Rabu, 27 Juni 2018

CERBUNG : REVERSE Chapter 10.2


REVERSE



Genre : Schoolife, Drama, Fantasy
Chapter 10.2

Prev Prolog123456789.19.29.310.1


***


Saat pendaftaran SMA, aku memilih untuk sekolah disekolah swasta. Aku berpisah lagi dengan kakak kembarku yang memilih sekolah negeri. Aku dan Lyan sepakat untuk mendaftar disekolah yang sama.
Aku menyelusuri lembaran kertas besar di papan pengumuman yang berada dekat ruang aula sekolah, "Hem? Mana ya? Aku dikelas mana sih? Ah itu dia! Aku dikelas...." mataku membelakak melihat namaku tertulis disana, "Hah? Kelas C? Benarkah? Benarkah?" tanyaku tak percaya.
Disekolah ini terkenal dengan siswanya yang cerdas, mereka terbagi dalam 6 kelas saja. Pembagian kelas untuk semua siswa berdasarkan nilai akademis masing - masing. 'Sudah pasti aku ini pintar kan? Buktinya aku dikelas C. Walaupun namaku diurutan 29 dari 30 siswa per kelas.' ucapku dalam hati dengan sedikit bangga.
"Sari." Lyan menepuk bahuku.
Aku menoleh kearahnya.
"Kau dikelas mana?" tanyanya dan seseorang berdiri dibelakangnyapun menunggu jawabanku.
"C." aku senyum - senyum.
"Woah kita sekelas." Lyan menangkup kedua tanganku senang.
Aku terkejut.
"Hey jangan lupakan aku. Aku juga sekelas denganmu." ucap Eka.
Lyan menyipitkan matanya, "Jangan mengarang! Kau ini mau meledekku ya?."
"Hahaha.. Kau sensitif sekali sih. Haha.." tawa Eka terbahak.
Lyan memutar bola matanya kesal.
Aku tersenyum melihat keakraban dua orang ini, "Kalian akrab sekali ya?"
"Iya." jawab Eka percaya diri.
"Tidak." telak Lyan bersamaan.
"Eh?"
"Dia ini salah satu rivalku, mana mungkin aku akrab dengannya. Asal kau tau saja ya Sari!" Lyan menegaskan dengan sorot matanya yang tajam.
"Hahaha... Sudah kubilang nilaimu tidak akan pernah lebih tinggi dariku."
Lyan mengeluh panjang.
"Hn? Sari?" suara yang terdengar familiar ditelingaku membuat kami bertiga spontan menoleh kearahnya. Dia tersenyum padaku. "Benar itu kau."
"Eh Oki? Sekolah disini juga? Aku kira kau sekolah di sekolah negeri." jawabku.
"Ah.. Aku memang ingin mendaftar disekolah swasta kok." jawabnya. "Hem kau dikelas mana?"
"Aku dikelas C."
"Berarti kelas kita berdekatan." 
"Kau dimana?"
"Kelas A."
"Eh kelas A?" Lyan sontak berteriak membuat kami bertiga terkejut, ia berbalik dan masuk dalam kerumunan siswa entah apa yang ia cari disana.
"Temanmu kenapa?" tanya Oki aneh.
"Ah.. Dia..." 
"Dia pasti mencari namamu di papan pengumuman sana." celetuk Eka.
"Eh?" dan benar Lyan kembali dengan wajah muramnya. "Kau kenapa?" tanyaku khawatir.
"Kau ini benar - benar..." ucap Lyan ketika ia berhadapan dengan Oki, Oki sontak memundurkan wajahnya. "Kenapa namamu terpampang nomor satu sih.. Arggghh...aku tak bisa menerima ini... Arrgghhh.." Lyan menjambak ujung rambutnya kemudian berlalu dengan langkah lunglai menjauh dari kami, sementara itu Eka mengikutinya dari belakang sambil tertawa terbahak - bahak.
"Kau kalah telak ya.. Hahaha.." ejeknya.
"Diamlah.. Aku sedang tidak mood bertengkar denganmu!" 
Aku dan Oki saling berpandangan dan sedetik kemudian kami tertawa.

Entah angin dari mana? Aku dan dia semakin lama semakin akrab. Kemanapun aku pergi, Oki pasti ada disana. Sengaja ataupun tidak kehadirannya kini menjadi suatu kebutuhan bagiku.
"Jadi kau ikut ekskul PMR?" tanya Oki sembari menyeruput minuman kotaknya.
Aku mengangguk, mencoba mengunyah cepat roti yang ku makan. "Kalau kau?"
"Ah aku tidak berniat ikut ekskul apapun." 
"Hah? Kupikir kau akan ikut klub basket lagi seperti waktu SMP."
Oki menundukkan wajahnya dan tersenyum miris, "Tidak." ia menegakkan wajahnya kembali, "Aku hanya ingin fokus belajar saja."
Aku melihat keseriusan didirinya, 'Apa dia benar - benar sudah melupakan Gusti? Atau.... Ah bukan urusanku juga sih.' aku terdiam dan melanjutkan kegiatan makanku tadi tanpa mengatakan apapun dari jawabannya.

Beberapa minggu kemudian, Oki mengirimku pesan untuk bertemu sepulang sekolah di toko buku.
Aku mempercepat langkahku, memasuki toko buku yang dikatakan Oki, menelaah satu per satu lorong kecil disana, "Ah itu dia." aku menghampirinya. "Maaf ya lama datang. Tadi ada rapat sebentar."
Dia tersenyum, "Kau jadi sibuk ya. Maaf kalau aku menganggu kegiatanmu." ucapnya sembari mengembalikan buku yang dipegangnya.
"Ah tidak apa kok. Hehe. Ada apa?"
"Kau sudah makan?"
Aku menggeleng.
Dia berjalan mendahuluiku, "Ayo kita cari tempat makan dulu. Aku jadi lapar setelah menunggumu." 
"Eh?"
Ditempat makan fast food,
"Hey, kau makan banyak juga ya?" aku tertegun melihatnya memakan 3 bungkus burger besar dengan waktu yang cepat.
Dia tertawa kecil, "Kaget ya?"
"Hah?" dia tertawa pula.
"Dari kemarin malam aku tidak makan, jadi siang ini aku menjadi sangat lapar." jawabnya polos.
"Eh kenapa kau tidak makan?"
"Tidak ada makanan dirumah dan aku malas beli makanan diluar. Lagipula aku sedang membaca buku ini, kalau aku sudah membaca kadang lupa waktu. Haha." ia menunjukkan buku tebal miliknya yang tergeletak manis diatas meja.
'Buku pintar pratikum kimia?' aku membacanya, 'Ah.. Anak ini berbeda dunia denganku ya? Baru kelas satu saja bacaan bukunya sudah berat begitu.' aku meringis.
Oki yang melihat reaksiku memiringkan wajahnya, "Kau kenapa? Makanannya tidak enak?"
Aku terkesiap, "Tidak. Ini enak kok. Nih aku makan." aku melahap cheese burger didepanku.
Dia terkekeh geli, "Ngomong - ngomong kau tau tidak? Kalau aku terpilih menjadi ketua kelas."
"Wah selamat. Berarti teman - teman dikelasmu mempercayakanmu." jawabku memberi acungan jempol.
"Ah tidak begitu. Walikelas yang memilihku."
Aku tertegun, "Begitu ya?"
"Iya. Apa tidak apa ya kalau aku jadi ke tua kelas. Aku tidak punya pengalaman apa - apa dalam memimpin sesuatu."
"Hal seperti itu tidak perlu pengalaman kok. Kau hanya perlu melakukan tugas ketua kelas saja. Ya mungkin begitu. Hehe." aku ini bicara apa sih? Sok tau sekali. Aku memukul kepalaku sendiri.
"Kenapa kau memukul kepalamu?" aku tertangkap basah melakukan hal aneh.
"Ah tidak kok. Hehe.." aku mengelak.
Lagi - lagi dia terkekeh melihatku dan tanpa sadar akupun ikut tersenyum melihatnya.

***

"Minggu depan aku akan ikut lomba antar sekolah diluar kota dan memakan waktu sekitar 5 hari disana." ucap Oki.
"Kau terpilih ya mewakili sekolah?" tanyaku.
"Ya. Bersama siswa kelas 2 yang lain."
"Semoga menang ya. Kau kan pintar."
"Haha.. Tapi disana pasti aku akan bosan."
"Kenapa bosan?"
"Kami menginap disana, karena kegiatan lombanya bukan hanya cerdas cermat saja, kami juga harus melakukan penelitian, uji coba dan segala macam praktek kimia."
"Wah.. Begitu ya.. Pasti berat ya."
Oki tersenyum mengiyakan, "Tidak apa kok."
"Kalau begitu, jika kau merasa bosan. Hubungi aku atau kirim pesan. Nanti aku akan siap siaga untuk menghiburmu." aku berapi - api menyemangatinya.
"Haha.. Terima kasih. Kau semangat sekali."
"Heheehe.. Ya harus semangat! Biar kau juga semangat mengikuti kegiatan lombamu. Oke!" 
"Oke!" dia mengempalkan satu tengannya mengikuti dan kami tertawa.
.
Aku lesu setelah keluar dari ruang PMR, "Kenapa harus aku yang mewakili kelas 1?" langkahku lunglai setelah mendengar keputusan dari ketua PMR bahwa aku dan siswa kelas 2 lainnya harus mengikuti kegiatan bakti sosial selama 5 hari disebuah desa. Bukan karena aku tidak suka melakukannya, tapi kenapa harus bersamaan dengan jadwal perlombaannya. Aku menghela nafas panjang, "Sudahlah Sari... Ini sudah suratan takdir."

Lyan tidak masuk sejak 2 hari lalu, aku menatap bangku kosong disebelahku. Biasanya dia cerewet sekali, tapi belakangan ini aku merasa aneh dengannya. Dia sering terdiam dan terlihat melamun, bahkan candaan Ekapun ia acuhkan. Aku mengernyitkan dahi ketika melihat Eka diluar kelasnya terdiam menatap kedepan tanpa ekspresi, 'Anak itu kenapa? Apa karena Lyan tidak masuk?'.
Aku menggelengkan kepalaku, "Ah.. Mikirin apa sih? Besok kan aku juga tidak masuk sekolah karena ijin ikut kegiatan baksos."
"Sari?" panggil salah satu teman disampingku.
"Ya." jawabku.
"Apa kau sudah punya kelompok untuk tugas fisika?"
"Eh? Iya ya kemarin pak guru meminta kita membuat makalah ya?" aku hampir lupa tugas itu.
"Kau mau masuk kelompok kami? Kami kurang satu orang."
"Oh oke. Tapi 5 hari kedepan aku tidak bisa belajar bersama. Aku ada kegiatan baksos bersama anggota PMR yang lain."
"Tidak apa. Kau bisa menyusulnya nanti. Aku akan membagikan tugasnya secara adil."
"Baiklah." aku merasa ada yang mengganjal seperti melupakan sesuatu hingga bel berbunyi membuyarkan lamunanku.

***

Selama waktu perlombaan antar sekolah itu berlangsung dan kegiatan baksosku berjalan bersamaan. Setiap malam aku dan Oki saling mengirim pesan, aku berusaha menghiburnya dan menyemangatinya.
Dia pun demikian, aku merasa duniaku saat ini sangat berwarna. Terkadang akupun tanpa sadar tersenyum - senyum sendiri, bahkan Sara kakak kembarkupun bergidik ngeri saat melihat tingkah konyolku.
Aku menuruni tangga rumahku menuju dapur untuk makan bersama.
"Lama sekali sih? Aku sudah lapar tau." celetuk Sara.
"Iya iya maaf, aku kan baru saja selesai mandi. Lelah sekali hari ini.. Huffttt.." jawabku sembari menggeser kursi makan dan duduk disana.
"Bagaimana kegiatan baksosmu?" tanya Ibu yang sedang menyendoki nasi kedalam piring kakakku.
"Ya.. Lumayan melelahkan Bu." aku yang setengah mengantuk karena lelah itu mengambil sepotong paha ayam dimeja.
"Makan yang banyak, kau kan sekarang petugas penyelamat. Jadi harus kuat jangan lemah." Ibuku memberikan nasi yang banyak dipiringku.
"Ibu ini terlalu banyak." protesku.
Sara tanpa peduli terus mengunyah makanannya.
"Sudah jangan protes. Habiskan oke!" seru Ibuku.
"Ah.. Baiklah."
"Owhh.. Iya.. Tadi temanmu ada yang telepon mencarimu." ucap Ibu teringat.
"Hem? Siapa?"
"Lyan kalau tidak salah."
Aku tersedak dan dengan segera ibu mengambil segelas air minum untukku. Aku menegaknya perlahan hingga bisa bernafas lega kembali.
"Pelan - pelan makannya. Aduuhh."
'Ah.. Lyan! Aku lupa dengannya!' seruku dalam hati.

Berkali - kali menghubungi ponselnya tidak dapat tersambung. "Aduh kenapa tidak bisa terhubung sih? Dia pergi kemana sih? Telepon kerumahnya juga tidak diangkat sekarang ponselnya pun tidak bisa." gerutuku. Aku terduduk didepan meja belajarku. Setelah mendapat pesan singkat dari teman satu kelompokku agar aku dapat menyelesaikan bagian tugasku besok lusa, tanpa pikir panjang aku mengabaikan lagi sahabatku itu.

Hari pertama di awal minggu, aku merasa sangat bersalah padanya. Ya, Lyan di marahi oleh Pak Cakra diruang guru. Ini semua gara - gara aku tidak memberitahunya bahwa ada tugas fisika. Lyan tidak masuk seminggu karena ada acara keluarga ayahnya ditempat kelahirannya, karena susah sinyal jadi Lyan tidak bisa menghubungi siapapun bahkan hanya untuk meminta ijin tidak masuk.
"Maaf ya." pintaku saat ia terduduk lesu dibangkunya.
"Tidak apa kok. Aku yang salah. Sudahlah kau tidak usah merasa bersalah seperti itu. Lagipula kan kau sudah berusaha memberitahuku kemarin, jadi dengan cepat aku membuat makalahnya."
"Tapi kan makalahmu ditolak."
"Itu karena aku asal saja membuatnya, jadi Pak Cakra memintaku mengulang kembali. Tidak apa kok, kau tidak usah khawatir."
Aku menatapnya diam namun dia tersenyum padaku.

***

"Jadi kau bersedih karena merasa bersalah padanya?" tanya Oki yang saat ini duduk bersamaku ditaman belakang sekolah.
Aku menatap langit biru cerah itu, "Iya. Padahal aku tau kalau dia tidak masuk sekolah dan ada tugas kelompok, kenapa aku tidak meminta mereka menyantumkan namanya. Bahkan aku hampir lupa memberitahunya."
"Tapi sekarang dia sedang dibantu Dimas kan?"
"Eh? Dimas siapa?"
"Dia wakil ketua dikelasku. Dia ditugaskan oleh Pak Cakra untuk membantu temanmu. Aku dengar sedikit dari pembicaraan mereka waktu itu."
"Mereka?"
"Iya, Dimas dan Andika. Mereka kan dekat."
"Oh.. Andika." dia salah satu kenalanku waktu aku bertugas sebagai petugas kesehatan setiap upacara.
"Tapi aku agak khawatir sih."
"Kenapa?"
"Kudengar Dimas itu anaknya agak dingin dan acuh, walaupun dia pintar sih."
"Hn? Apa kepribadiannya buruk?"
"Tidak juga, mungkin dia bersikap dingin karena dia populer dikalangan murid perempuan. Orangnya tampan juga, hehe." Oki tertawa kecil membuat perutku terasa ada yang menggelitik.
"Kau juga tampan kok." celetukku dengan menatapnya berbinar, "Eh?" aku mengatup mulutku segera karena sadar akan ucapanku tadi.
"Kau tadi bilang apa?" Oki menegaskan.
"Tidak kok. Tidak ada.. Hahaa." 
Oki terdiam menatapku dan itu sedikit membuatku salah tingkah.
"Kenapa? Ada yang aneh dengan wajahku?" aku menepuk - nepuk pipiku.
"Tidak." ia tersenyum lagi, "Sari apa ada orang yang kau sukai?" tanyanya tiba - tiba membuatku terkejut.
Aku terdiam sesaat, "Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Ada ya?" terkanya.
"Eh... Bagaimana ya?" aku menggaruk tengkuk kepalaku.
"Aku rasa... Aku menyukaimu Sari. Kau mau jadi pacarku?" 
Aku tertegun dan tak percaya dengan ucapan Oki barusan. Melihat wajahnya yang serius saat ini dan tatapannya yang hangat berbeda dari biasanya, "Apa kau tidak salah bicara?"
Oki menggeleng, "Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya. Aku belajar dari Gusti tentang meraih semua keinginanku walau tak banyak orang yang mendukungku. Dan akupun belajar darimu tentang bagaimana bangkit dari keterpurukan karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku." dia meraih kedua tanganku dan digenggamnya erat, "Sari, maukah kau jadi pacarku?"
Tenggorokanku tercekat dan perutku seperti banyak kupu - kupu berterbangan, geli sangat geli. Aku tak percaya ini, "Ah... Aku..."
"Hem? Apa kau sudah ada orang yang disukai ya?"
Aku mengangguk.
"Ah... Maaf kalau be..."
"Orang itu kau Oki." ucapku.
"Eh? Sejak kapan?"
"Kurasa sejak aku pertama berkenalan denganmu." 
Oki tersenyum lebar menatapku, "Jadi kau menerimaku?"
"Tentu saja."
"Terima kasih."
"Ya." aku merasa bahagia.

Aku kembali ke kelas dengan bersenandung kecil, 'Duniaku cerah, duniaku cerah hahahaa...' teriakku dalam hati. Aku menghentikan langkahku ketika kelasku dikerumuni banyak siswa. Aku menerobos masuk, "Ada apa sih?" sontak aku membulatkan mataku dan tanpa basa basi aku menghampiri mereka.
"Hey apa yang kalian lakukan padanya!" seruku menarik lengan Lyan dari cengkraman mereka. Sekelompok murid perempuan dari kelas lain menumpahkan  minuman bersoda ke atas tas milik Lyan. Saat itu Lyan mencoba mengambil tasnya, namun dihadang oleh salah satu dari mereka.
"Kau ini siapa hah?"
"Kalian yang siapa? Kok melakukan hal seperti itu pada orang lain. Cepat minta maaf pada temanku!" omelku.
"Wah beraninya kau memintaku untuk minta maaf padanya?" seorang siswi berambut lurus itu berjalan mendekatiku, "Heh dengar ya. Bilang pada teman cupumu itu, kalau tidak mau berurusan dengan kami jangan jadi sok pahlawan. Jika tidak akibatnya akan lebih dari ini." ancamnya.
Aku mengernyitkan dahiku, "Apa maksudmu?"
"Sari sudahlah tak usah menanggapi mereka." Lyan menepuk bahuku pelan, "Kau pikir aku akan tunduk padamu karena kau mengerjaiku? Kerjai saja aku sampai kau puas." ucap Lyan.
"Hahaha... Berani benar anak ini." cibirnya.
Bel sekolah berbunyi menandakan semua siswa harus kembali kekelas.
"Kau beruntung hari ini, lain kali kau akan dapat lebih dari ini." ancamnya lagi, "Ayo teman - teman kita kembali." ajaknya pada teman sekelompoknya. Sejenak kemudian ia berhenti dan melihat kesemua isi kelas, "Jika ada yang membantunya seperti anak itu, aku tak akan segan membuat kalian bernasib sama dengannya. Hahaa.. Ayo." ucapnya sambil berlalu pergi.
Riuh ramai siswa dikelas karena kejadian itu, aku membantu Lyan membereskan buku - bukunya yang sebagian basah. "Kau tak apa? Siapa mereka? Ceritakan padaku." pintaku.
"Aku baik - baik saja." jawabnya tanpa memandangku.
Aku menatap sendu sahabatku ini, pantaskah aku bahagia disaat dirinya mendapat kesusahan seperti ini.

***

Oki mengirimku pesan bahwa dia akan mentraktirku makan es krim seusai pulang sekolah. Aku mengembangkan senyum lebarku dan kujawab 'Oke.'
Tapi,....
Aku berjalan lunglai kearahnya, terlihat dia mengernyitkan dahinya.
"Kau kenapa?"
"Maaf Oki, hari ini tidak bisa. Aku lupa memberitahumu, hari ini aku ada latihan unit seminggu sekali. Dan jadwalnya hari ini. Aku minta maaf..." Sesalku.
Dia terkekeh, "Oke kalau gitu lain kali saja ya."
"Eh memangnya besok kau ada acara?"
"Aku ada les. Kebetulan aku mengambil les bahasa asing."
"Otakmu terbuat dari apa sih? Memangnya tidak pusing ya belajar terus."
"Haha tidak kok. Salah satu hobiku ya belajar, bukankah belajar itu bagus ya?"
"Ya sih."
Dia mengusap - ngusap kepalaku lembut dan tersenyum manis, "Aku janji lain kali akan mentraktirmu makan es krim. Oke?"
Aku terkesiap melihat senyumannya, aku mengangguk.
"Ya sudah ayo kembali ke kelas."
"Oke."

Senyuman diwajahku memudar ketika melihat Eka yang berjongkok dihadapan Lyan. Dengan cepat aku menghampiri mereka.
"Lyan ada apa? Hah kau terluka?" ada luka lecet di lututnya.
"Tidak apa kok. Ini hanya luka kecil."
"Ayo ikut aku ke UKS, akan aku obati disana." tawarku.
Eka berdiri, "Percuma, tadi aku sudah menawarinya begitu, tapi dia tidak mau."
"Ini cuma lecet sedikit. Tidak apa kok Sari."
"Kau didorong oleh mereka, kenapa kau tidak melawan sih." kata Eka melipat kedua tangan didepan dadanya.
Lyan menoleh kearahnya dan menatap Eka seakan ada hal yang tidak boleh aku tau.
"Didorong?" tanyaku. Aku memegang kedua bahu Lyan, "Sebenarnya ada apa? Katakan padaku."
Lyan menatapku dan disampingnya Eka masih menunggunya untuk membuka suara.

"Apa? Jadi karena itu mereka...." teriakku saat kami bertiga berada ditempat yang cukup sepi disekolah.
"Sudah. Tenanglah." Lyan menahan bahuku.
"Kau sudah melaporkannya ke guru BK?" tanyaku.
Lyan mengangguk, "Sudah dan mereka mendapatkan skorsing."
"Terus kenapa mereka jadi melakukan itu padamu? Kau menjadi korban bullying sekarang." aku sangat kesal mendengarnya.
"Aku hanya perlu melawan mereka dan bertahan saja." jawab Lyan.
"Ha.. Tapi tadi kau tidak malawan." sela Eka.
"Tadi aku lengah tau, kau tidak lihat dari awal sih." Lyan mencoba membela diri.
Aku menghela nafasku, "Mereka dari kelas berapa sih?"
"Kelas A." jawab Lyan.
"Hah?! Ada ya orang seperti mereka dikelas anak - anak pintar disana. Perilaku mereka bahkan tidak seimbang dengan nilai akademis mereka." ocehku.
"Kau tak tau apa - apa Sari." ucap Eka.
"Apa maksudmu?"
"Memang disekolah ini kelas terbagi berdasarkan nilai akademis, tapi beberapa diantara mereka menaruh sebagian bangku kosong untuk yang punya kuasa." jawab Eka.
"Aku dengar juga karena mereka dari keluarga kaya." susul Lyan.
Aku mengepalkan salah satu tanganku, kesal sudah pasti. Bagaimana bisa kehidupan nyata sama dengan skenario sinetron dilayar kaca.

***

Oki memerhatikanku sembari memgunyah makanannya, "Sari, oi Sari." ia melambaikan tangannya didepan wajahku.
Aku tersadar dari lamunanku, "Eh iya ada apa?"
"Kau melamun. Memikirkan apa?" tanyanya dengan mulut penuh makanan.
'Uhh gemasnya.' gumamku kagum, "Eh?! Aku melamun?"
Oki mengangguk, "Dari tadi kau diam saja dengan tatapan kosong."
"Oh. Tidak, aku tidak memikirkan apa - apa kok. Hanya saja aku kasihan dengan sahabatku Lyan."
"Hn? Memangnya ada apa dengannya?" sembari menyeruput minuman dan mengelap mulutnya dengan tisu, ia menaruh kedua tangan dimeja dan dengan seksama menunggu mendengar jawabanku.
"Dia, mengalami kejadian yang tidak enak belakangan ini. Sejak ia menolong orang lain dari sekelompok orang - orang yang suka membully. Malah sekarang dia yang menjadi sasaran orang - orang itu." jawabku.
"Kejadiannya dimana?"
"Disekolah kita."
"Ada ya?"
"Ya. Dan sekarang aku tidak bisa membantu apa - apa."
Oki tersenyum dan meraih tanganku diatas meja, "Hey, kau kan sering memberi semangat padaku. Kenapa kau tidak memberinya semangat, biasanya korban bully tidak melulu membutuhkan perlindungan, tapi juga support dan kepedulian dari orang terdekatnya. Jadi jika kau ingin membantunya, bantulah dengan apa yang kau punya. Hem, bukan begitu?" jelasnya.
Aku tertegun mendengarnya, "Benar juga. Terima kasih kau sudah menyadarkanku."
Dia tersenyum dan aku menimpalinya.
.
"Oki adalah orang yang baik bahkan dia sangat baik dan perhatian denganku. Orangnya juga lembut, walaupun ia sedikit pendiam. Dia bahkan bisa menjadi penasehat dalam hidupku saat itu." Sari mengenangnya dengan tatapan sendunya.
Andika terdiam menunggu kisah selanjutnya yang akan diceritakan oleh Sari. 
"Lalu bagaimana kau bisa terlibat dengan orang itu?" tanyanya.
"Ah.. Ya sampai ketika...." 
.
Akhir semester dua tahun pertama,
"Aghh.. Rasanya leherku pegal semua.." keluhku.
Lyan yang berjalan disampingku hanya tersenyum, "Kau mungkin terlalu sibuk dengan pelatihan di klub PMR ya?"
Aku mengangguk, "Agak melelahkan sih, tapi aku dapat banyak ilmu."
"Pastinya." 
Seseorang yang berdiri diseberang kami, menghentikan langkah kakiku dan Lyan.
Lyan terdiam, "Ada apa dia disini?"
Aku tersenyum, "Aku belum bilang padamu ya?"
"Eh?"
"Aku dan dia sudah hehehe..." aku memberi isyarat kalau kami telah menjalin suatu hubungan.
Lyan melongo, sedetik kemudian ia mengerti. Dengan helaan panjang, "Haaa... Sejak kapan?"
"Hm.. Beberapa bulan ini. Tapi jangan beri tahu siapapun ya."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan. Oke. Kalau begitu aku kesana dulu ya menemuinya. Kau bisa kembali kekelas duluan." ucapku.
"Ah.. Baiklah.. Dah." pamitnya.
Aku segera menghampiri Oki yang berdiri membelakangiku. "Oki."
Dia menoleh kebelakang dan tersenyum melihatku. "Aku kira kita tidak bertemu hari ini."
"Bertemu kok.. Hehee.."
"Iya. Nanti pulang sekolah aku akan mengajakmu kerumahku."
"He?? Ada apa?"
"Pokoknya nanti aku tunggu kau dihalte bus depan sana. Oke?"
Aku mengangguk, "Oke."

***

Aku tak menyangka, Oki akan mengajakku untuk datang kerumahnya. Rumahnya cukup besar, disana hanya ada pembantunya saja. Setelah menyapanya aku diajak masuk dan diminta menunggu di ruang tamu.
Oki menaiki tangga rumahnya, ia minta ijin untuk berganti pakaian. Aku disuguhkan segelas air mineral dan sekotak kue.
Kedua bola mataku tak bosan mengelilingi apa yang ada didalam rumahnya. Tanpa aku sadari, Oki sudah berada dibelakangku.
"Ah.. Kau membuatku kaget." aku mengelus - elus dadaku.
"Selamat ulang tahun." tanpa aku ketahui Oki memberi kejutan dihari spesialku ini, bahkan aku saja hampir lupa tanggal lahirku sendiri.
Oki membawa seloyang kecil cake cokelat dan dihiasi lilin - lilin kecil disana. Aku diminta untuk meniupnya setelah aku membuat sebuah harapan.
"Terima kasih." air mata mengalir disudut mataku, aku terharu. "Darimana kau tau ulang tahunku?"
"Dari sahabatmu."
"Eh? Lyan?"
"Ya." jawabnya senang.
"Tapi bagaimana?"
"Ahahaaa.. Itu agak susah dijelaskan sih, walaupun katamu dia sedikit berubah sejak kejadian itu, aku menganggapnya mungkin dia juga akan berubah menjadi sedikit ramah padaku, tapi tidak apa kok, dia sebenarnya baik.. Hehee walaupun aku sempat diinterogasinya."
Aku mengernyitkan dahi, "Lyan kan baru tau kalau kau pacarku barusan dan dia tidak mengucapkan selamat padaku?"
"Ah... Sebenarnya tiga hari lalu aku tak sengaja bertemu dengannya dan menanyakan hari ulang tahunmu. Dia tadinya tidak ingin memberitahunya, karena aku bilang kalau aku ini pacarmu dan dia sempat tak percaya namun pada akhirnya diberi tahu juga.. Hahaa.." tawanya terdengar garing.
Aku terkekeh, 'Jadi tadi Lyan pura - pura tak tahu ya. Dasar dia itu.. Dan dia sengaja tidak memberiku selamat, mungkin karena kesal padaku? hahaa...' kataku dalam hati.

Aku tak berkutik melihat beberapa soal matematika dalam buku latihan sekolah. 'Aahhh ini membuatku pusing.' aku menghela nafasku. Kulirik Oki tertidur pulas disebelahku, sepertinya dia mengantuk setelah menyelesaikan buku latihannya dan dia cukup banyak makan kue tadi.
Tanpa sadar aku tersenyum, jemari tanganku tak kuasa ingin menyentuh rambutnya, 'Halus sekali.' gumamku, aku tertegun ia bergerak, 'Ah apa akan ketahuan?' aki menarik tanganku perlahan tapi..
"Kau sedang apa?" tanya Oki membuka matanya dan menahan tanganku. Ia menegakkan tubuhnya dan menghadap kearahku.
Pipiku merona malu, "Tidak ada..." aku membuang wajahku, 'Ahhh.. Ketahuan..'
Oki melirik kearah lembaran buku latihanku, "Hn? Masih banyak yang belum kau jawab?" tanyanya melepas tanganku.
"Ah.. Iya.. Agak susah hehe." tukasku sembari menggaruk kepala.
Dia mengambil pulpen dan selembar kertas kosong, mencorat coret disana memberi penjelasan cara dan perhitungan dari soal - soal yang tak ku mengerti.
"Apa kau sekarang mengerti?" tanyanya menoleh kearahku.
"Iya." aku mengangguk, "Terima kasih, berkat kau aku jadi cukup mengerti." kataku melanjutkan kegiatan hitung menghitung.
Aku melihatnya walau sedikit disudut mataku, Oki memperhatikanku dalam diamnya, ia tak menoleh sedikitpun kearah lain dan itu membuatku sedikit gugup. "Ahh.. Oki ada apa?" tanyaku memberanikan diri menoleh kearahnya.
"Sari, boleh aku...." ia menjeda ucapannya, telinganya terlihat memerah.
"Hm?" aku menunggu.
Dia terdiam menatapku dan menelan ludahnya.
"Oki? Kau kenap.." degub jantungku berubah menjadi cepat, seperti menaiki kereta shinkasen melaju cepat diantara kereta cepat yang ada di Indonesia. Ucapanku terhenti ketika ia mengatup bibirku dengan cepat. Aku diam karena sangat terkejut bahkan aku merasa kedua mataku tak berkedip.
Oki membuang wajahnya dengan jelas aku melihat tadi, ia mengecupku.

***

Tbc

Note :
Font pink : Adalah Flash back didalam flash back (font berwarna biru)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar