“Hn? Jadi kalian berdua satu kelas?” tanya
Sari.
Lyan dan Eka mengangguk bersamaan.
“Aku baru tau kalau kami sekelas. Karena
sebelumnya aku tidak melihatnya.” Jawab Lyan sambil menyeruput susu stroberi
yang ia beli dikantin sebelumnya.
“Karena aku tidak masuk beberapa hari.”
Susul Eka. Ia berjongkok disamping Lyan.
“Heh.. kenapa apa kau sakit?” tanya Sari.
Eka menggeleng, “Aku hanya perlu waktu
memikirkan apa yang terjadi padaku saat itu. Jadi aku memutuskan untuk
meliburkan diri.”
“Pantas saja setiap absen, aku selalu
mendengar nama yang begitu familiar ditelingaku tapi orangnya tidak ada terus.
Ternyata itu benar – benar kau.” Ucap Lyan.
“Jadi kalian juga tidak tau apa yang
sebenarnya terjadi pada kita?” Eka bangun dan berdiri ditengah – tengah Sari
dan Lyan.
“Tidak.” Jawab Sari. “Tapi Lyan bilang
sementara kita ikuti saja alur kehidupan disini.”
Lyan mengangguk – angguk.
“Apa kalian tidak mengingat sesuatu
begitu?” tanya Eka lagi sambil melipat kedua tangannya.
“Aku hanya merasa ada keanehan. Seperti
‘Oh aku tidak pernah begini’ atau ‘sepertinya bukan begini’ itu saja.” Jawab
Lyan.
“Iya aku juga merasakan hal yang sama.”
Susul Sari.
Eka menghela nafasnya perlahan.
“Eh, apa kau mengingat sesuatu?” tanya
Lyan.
“Aku hanya merasa umurku 10 tahun lebih
tua dibanding sekarang.” Ibu jari dan telunjuk membentuk huruf v mangatuk –
atuk di dagunya yang sedikit tirus itu. “Dan apakah kalian tau, setelah aku
beberapa kali melihat cermin, aku merasa sedikit lebih tampan.” Eka dengan
percaya dirinya.
Tanpa sadar Lyan dan Sari saling pandang,
kemudian beralih memandang Eka bersamaan.
Eka terdiam menatap mereka berdua, “Ada apa?”
“Kau ini! Kenapa sok – sokan bilang kau
ini tampan hah!” cibir Lyan.
Sari memanyunkan bibirnya.
“Eh.. hehehee.. itu tambahan.” Eka
memberikan cengiran lebar.
“Hemm.. sebentar, tadi kau bilang kau
merasa 10 tahun lebih tua?” tanya Sari.
Eka mengangguk.
“Kau yakin?” susul Lyan.
“Ya, aku merasa begitu. Karena aku merasa
sudah pernah lulus sekolah dan kuliah.”
“Lyan, berarti ingatan Eka lebih baik
dibanding kita berdua.”
“Benar. Kenapa kita tidak ingat apa – apa
ya. Kita hanya punya perasaan aneh saja.”
“Nah itulah, wanita memang selalu
mementingkan perasaan daripada logika.” Selak Eka.
“Apa sih, tidak ada hubungannya tau!” seru
Lyan.
“Hem.. sebentar. Apa kita mesti mencari
sesuatu ditempat dimana kita pertama kali kedunia ini?” saran Sari.
“Untuk apa?” Eka menggaruk tengkuknya yang
tak merasa gatal itu.
“Untuk mencari sesuatu, kan barusan aku
bilang begitu.”
“Maksudmu mungkinkah ada petunjuk mengapa
kita ada disini?” kali ini Lyan ikut bicara.
“Tepat sekali. Mungkin saja kan?” Sari
membelakangi mereka berdua.
Lyan dan Eka terdiam.
“Eh, Lyan apakah kau sudah menanyakan
sesuatu mengenai dirimu pada pacarmu itu?” Sari membalikkan tubuhnya kembali
dan menjentikkan jarinya dihadapan Lyan.
“Belum. Sejak tadi aku tidak bertemu
dengannya.” Jawabnya disertai gelengan kepala.
“Kau sudah punya pacar?” Eka
memposisikan tepat dihadapan Lyan dan itu membuat Lyan sedikit terkejut.
Lyan mengangguk. “Memangnya kenapa?”
“Eh.. tidak apa – apa kok.” Eka
memundurkan dirinya sedikit kebelakang dan mengalihkan pandangannya kearah
lain. ‘Pantas kalau dia sudah punya pacar, wajahnya sudah berubah menjadi
cantik daripada waktu SMP dulu.’
Sari menyelidik dari kedua bola matanya,
“Kau cemburu ya…” godanya pada Eka.
“Eh, apa aku cemburu? Tidak kok!”
pungkasnya.
“Ah, kau ini tidak pandai menipu.” Sari
kembali menggodanya.
“Sudah kubilang tidak.” Eka sedikit
meninggikan suaranya.
“Mengaku saja. Hahaa”
“Tidak.”
Lyan hanya memanyunkan bibirnya. “Hey
kalian berdua!” serunya sembari menulak pinggang. “Sudahlah seperti anak kecil
saja sih.” kemudian melerai mereka. “Kamu juga Sari, kalau kau masih suka padanya
tidak usah pura – pura menyembunyikannya.”
“Apa katamu? Masih suka. Tidak kok!”
elaknya namun wajahnya sedikit memerah.
“Apa kau bilang Lyan?!”
“Ah, kalian ini. Kalau saling menyukai
jadian saja.” Usulnya ditambahi dengan senyuman lebar.
“Ih.. apa sih kau ini!” Seru Sari dengan
wajahnya yang sedikit merah padam.
Eka melirik Sari, “Memangnya kau
menyukaiku?”
“Apa? Itu tidak mungkin!” serunya.
“Bohong saja. Hahaa…” celetuk Lyan menahan
tawanya.
Sari memukul kecil pundak Lyan, “Diam…”
“Lagian siapa juga yang mau denganmu.”
Tukas Eka membela.
“Apa……” Sari terus saja mengomeli Eka dan
ditimpali oleh Eka kembali, Lyan hanya tertawa – tawa saja.
Tanpa mereka ketahui, Dimas tak sengaja
memperhatikan dari lantai bawah. Didalam penglihatannya hanya terlihat gadisnya itu tertawa dengan seseorang yang tak lain adalah laki – laki yang
pernah mengancamnya. Hatinya bergemuruh, ada rasa tidak suka disana.
***
Lyan merasa mudah mengerjakan soal ulangan
hari ini. Ia bahkan mengakui dirinya memang pintar disini. “Ah, ini soalnya
mudah sekali. Tanganku tidak berhenti menulis dan menghitung rumus – rumus
ini.” Lirihnya. Ia terlihat sangat menikmati mengerjakan ulangan dimejanya itu.
“Baiklah waktunya sudah habis. Harap
kumpulkan kedepan.” Perintah sang guru.
Riuh kecewa yang membahana disebuah kelas
itu, sebagian siswa bahkan masih belum selesai mengerjakan soal – soal
sulitnya.
Guru matematika itu memeriksa berlembar –
lembar kertas. Dihitungnya dengan teliti berapa banyak yang sudah dikumpulkan
sesuai absensi siswa yang hadir hari ini.
“Oke. Sampai disini dulu perjumpaan kita.
Untuk sisa waktu pelajaran yang masih ada boleh kalian gunakan untuk istirahat.
Namun tidak boleh kekantin ya.” Ucapnya.
“Baik Bu…” Koor semua siswa disana.
Sang gurupun melangkahkan kakinya untuk
keluar kelas.
“Hem.. aku ingin ke perpustakaan ah.” Ucap
Lyan pada dirinya sendiri. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kelas.
Dari dalam kelas 3 A saat itu, Dimas tak
sengaja melihat Lyan berjalan keluar kelas. Ia bangkit dari duduknya berniat
mengikuti Lyan.
“Hey kau mau kemana?” tanya Andika menahan
pergelangan tangannya.
“Aku mau keluar sebentar.” Jawabnya
singkat.
“Hn? Tugasmu sudah selesai?”
“Sudah. Nanti tolong bantu kumpulkan ya.”
Pintanya lalu bergegas meninggalkan Andika yang belum selesai bertanya.
“Haaiisshh…”
Dimas mengikuti kemana perginya Lyan.
Lyan memasuki ruangan yang sunyi senyap
itu, ia berjalan diantara rak – rak buku yang tinggi dan tersusun rapi. “Wah
banyak ya bukunya. Rapi juga susunannya.” Lirihnya.
Lyan menghentikan langkahnya karena ada
sesuatu yang menganggu telinganya.
Ada yang berbisik menyebut nama Dimas?
Siapa itu? Aku mencari sumber suara yang sedikit mengusik telingaku. Aku
penasaran dan akhirnya disana ada dua orang perempuan yang tengah asik
bergosip.
“Kau tau kan Kak Dimas?” tanya murid
perempuan berambut kuncir satu duduk bersebrangan dengan temannya yang lain.
“Aku tau. Kakak gemas nan tampan itu kan.”
Jawabnya dengan logat manja.
‘Hah gemas?.’ Gumamku dalam hati.
“Dia sudah punya pacar apa belum ya?”
“Ku dengar gosipnya sih, kak Dimas sudah
ada yang punya.”
“Yah, siapa? Cantik tidak? Kalau tidak
cantik aku akan berlomba memenangkan hatinya…” ucapnya dengan mata berbinar.
‘Hah? Memenangkan hatinya? Ada – ada saja anak itu.’ Gerutuku lagi.
“Tidak secantik yang kita bayangkan kok.
Gadis itu biasa – biasa saja.” Jawabnya cuek.
‘Ish.. apa dia bilang biasa saja? Aku
dibilang biasa saja.’ Aku memanyunkan bibirku.
“Benarkah? Apa kau pernah melihatnya?”
“Tidak pernah. Tapi aku suka mendengar
gosip dari orang lain. Yang jelas pacarnya itu tidak secantik Kakak kelas 3 E
sang model itu.”
“Owhh.. kok bisa ya kak Dimas mau dengan
perempuan yang biasa – biasa saja. Seleranya rendah sekali.” Cibirnya.
“Bukan salah kak Dimas, mungkin saja perempuan
itu yang mengejarnya dulu. Karena capai dikejar makanya kak Dimas terima.”
‘Hah?? Issshhh…’ aku mengepalkan kedua
tanganku kesal.
“Tapi kudengar kak Dimas orangnya cuek dan
acuh gitu dengan perempuan. Dan tak mudah ia menerima pengakuan cinta dari
orang lain.”
“Ah.. itu sih…..”
“Sstttt kalau mau bergosip jangan
diperpustakaan. Diluar saja.” Tegur siswa yang karena merasa terganggu dengan
obrolan mereka.
Tanpa pikir panjang mereka pergi keluar
perpustakaan. Kedua mataku mengikuti langkah mereka.
“Dasar penggosip.” Gerutuku.
“Kalau mereka penggosip, lalu dirimu apa?
Penguping?!” ucap seseorang dengan suara agak berat dibelakangku.
Aku sedikit terkejut dan menoleh
kebelakang, tenggorokanku tercekat. DIMAS!
“Dasar penguping.” Susulnya dengan tatapan
yang dingin.
Aku hanya terdiam kaku.
***
Lapangan tennis indoor,
Dimas mengajak Lyan kesana untuk
menanyakan hal yang mengganjal dihatinya sejak tadi.
“Sepi ya.” Ucap Lyan ketika baru tiba
didepan pintu masuk lapangan indoor itu.
Dimas hanya mengangguk, “Kesini.” Ajaknya.
Lyan mengikuti langkah Dimas dan duduk
diantara kursi penonton yang berada disana.
“Ada apa kau mengajakku kemari?” tanya
Lyan membuka pembicaraan. Karena ia tak menyangka kalau Dimas ada
diperpustakaan dan berada dibelakangnya sejak ia menguping pembicaraan kedua
siswi itu.
Dimas terdiam sesaat kemudian melirik
kearah Lyan yang tengah memainkan kedua jemarinya. Ia menghela nafas, “Kau
masih berhubungan baik dengan laki – laki itu?” tanyanya to the point.
Lyan menoleh, “Laki – laki?”
Kali ini Dimas menoleh kearah Lyan dan
menatap kedua matanya dalam diam.
Lyan terhenyak akan tatapan mata
kekasihnya itu, “Ma.. maaf tapi aku benar tidak tau maksudmu. Laki – laki yang
mana?” ucapnya hati – hati, ia tak mau membuat Dimas marah.
Dimas melemah, ia menundukkan kepalanya.
“Eka, laki – laki yang pernah menyukaimu.”
“Eka?” ulangnya, “Eka teman sekelasku?”
“Iya.”
“Kamu hanya berteman saja. Tidak lebih
kok.” Jawabnya dengan polos, karena memang itu yang dirasakan oleh Lyan. “Eh,
tapi tadi apa yang kau bilang? Menyukaiku? Eka pernah menyukaiku?”
Dimas menoleh kembali, “Kau tidak ingat
dengan itu?”
Lyan menggelengkan kepalanya.
“Ah.. aku terlupa kalau kau mengalami
amnesia yang aneh.”
“Tapi tidak juga, aku kenal dengan Eka
karena ia teman SMPku kan.”
Dimas sedikit terkejut, “Itu kau
mengingatnya.”
“Hanya sebatas itu saja.”
“Kau ini.” Dimas terdiam dan kemudian
menatap kedepan. “Tapi benar kau tidak ada hubungan khusus dengannya?”
“Benar kok.”
Ada kelegaan yang hinggap dihati Dimas
saat itu. “Baiklah kalau begitu, aku harap kau hanya mengingat dia hanya
sebatas teman SMP-mu saja tidak lebih.”
“Eh, memangnya ada hal yang lain yang
terjadi?”
“Tidak perlu kau tau!”
“Aku perlu tau, kau kan sudah janji akan
membantuku untuk mengingat semuanya.”
“Point – point penting saja yang akan ku
beritahu, selebihnya tidak.”
“Hah? Tapi…”
“Sudah jangan protes. Kalau tidak mau ya
sudah.” Acuhnya.
“Hah?” Lyan merasa aneh dengan sikap
Dimas.
“Bel istirahat sudah berbunyi tuh, ayo
kita keluar dari sini.” Sela Dimas sembari bangun dari duduknya dan berjalan
perlahan meninggalkan Lyan yang masih terpaku dengan sikap acuhnya. Dimas
menoleh kebelakang, “Kau mau membatu disitu sendirian?”
Lyan tersadar, “Eh, tunggu!” serunya
kemudian menyusul Dimas.
“Berhenti, kau tidak boleh berjalan
bersamaku didepan orang – orang.” Pintanya.
“Eh, kenapa?”
“Nanti gosip mengenai aku ini memiliki
selera gadis yang rendah terlihat.”
“APA?” Lyan terlihat shock dengan ucapan
Dimas barusan.
Dimas membalikkan badannya dan berjalan
meninggalkan Lyan yang mengumpat pelan dengan senyum jahilnya.
***
Sari kelihatan kebingungan, ia mencari
wajah sahabatnya itu.
“Kau mencari Lyan?” tanya salah satu siswa
dikelas tempat ia berdiri sekarang.
“Ah, Iya kemana ya dia?” jawabnya.
“Dari tadi Lyan sudah keluar kelas saat
jam pelajaran terakhir.”
“Eh,”
“Tadi kami baru saja ulangan, karena masih
ada sisa waktu jadi sebagian siswa keluar kelas. Tapi aku tidak tau Lyan pergi
kemana.”
“Oh begitu ya. Baiklah terima kasih ya.”
“Oke.”
Sari membalikkan tubuhnya dan berniat
kembali kekelasnya sebelum ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
“Sari!” seru seorang siswa laki – laki
yang keluar dari kelas 3A.
Sari memperhatikannya dari jauh hingga
saat laki – laki itu berada dihadapannya.
“Heeii.. apa kabar?” sapanya dengan
senyuman manis.
Sari bingung karena ia belum mengenal laki
– laki ini, “Kau yang memanggilku?”
“Iya. Apa kabarmu?” dia mengulang
pertanyaannya.
“Eh, kabarku baik – baik saja. By the way
siapa kau?” tanya Sari dengan senyum gaje (?).
Laki – laki itu sontak terkejut dengan
ucapan Sari barusan.
Mereka berdua tengah berada disisi
lapangan basket. Andika, laki – laki yang memanggil Sari tadi memberikan
minuman kotak padanya. Sari merasa tidak enak pada Andika, karena hal tadi.
“Maaf ya perihal tadi.” Ucapnya.
“Tidak apa kok.” Jawab Andika sambil
meneguk air mineral yang dibelinya.
“Maaf juga perihal SMS yang kau kirimkan
padaku beberapa hari lalu. Aku tidak membalasnya karena tidak tau siapa kau.”
Sari menjelaskan kesalahannya pada laki – laki.
Sebelumnya Sari telah mengatakan kalau ia
telah kehilangan beberapa ingatannya pada Andika. Ia mengatakan bahwa ini
diluar dari nalarnya dan untungnya Andika mengerti.
“Tidak apa. Aku minta maaf kalau
sebelumnya aku tidak tau kalau kau ada masalah kehilangan ingatan itu.” Jawab
Andika bijaksana.
“Terima kasih.”
“Sari. Karena kau tidak mengingat apa yang
sudah terjadi. Aku mencoba untuk mengulangnya lagi, kuharap kau bisa
menjawabnya.”
“Eh, apa yang sudah terjadi?”
“Bukan apa – apa kok. Ini hanya sebagian
kecil dari peristiwa yang penting bagiku.”
“Penting? Sepenting apa? Dan peristiwa apa
itu?”
“Hem…Aku pernah mengatakan kalau aku…”
ucapanya terhenti, Andika menarik nafasnya dan menghembuskan perlahan.
Sari hanya memperhatikan setiap gerak
Andika dengan seksama.
“Aku.. aku menyukaimu Sari, lebih dari
sekedar teman biasa. Maukah kau menjadi pacarku?” ucap Andika sontak membuat
Sari terkejut dan terdiam dalam beberapa saat. “Aku tau ini hal yang sulit
untukmu, apalagi kau hilang beberapa ingatan. Tapi bolehkah aku membantumu
mengembalikan ingatanmu lagi. Bukan karena ada kesempatan kalau aku akan
memanipulasi ingatanmu atau bisa saja aku berkata bohong kalau kau sudah
menjadi kekasihku. Aku hanya ingin mengulangnya dari awal bahwa aku menyukaimu
apa adanya. Dan kuharap suatu hari nanti kau juga memiliki perasaan yang sama
denganku.” Jelasnya panjang lebar.
Sari terdiam sesaat kemudian ia menghela
nafasnya pelan, “Terima kasih, akan aku pertimbangkan permintaanmu itu. Maaf
aku tidak bisa jawab sekarang.”
“Tidak apa kok. Aku akan tunggu sampai kau
siap untuk menjawab.” Andika tersenyum tulus pada Sari dan dibalas tersenyum
oleh gadis pujaannya itu.
Sari termenung dimeja kelasnya, masih
terngiang perkataan Andika padanya. Bagaimana jawaban yang baik dan seharusnya
ia jawab. Ia masih bingung dengan kenyataan keberadaannya didunia ini, bahwa banyak kejadian dan hal – hal yang
ia tidak ketahui dan sangat buta.
***
Seorang siswi cantik bernama Mira dari
kelas 3 D disekolah itu memberikan sekotak cokelat pada Eka. Eka menerima
dengan tangan terbuka dan hal itu membuat hati Mira senang bukan main, pasalnya
setiap pemberiannya selalu diacuhkan oleh Eka.
“Terima kasih cokelatnya.” Ucap Eka
diselingi senyum tipisnya.
Mira yang melihat itu merasa ada kupu –
kupu berterbangan didalam perutnya, menggelitik dan hatinya merasa meleleh
walau hanya melihat senyum tipis dari laki – laki yang sudah disukainya sejak
tahun lalu. “Sama – sama. Aku permisi dulu ya.” Jawabnya sambil melangkah
kakinya keluar kelas tanpa putus memandang Eka dari kejauhan dan senyumannya
yang tak hilang dari parasnya nan cantik itu.
Eka hanya mengangguk dan kembali fokus
pada kotak cokelat digenggamannya sekarang.
Reihan yang sejak tadi melihat hal itu
lalu mendekati Eka.
“Kau menerima pemberiannya? Ini diluar
dugaanku.” Ucapnya.
“Hn? Memangnya kenapa?”
“Kau tak ingat, kau selalu mengacuhkan
pemberian hadiah apapun darinya. Bahkan kau mengacuhkan sapaan dia setiap
bertemu.”
“Apa maksudmu, aku tidak mengerti.”
“Haiissshh kau ini, kau benar – benar lupa
rupanya.”
“Memang.”
Reihan menepuk dahinya.
“Memangnya dia siapa?” tanya Eka sembari
membuka sebungkus cokelat dan memasukkannya kedalam mulutnya, “Kau mau?”
tawarnya.
Reihan yang ditawarin itupun mengangguk
cepat dan mengambil satu didalam kotak itu, “Jadi begini. Gadis itu bernama
Mira. Dia pindahan dari sekolah lain waktu kelas 2. Dan dia tak sengaja bertemu
denganmu saat jam olahraga kita bersamaan.”
“Lalu?” tanyanya lanjut sambil mengunyah.
“Saat itu kita sedang bermain futsal,
ketika kau menendang ternyata bolanya kearah yang salah dan sempat mengenainya.
Kau mengambil bola itu dan meminta maaf padanya. Sejak itu dia mulai
mengejarmu.”
“Oh, jadi intinya dia salah satu
penggemarku?”
“Tepat sekali. Dan biasanya kau selalu
mengacuhkannya.”
“Memangnya kenapa aku mengacuhkannya?”
“Heh? Kau malah berbalik tanya padaku. Kau
sendiri yang mengacuhkannya kenapa kau menanyakan hal itu padaku.”
“Aku kan sudah pernah mengatakannya
padamu. Kau lupa kalau aku ini…” Eka mendekatkan bibirnya ditelinga Reihan,
agar ucapannya tidak terdengar dengan orang lain.
“Ah, iya aku lupa.” Ucap Reihan disertai
dengan cengirannya.
“Pokoknya aku tidak tau mengapa kau
mengacuhkannya. Itu saja.”
“Hem.. ya sudah kalau begitu. Nih
cokelatnya lagi.”
“Hah? Aku boleh tambah?” tanyanya gembira.
“Tentu saja.”
Disaat yang bersamaan, Lyan tengah
berjalan dari pintu kelasnya menuju mejanya. Tak sengaja Eka memperhatikannya.
Ia merasa ada sebuncah rasa yang tak jelas hadir dihatinya ketika itu. Lyan
bergumam sendirian dimejanya, ada raut kesal dan wajahnya yang cemberut disana
yang membuat Eka tersenyum memandangnya dari kejauhan.
***
Tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar