The world of dreams and two pendants
Chapter 3
Genre : Fantasi, romance
Genre : Fantasi, romance
This first i'am writing for a story about fantasy..
Just for my hoby for read a comic and watch a anime movie..
Happy reading and sorry for typo.. ^^
And don't plagiat!
Previous Chap 1, 2
*********************************************************************************
Dia berjalan tegap di depanku, aku menunduk dalam menahan rasa
hangat yang ada dikedua pipiku.
"Erhmm..." dia berdehem dan menghentikan langkahnya.
Aku menatap punggungnya dan menunggu apa yang ia akan lakukan. Dia
memperhatikan area sekitar, pasalnya saat ini kami berada dipersimpangan jalan.
sepertinya ia tengah memikirkan jalan mana yang harus dilalui. Aku
memperhatikannya, wajah tirusnya nan putih itu membuat kedua mataku tak bosan
menatapnya.
Dia berbalik menghadapku, kami beradu pandang.
"Ah.." aku membuang wajahku kearah lain karena malu.
Ku lihat sekilas ia sedikit terkejut akan reaksiku,
"Hn?"
"Apa kau sudah memutuskan memilih jalan yang mana?"
tanyaku untuk mengalihkan.
"Umm.. kurasa ambil jalan yang kanan." jawabnya.
"Baiklah." Aku sengaja berjalan duluan. Aku tidak mau
ia melihat wajahku merona akan pertemuan kedua mata kami tadi.
"Eh?" bingungnya. Lalu ia berjalan dibelakangku.
Sepanjang perjalanan kami berdua terdiam, hanya terdengar suara
decit - decit binatang kecil dihutan yang berada diantara kami. Beberapa juga
ada suara kepakan sayap burung terbang.
"Ouch.." kakiku terasa nyeri, mungkin terlalu lama
berjalan. Aku berhenti dan berjongkok memegang pergelangan kakiku.
"Kau tidak apa - apa? Apa masih terasa sakit?"
tanyanya seketika mendengar keluhku. Ia berjongkok dihadapanku dan memeriksa
luka terkilir dikakiku. Aku terdiam dengan sentuhannya.
Aku hanya mengangguk pelan. Entah kenapa jantungku berdetak
sangat cepat.
"Sebaiknya kita beristirahat disini." tukasnya.
"Apa disini aman?" tanyaku.
"Kurasa. Apa kau masih kuat berjalan?"
Aku menunduk, aku tidak mau terlihat manja dengannya hanya
karena rasa sakit dikakiku. "Kurasa bisa."
"Kau yakin?"
Aku mengangguk pelan dan ia membantu aku untuk berdiri.
“Kalau kau ingin beristirahat katakanlah.” Ucapnya dengan wajah
datarnya. Aku mengangguk.
“Umm..
Zida apa kau tidak memiliki keluarga? Kenapa kau tinggal dihutan ini
sendirian.”
“Orang tuaku
sudah meninggal. Aku anak tunggal. Sejak umur 5 tahun aku tinggal bersama
kakekku.” Jawabnya dengan ekspresi datar.
“Apa
kakekmu masih hidup?”
Dia
menundukkan kepalanya, “Dia sudah meninggal 1 tahun yang lalu.”
“Ah.. aku
minta maaf sudah bertanya seperti itu.”
“Tidak
apa.” Dia menenggakkan kepalanya kembali.
Aku
terdiam sesaat, “Jadi kau ini sebenarnya dari mana?”
“Aku dari Desa
Goholy.”
“Hn? Aku baru dengar desa itu?”
“Tentu
saja, mungkin kau bukan penduduk yang tinggal disekitar sini.”
“Hmm.. Itu
desa apa?”
“Desa para
penyihir putih.”
“Hah?
Penyihir?”
Dia
mengangguk, “Kau baru dengar?”
“Iya. Tapi
aku tidak mengerti. Memangnya ada yang seperti itu didunia ini?”
“Desa itu
dibangun oleh kakek moyangku beratus tahun lalu.” Dia menghentikan langkahnya
dan berbalik. “Sebaiknya kita istirahat dulu. Aku khawatir dengan keadaan
kakimu.”
Aku
tertegun, “Ah iya.” Aku mengambil tempat dipinggir pohon yang rindang itu.
Dia duduk
diseberangku. Dia terlihat menghela nafasnya.
“Apa saat
ini desa itu masih ada?”
“Tidak,
desa itu sudah hancur sejak 20 tahun yang lalu. Kebetulan kakekku adalah
pengembara. Jadi kami suka berpindah tempat sejak orang tuaku meninggal.”
“Umm..
Kalau boleh aku tau kenapa desamu hancur dan apa yang terjadi?”
“Kakekku
pernah mengatakannya padaku. Dulu desa itu tenang dan damai semenjak penyihir
hitam dan penyihir putih hidup berpisah dengan kesepakatan yang mereka buat.
Pernah suatu kala di Desa Vilstain yaitu desa para penyihir hitam dikuasai oleh
seorang wanita. Ia memiliki kekuatan melebihi pemimpinnya. Bahkan ia membuat
ramuan untuk tetap hidup abadi. Ia diangkat sebagai Ratu desa itu. Semua
keinginannya harus terpenuhi. Dan ia mempunyai ambisi yaitu memusnahkan desa
Goholy dan para penyihirnya tanpa tersisa.”
“Oh
seperti itu.” Aku mencerna perkataannya. Walaupun aku belum sepenuhnya mengerti
apa yang terjadi saat ini padaku. Ini begitu aneh dan terasa nyata. Tapi
seingatku aku tidak pernah tau apa itu desa penyihir ataupun penyihir.
“Jadi apa
kau ini penyihir juga? Dan kau tinggal bersama kakekmu ketika desamu diserang
oleh penyihir hitam itu kan?”
“Hn? Bukan
aku bukan penyihir. Aku memang lahir didesa itu dan kedua orangtuaku adalah
seorang penyihir putih. Tapi aku tidak suka dengan sihir. Maka aku tidak ingin
belajar sihir.” Dia terdiam. “Ya kedua orang tuaku meninggal saat desaku
diserang oleh para penyihir hitam.”
“Apa kau
melihat kedua orang tuamu saat itu?”
“Tidak,
terakhir kali aku melihat mereka saat ketika bangun dari tidur siangku. Aku
terkejut saat itu. Kedua orang tuaku sangat tergesa – gesa mengajakku pergi
dari desa. Awalnya kami berhasil menyelematkan diri tapi… ayah dan ibuku tidak
bisa melihat penyerangan didesanya tanpa ada yang mereka lakukan. Aku ditinggal
disuatu tempat sampai aku menunggu kedatangan mereka. Tapi mereka tidak kunjung
datang. Setelah itu ada seorang kakek menjemputku, dia adalah kakekku.” Ucapnya
datar.
“Ah.. maaf
aku terlalu banyak tanya.” Aku jadi tidak enak hati bertanya terus menerus.
Tapi ini harus kulakukan agar aku tau kenapa aku bisa didunia ini.
“Tidak apa
– apa. Aku baru kali ini bisa berbicara banyak dengan orang lain selain dengan
kakekku.”
“Apa masih
ada yang selamat dari kejadian itu?”
“Ya, hanya
sebagian kecil. Sejak saat itu penyihir – penyihir putih yang selamat terus
dicari keberadaannya oleh ratu desa vilstain itu. Dan mereka dibunuh satu
persatu.”
“Apa?
Kejam sekali.”
“Ah, aku
ingat. Aku masih memiliki seorang sepupu laki – laki lebih muda dariku dan
seorang paman. Tapi aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka.”
Aku
bingung harus bicara apa lagi. “Ah.. kau tau keberadaan sepupumu itu?”
Dia
menggelengkan kepalanya. “Ah.. sebaiknya aku mencarikanmu makanan.”
“Eh. Tidak
usah.” Aku menolaknya.
“Hn?”
“Kita
mencarinya bersama. Aku tidak mau merepotkanmu.” Aku tersenyum padanya.
“Baiklah.”
***
“Hey aku
katakan sekali lagi. Lepaskan gadis itu!” serunya dengan tatapan tajam.
“Hooo..
kau anak muda. Berani satu langkah saja. Aku tidak akan segan – segan menyayat
leher mulus gadis ini dihadapanmu.”
“Ck..”
Fazi terlihat geram.
Aku
menahan sakit dibahuku. Tenaga orang bertopeng ini kuat sekali, aku sampai
tidak bisa bernafas.
“Ada
urusan apa kau dengan gadis itu?” tanya Fazi.
“Hem.. ini
semua bukan urusanmu.” Ucapnya dengan suara mengejek.
Mereka
saling pandang dengan tatapan tajam tanpa ada yang bergerak satu sama lain.
“Hah..”
Fazi menghela nafasnya dan menurunkan pedang yang ia hunuskan kedepan tadi.
“Eh?”
ucapku.
“Kau ini
susah sekali ya.” Fazi melangkahkan kakinya menghampiri kami.
“Hey!
Sudah kukatakan jangan mendekat!”
“Hoi…
Santai saja. Aku tidak ingin berkelahi denganmu.”
“Apa? Apa
yang kau katakan.”
“Hey, apa
kau yakin akan menculik gadis ini. Apa kau tidak akan menyesal?” Fazi seakan
menyiyir dihadapan laki – laki bertopeng yang menyekapku ini.
“Apa
maksudmu?”
“Ya
sudahlah. Aku tidak mau ikut campur. Bawa saja kalau kau mau.” Fazi membalikkan
badannya hendak pergi.
Aku
terkejut dengan sikapnya itu. Apa aku tidak akan diselamatkan olehnya?
Fazi
menghentikan langkahnya, “Dia itu gadis yang pemarah, makannya sangat banyak.
Kau pasti akan bosan berurusan dengan gadis aneh itu.”
Aku
mengernyitkan dahiku. Apa maksudnya?? Dia ingin membuat aku marah dengan kata –
katanya itu.
“Dia itu
suka sekali bicara. Banyak hal yang bicarakan. Aku saja bosan mendengarkan. Dan
kalau kelaparan dia akan merengek seperti anak kecil. Apa kau sanggup dengan
kelakuannya seperti itu?”
“Hem…”
orang bertopeng itu menyeringai dibalik topengnya. “Jadi kau sudah tidak butuh
dia kan?”
“Ambillah..”
dengan cueknya.
Belum
sempat penculik itu berkata, hawa kemarahanku seperti meluap dan ingin meledak.
Apa – apaan itu, mengata – ngataiku seperti itu. Wajahku memanas seketika.
“Apa kau
bilang!!!!” aku tidak peduli akan tajamnya pedang yang menyilang dileherku. Ku
sikut perut penculik itu kuat – kuat. Dan berhasil ia tersungkur kesakitan,
seketika aku mempercepat langkahku menghampiri Fazi dengan amarahku yang meluap
– luap.
Fazi yang
tak sengaja menoleh kearahku terlihat terkejut dengan sikap garang yang aku
miliki. Ia nampak ketakutan dilihat dari iris mata birunya itu.
“Kenapa
kau mengatakan hal yang jelek seperti itu hah!” kerah bajunya kutarik
dihadapanku dan kurasakan ia hampir tercekik.
“Ukh.. hey
lepaskan aku dulu. Memang kenyataannya seperti itu kan?”
“APA?!!!!!
Akan ku pastikan kau akan musnah ditanganku hey ksatria abal – abal!”
Fazi
berusaha melepaskan cengkraman tanganku dan kabur dari tempat itu, aku yang
tidak tinggal diam mengejarnya hingga aku bisa menangkapnya. “Jangan kabur
kauuuu!!!!!!!!!!!!”
Sang
penculik bertopeng itu tengah menahan sakit dibagian dadanya yang disikut oleh
Ina. “Sial ini sangat memalukan. Hampir saja aku bisa mengambil liontin dari
gadis itu. Ternyata dia lebih kuat dari yang aku bayangkan. Ukh..”
***
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar