Huff..
ternyata kau sudah tidur. Aku taruh buahnya dimeja, jika kau lapar makanlah.”
Ucapnya tanpa menghiraukan gadis yang tertidur lelap itu.
Zida
memandangi wajah teduh gadis itu, ia sedikit terpesona dengan pesona yang
terpancar dari diri gadis itu. Ia tersenyum kecil dan berlalu keluar rumah.
***
“Hem,
jadi apakah kalian sudah menemukan dimana kedua gadis itu berada?” Tanya Sino ketika
ia mendapatkan informasi keberadaan dari kedua gadis itu.
“Iya
tuan, namun benar adanya bahwa ada seorang pemuda bersama gadis itu. Apa yang
harus kami lakukan tuan? Kami menunggu perintahmu.” Jawab salah satu pengikut
Sino yang berambut hitam legam dengan kedua mata hijau muda berpupil seperti
mata ular.
“Hem..”
Sino Nampak berpikir, “Bagaimana denganmu Obi?” tanyanya pada pengikut
setianya.
Obi yang
sejak tadi hanya mendengarkan laporan dari rekannya, Tara. Melangkahkan kakinya
untuk mendekati tuannya. “Aku telah menemukan gadis lainnya dirumah tua itu dan
ia bersama salah satu kastria yang terkenal itu.”
Sino
menganggukkan kepalanya, “Jadi cucu dari kakek tua itu sudah maju satu langkah
dariku rupanya. Hem..” Sino nampak berpikir dengan senyum jahatnya. “Baiklah
kita atur rencana untuk mereka. Beri mereka kejutan dan ingat jangan gegabah.
Karena Black Master menginginkan batu liontin itu.”
“Baik
Tuan.” Jawab mereka berdua dan berlalu pergi.
Dilain
tempat,
“Apa kau
tidak ada tempat tinggal?” Tanya Ina yang saat itu terlihat sangat tidak nyaman
dengan hadirnya suasana malam dihutan.
Fazi
terlihat biasa saja, “Tidak ada.”
“Hah?
Lalu kita akan tidur dimana?”
“Dimana
saja.” Jawabnya ringan.
“Huh!”
Ina terlihat sangat kesal dengan sikap Fazi.
Fazi
menghentikan langkahnya dan tanpa ijin menarik tangan Ina, “Ikut aku!”
Ina
tersentak, “Eh Hei.”
Fazi
memperhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada gangguan dari hewan buas atau
semacamnya. “Aku rasa kita bisa istirahat disini.” Ucapnya pada Ina yang sudah
menekukkan wajahnya.
“Kau
ini!” Ina mendudukan diri direrumputan. Sedangkan Fazi bersandar pada sebuah
pohon besar yang rindang.
Ina
melirik sekilas kearah Fazi, “Hoi, kau ini siapa sebenarnya? Kenapa berkeliaran
dihutan seperti ini?”
“Aku?”
“Yak
Kau! Memangnya ada manusia lagi selain dirimu disini. Huh!”’
“Ohh..”
Fazi terdiam, “Aku hanya seorang ksatria pengelana. Itu saja.” Ucapnya santai
dengan mata terpenjam.
Ina
mengeryitkan dahinya, “Ksatria pengelana? Apa maksudmu?”
“Sebenarnya
aku ingin mencari seseorang dihutan ini.”
“Eeehh…
apa ada manusia lagi disini?” Ina terlihat antusias.
Fazi
mengangguk. “Dia kakak sepupuku. Aku dengar dari paman bahwa dia pergi tanpa
ada alasan yang jelas ke sebuah hutan setelah ia bertemu dengan kakek. Aku diminta
untuk mencarinya, dari pusat kota sampai seluruh hutan sudah aku datangi. Tapi dia
tidak ada.”
Ina
mendengarkan Fazi bercerita dengan seksama.
“Dan
terakhir kudengar bahwa ada seorang ksatria yang tinggal dihutan ini. Ciri –
cirinya sama persis dengan kakak sepupuku. Dan jadilah aku disini.”
“Oh
begitu?”
Fazi
mengangguk. “Tapi ada satu masalah baru.”
“Hah?
Masalah?”
“Ya
bertemu denganmu itu membuat masalah baru untukku.”
“Apa!!!”
Ina menjitak kepala Fazi dan Fazi hanya meringis kesakitan.
***
Suara kicauan
burung sedikit menganggu tidurku, perlahan kedua mataku terbuka. Aku mendudukan
diri ditepi tempat tidurnya. Aku melihat sekelilingku, ‘Dia tidak ada?’. Aku
mencoba berdiri walau dengan rasa nyeri sedikit dipergelangan kakiku.
“Kemana
orang itu?” aku bertanya sendiri ketika sudah berada didepan pintu.
“Apa kau
mencariku?”
Aku
terkejut, “Ah.”
“Oh. Maaf
aku meninggalkanmu sebentar. Ini aku bawakan air sungai untuk kau minum. Airnya
segar dan bisa diminum.” Ucapnya dengan wajah datar.
Aku
menerima pemberiannya dan kuteguk sedikit air itu. “Hmm.. terima kasih.”
“Apa
kakimu sudah tidak sakit?”
“Ah,
sedikit. Tapi aku masih bisa berjalan.” Aku mendudukan diri disebuah pohon
dengan telah ditebang itu. Dia duduk berseberangan denganku.
Kami
berdua terdiam dalam pikiran masing – masing. Dia menoleh kearahku tiba – tiba.
“Hmm..
apa aku boleh bertanya sesuatu?” ungkapnya.
Pipiku
merona dan tak sengaja aku memalingkan wajahku. Ku lihat ia terkejut atas
reaksiku.
“Oh,
maaf kalau aku lancang.”
“Mmm..
tidak. Kau boleh bertanya padaku.” Aku tanpa mengalihkan pandanganku padanya.
Dia
terdiam sesaat, “Apa yang ada dilehermu itu sebuah kalung?”
Aku
melihat kalung dan liontin yang aku pakai, “Iya, ini sebuah kalung serta
liontin yang sudah aku pakai sejak kecil. Entah kenapa aku tidak bisa lepas
darinya.” Aku mengeluarkan liontin yang bergelantung itu dari kerah bajuku.
“Ah!”
Zida sedikit terkejut setelah melihat liontinku namun tidak lama ekspresi
wajahnya menjadi normal kembali. ‘Apa jangan – jangan liontin itu benar? Apa gadis
ini yang memiliki liontin itu?’ gumamnya dalam hati.
“Ada
apa?” aku bingung melihat reaksi dari wajah Zida barusan, “Apa ada yang
menganggu pikiranmu?”
“Ah, Oh
tidak ada.” Jawabnya singkat dan terdiam kembali, ‘Kalau begitu gadis ini harus
aku lindungi. Tapi kakek bilang liontinnya ada dua.’ Pikirnya. “Hmm.. apa kau
mempunyai saudara kandung?”
“Aku
anak tunggal dikeluargaku.”
‘Ah,
tidak mungkin. Menurut informasi liontin itu adalah pecahan liontin utama dari
seorang wanita yang meneruskannya kepada anak kembarnya.’ Ucapnya dalam hati.
‘Kenapa
dengan reaksinya, wajahnya begitu serius.’ Batinku. “Memangnya ada apa?”
Dia
menoleh kearahku, “Tidak ada apa – apa.” Jawabnya. “Hah!” dia terkejut dan
dengan sigap ia berlari kearahku dan menangkap tubuhku hingga aku terjatuh. Aku
benar – benar terkejut. Ia menatapku dengan wajah penuh kekhawatiran, “Kau
tidak apa?” tanyanya. Aku mengangguk.
Ia
mengalihkan pandanganku kearah lain, “Sial!” serunya ketika ia melihat
sipemanah berlari pergi.
Dia
melepaskan pelukannya, “Maaf.”
“Hem.”
Dia
berdiri dan mengambil panah yang tertancap disebuah pohon dekat dengan posisiku.
“Ah, apa ini? Seseorang ingin mencelakaimu.”
“Apa?”
aku berdiri dan menghampirinya.
“Lihat. Sebuah
busur panah. Tidak sengaja tadi aku melihat sesuatu kearahmu. Dan buktinya ini.”
“Hah?”
aku tercengang dengan hal ini, sebuah busur meluncur tepat kearahku tadi, maka
apa yang dilakukan Zida tadi adalah melindungiku dari busur ini.
“Sepertinya
ada seseorang selain kita berdua dihutan ini. Kita harus meninggalkan tempat
ini sebelum orang itu mencelakaimu lagi.”
Aku yang
masih shock hanya bisa mengangguk pelan.
***
Fazi
terus saja menguap sepanjang perjalanan, rasa kantuknya tidak pernah lepas
sejak ia bangun dari tidurnya pagi ini.
“Haahh…
kau ini menyusahkanku.” Ina berjalan dengan kesal.
“Ehh?? Aku
menyusahkanmu?”
“Iya,
kau ini susah sekali dibangunkan. Membuatku kesal. Memangnya kau mau tidur
berapa lama hah!”
“Hei,
aku kan lelah. Jadi wajar saja aku tidurnya lama. Kau tidak ingat semalam kau terus
saja berceloteh.”
Ina
menghentikan langkahnya dan berbalik, “Jadi kau tidak suka kalau aku bicara
banyak?”
“Eh..
bukan begitu. Tapi mengertilah sedikit, aku kan hanya ingin tidur lebih lama
saja. Jangan egois.” Jawabnya santai.
“Apa? Kau
bilang aku ini egois! Dasar bodoh! Yang egois itu kan kau tau!” protes Ina.
“Heh?? Aku
egois?”
“Kau
selalu makan buah hasil petikan kita lebih banyak. Kau selalu membuka bajumu
ketika kita baru saja sampai disungai dan tidak ijin padaku dulu. Apa itu bukan
egois namanya!” Ina menampilkan ekspresi emosinya dengan berlebihan, wajahnya
merah padam dan kedua bahunya naik turun. “Kau ini!” Ina menghampiri Fazi dan
meluncurkan pukulan andalannya.
“Aadduuuhhh..
tidak usah seemosi ini….” Fazi terkapar.
“Rasakan.”
Ucap Ina puas berbalik dan melangkah pergi.
Sesaat
kemudian, Fazi tengah membersihkan bajunya yang sedikit kotor karena debu tanah
akibat insiden kecil tadi.
“Aaarrhhhhhh…
tooollloooongggg Faaazzziiiiii!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” terdengar suara Ina
meminta tolong tidak begitu jauh.
“Hah?
Ina?” Fazi langsung berlari kesumber suara. “Ah!” Fazi menghentikan langkahnya
ketika melihat tubuh Ina yang disekap oleh seseorang yang tidak dikenalnya. Ina
meronta – ronta pelan pasalnya kini dirinya tidak bisa berkutik apa – apa. Lehernya
di lilit oleh salah satu lengan orang itu dan sebuah pedang yang siap menusuk
leher putih milik Ina.
Fazi
menghunuskan pedangnya, “Jika terjadi sesuatu pada dirinya, maka tidak segan –
segan aku akan membunuhmu!” gertaknya dengan posisi siap berperang dengan musuh
bertopeng itu.
Orang
itu hanya tersenyum jahat dari balik topengnya.
***
To be continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar