Kamis, 18 Januari 2018

CERBUNG : REVERSE Chapter 9.2





REVERSE



Genre : Schoolife, Drama, Fantasy
Chapter 9.2

Prev Prolog123456789.1

***

Sejak saat itu entah kenapa aku menjadi merasa bertanggung jawab akan keselamatan Lyan dari semua perlakuan tak baik disekelilingnya.
"Dimas.. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu." ucap Andika.
"Apa?"
"Apa kau menyukai Lyan?" bisiknya.
Aku terkejut dengan pertanyaannya, "Apa yang kau katakan?"
"Aku lihat akhir - akhir ini kau dekat dengannya."
Aku terdiam, 'apa aku sedekat itu sampai Andika berasumsi aku menyukainya?'
"Hey jawablah. Kenapa diam?"
"Mana mungkin aku menyukainya."
"Lalu kenapa kau begitu peduli padanya."
"Aku sudah terlanjur janji untuk melindungi dia."
"Janji?"
Aku mengangguk. "Sebenarnya bukan janji yang seperti itu. Hanya saja dia adalah korban bully. Dan kau tau salah satunya diakibatkan karena aku."
"Hey, kau kan berhubungan dengannya hanya karena suruhan walikelas kan. Kenapa kau jadi peduli sekali."
"Hemm."
"Yang aku tau kau bukan tipe yang dekat dengan sembarang wanita. Bahkan kau berusaha menjauhi mereka. Kau juga tipe yang acuh terhadap sekitarmu. Tapi yang aku lihat jika kau bicara dengannya terasa itu bukan dirimu."
Aku tertegun dengan perkataan Andika barusan. 'Benarkah semua itu?'
Andika menatapku, "Apa kau masih memiliki perasaan dengan kakak sepupumu?"
Aku menoleh kearahnya, "Sudah ku katakan jangan bahas itu lagi."
Andika menghela nafas, "Kuharap kau memang sudah benar - benar move on darinya." ucapnya berlalu sembari menepuk bahuku.
Aku terdiam.

Setibanya aku dirumah,
Kulihat ada sepatu yang asing bagiku. Setelah kuucap salam dan dijawab oleh salah satu penghuni rumah yaitu ibuku.
"Bu apa ada tamu?" tanyaku.
Ibuku sedang memotong buah apel dan menatanya dipiring.
"Ya. Ini berikan padanya. Dia ada dikamarmu." ucap Ibu dengan senyum lebarnya.
Aku mengernyitkan dahi dan menerima sepiring apel dari Ibu. Aku menapaki anak tangga menuju kamarku. Pintu kamarku terbuka, "Ahh... Tidak sopan sekali. Ini kan ruang privasiku! Aku rasa, aku tau siapa yang suka seenaknya masuk kamarku." aku membuka pelan pintu kamarku dan kudapati dia disana terduduk manis ditepi tempat tidurku.
Dia menoleh kearahku dan tersenyum, "Halo lama tak jumpa."
Aku menghela nafas, "Hah.. Sudah kubilang jangan seenaknya masuk kamar orang." jawabku dingin sembari menaruh sepiring apel dimeja.
"Wah... Sudah lama tak bertemu kau belum berubah juga ya. Masih ketus dan dingin seperti itu. Tapi... Aku tetap suka." ucapnya membuatku berhenti sekilas.
"Jangan bicara seperti itu dengan mudah. Nanti banyak orang salah mengartikannya."
"Hn? Bukankah aku sudah biasa mengatakan itu padamu. Bahkan pada adikmu juga.. Hehe." ucapnya tanpa dosa.
'Hah.. Dia ini! Tidak pernah sadar akan sikapnya ya.' gerutuku.
"Kau mau apa kesini?" aku mendudukan diri dikursi belajarku tanpa melihatnya.
"Duhh... Kalau kau begini terus bagaimana bisa wanita - wanita diluar sana suka padamu." ejeknya.
Aku terdiam tak menghiraukannya, "Keluarlah. Aku lelah ingin istirahat."
Dia berdiri, "kau mengusirku?"
"Ya."
"Jahat sekali. Akan kulaporkan pada tante."
"Laporkan saja. Aku tidak peduli."
"Huh! Dasar menyebalkan." kemudian dia keluar kamar dengan menutup pintu kamarku agak keras.
"Haaahhh..." aku menghela nafas panjang, "kenapa dia mesti kembali lagi?"

***

Akhir pekan tiba,
Entah kenapa tiba - tiba aku sudah berada disebuah cafe di pinggiran Mall.
Dia yang dihadapanku tersenyum lebar, "Ah.. Senangnya bisa jalan - jalan... Benarkan Dimas?"
Aku memutar bola mataku malas dan kesal.
"Hey, jangan kesal begitu." ucapnya menggoyang - goyangkan tanganku.
"Kalau bukan Ibu yang minta tolong. Aku tidak mau kesini. Buang - buang waktuku saja." jawabku malas.
"Ehh.. Memangnya kau tidak pernah hangout setiap weekend?" tanyanya.
"...."
"Ah.. Kau selalu menyebalkan yah."
"Sudah tau menyebalkan, kenapa kau ingin sekali aku menemanimu sih."
"Karena biarpun kau menyebalkan, membawamu pergi seperti ini menguntungkan buatku." jawabnya disusul dengan cengiran khasnya.
"Untung?"
"Yah.. Setidaknya tidak ada laki - laki yang akan mengangguku. Karena mereka pasti menganggapmu adalah pacarku."
Aku tertegun mendengarnya. Pada dasarnya aku menyukainya dan mungkin aku berharap seperti itu, tapi itu dulu ketika rasa sukanya kepadaku yang kuanggap itu benar.
"Haah.... Terserah."
Dia tersenyum dan melihat - lihat ruangan dari cafe yang kami singgahi. "Hey Dimas. Apa kau sudah punya pacar?" tanyanya tiba - tiba.
"Untuk apa kau tau?"
"Karena aku ingin tau seperti apa gadis yang kau sukai."
"Tidak penting untukmu."
"Hemm.. Dasar kau ini! Ah apa jangan - jangan kau ini tidak suka wanita ya!" tebaknya.
"Hah? Jangan berasumsi sendiri!"
"Ahh.. Jadi benar ya.. Kau menyukai sesama jenis?" godanya dengan sedikit berbisik.
Hawa panas menyelimuti wajahku, "Ku bilang jangan berasumsi sendiri!"
"Dimas?" seseorang memanggil namaku.
Aku dan Dia menoleh bersamaan kearahnya.
"Ah.. Benar kukira tadi bukan dirimu." ucapnya membenarkan terkaannya.
"Kau siapa?" tanya kakak sepupuku padanya.
"Ah.. Aku? Kenalkan aku..."
"Dia Lyan Amara. Pacarku." kupotong ucapannya sembari merangkul bahunya.
Lyan merasa terkejut dengan tindakanku, begitu pula dengan Dia.
"Oh.. Dia pacarmu?"
Aku mengangguk. Sementara Lyan masih sedikit terkejut.
"Kenalkan namaku Aulia. Aku kakak sepupunya Dimas. Senang berkenalan denganmu." Aulia menjabat tangan Lyan.
"Ah... Iya..." jawab Lyan dengan terbata.
"Kau kesini dengan siapa?" tanyaku pada Lyan.
"Aku? Ah.. Dengan Sari.."
"Mana Sari?"
"Ah.. Dia.. Ah itu dia... Aku kesana dulu ya. Permisi kak."
Aku melepas rangkulanku padanya dan membiarkan Lyan pergi.
"Hey.. Kenapa dia tidak satu meja dengan kita saja."
Aku kembali duduk. "Aku tidak ingin menganggu waktunya dengan sahabatnya itu."
"Hemm.. Jadi kau mencoba untuk menjadi pengertian?"
"Memang harusnya begitu kan."
"Tapi dia benar pacarmu?"
"Tentu saja. Tadi kan kau ingin tau. Kebetulan bertemu disini kan."
Dia mengerucutkan bibirnya seolah tidak percaya yang kukatakan.
Aku menoleh kearah meja dimana Lyan dan Sari duduk, kemudian kembali pada posisiku semula. 'Ah.. Ini akan jadi masalah baru buatku.'

***

Lyan merengut sejak tadi. Dia mendudukan dirinya dibangku dekat pohon rindang besar dihalaman belakang sekolah.
Aku berada tak jauh dari tempat duduknya.
"Dimas... Jawab pertanyaanku? Sejak tadi kau diam saja tak menjawabnya." ucapnya.
"Aku harus jawab apa?"
Lyan menoleh kearahku, "Kenapa kau berbohong pada kakak sepupumu bahwa aku pacarmu?"
"Kau tak perlu tau."
"Hah? Apa maksudmu?"
"Sudahlah lagi pula dia tidak akan kesekolah kok."
"Tapi jika aku tak sengaja bertemu dengannya bagaimana?"
"Hindari saja. Mudah kan."
"Hey, aku hanya minta padamu katakan padanya kalau kau berbohong tentang aku!" tegasnya.
Aku menoleh kearahnya, "Tidak."
"Apa?"
"Bel sudah berbunyi. Aku masuk kelas dulu." aku berlalu pergi meninggalkannya.

Sejak itu Lyan terus menemui dan memintaku untuk berkata yang sebenarnya pada Aulia.
"Dimas.. Tunggu!" panggilnya.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik, "Haahh.. Kau lagi?"
Dia terlihat mengatur nafasnya yang sedikit tersengal, "Apa kau sudah mengatakan yang sebenarnya?"
Aku menghela nafas panjang, "Lagi lagi kau tanya soal itu. Apa tidak bosan?"
"Tidak. Aku butuh kepastian kalau kau sudah berkata jujur padanya."
"Haaahhh"

Keesokan harinya,
Lyan disudutkan oleh sekelompok siswi yang biasa membullynya.
- Brugghh -
"Ahhh..." eluhnya saat punggungnya mendentum keras ke dinding gedung sekolah.
"Heh.. Walaupun kau mendapatkan sedikit perhatian dari Dimas bukan berarti kami akan berhenti 'memperhatikanmu'!" seru Vianda, ia adalah ketua dari geng tersebut.
Dua orang temannya hanya tersenyum sinis.
"Sebenarnya masalah kalian denganku apa sih? Kalian tidak punya kerjaan lain?" ucap Lyan masih meringis memegangi bahunya.
"Dia berkata apa barusan?" tanya balik Vianda pada kedua temannya, "hahahaa.. Lucu sekali." mimik wajahnya berubah geram. "Heh, apa kau lupa? Ku bilang padamu, jangan berlagak seperti pahlawan didepanku. Kau tak ingat hari itu? Kau membelanya dan sempat melaporkan kami ke guru BK? Bahkan kami semua mendapat surat skorsing. Apa kau lupa hah?!" ucapnya dengan mata melotot.
"Memang itu pantas untuk kalian kan? Kalian tidak pantas menilai seseorang rendah hanya karena dia miskin apalagi kau menyuruh - nyuruhnya seperti pembantumu!"
Vianda tertawa, "Wah... Kau masih berani bicara seperti itu ya?"
Lyan terdiam.
"Hey Via, habisi saja anak ini. Buat dia dikeluarkan dari sekolah. Bukankah itu sangat mudah untukmu?" ucap salah seorang temannya.
Vianda menarik satu alisnya keatas, "Benar juga."
"Lakukan saja semaumu. Aku tidak takut, walaupun guru BK disuap olehmu sekalipun atau kau akan mengarang cerita agar aku dikeluarkan dari sekolah." tegas Lyan.
"Wah wah..  Sok sekali kau ini. Dasar..."
Vianda melayangkan tamparan padanya namun Lyan menangkisnya.
Aku dan Andika yang sejak tadi tak sengaja melihat pertikaian mereka kemudian menghampiri mereka.
"Cukup!" seruku.
Mereka dengan bersamaan menoleh kearahku.
"Kau masih menyakitinya?" tanyaku pada Vianda. Ia menarik pergelangan tangannya dari cengkraman Lyan.
"Memangnya kau siapa? Selalu ikut campur urusanku dengannya?" ucapnya menantang.
"Aku pacarnya. Dan itu menjadi urusanku!" jelasnya.
Lyan dan Andika membulatkan kedua matanya karena terkejut. Vianda dan teman - temannya pun begitu terkejut mendengar ucapanku.
"Aku... Aku... Tidak peduli kau ini pacarnya atau bukan. Kalau dia tidak memenuhi keinginanku dia akan kukeluarkan dari sekolah ini!" ancamnya.
"Kau harus dengar dan lihat rekaman ini." ucap Andika tanpa diduga sembari memperlihatkan rekaman pembicaraan mereka tadi.
"Hah?? Kau!! Sejak kapan kau merekam itu?" ucap Vianda panik.
"Sejak kau mendorongnya ketembok." Andika menjawab santai.
Vianda dan kedua temannya nampak panik.
"Jika kalian berulah lagi, tak segan - segan aku akan melaporkan hal ini langsung ke kepala sekolah. Karena aku tau kalian sempat menyuap guru BK atas kasus awal semester kemarin kan?" ucap Andika.
Vianda dan temannya tak berkutik, dalam diam dan rasa kesal mereka pergi.
Aku menatap Andika. Andika tak sengaja mendapatinya, "Hn? Ada apa?"
"Kau hebat." ucapku datar.
Andika hanya tersenyum bangga.
"Kau tak apa?" tanyaku pada Lyan yang menatap tajam kearahku, dia menahan amarahnya.
"Dasar menyebalkan!" kemudian dia berlalu begitu saja. Dan hal itu membuat Andika kebingungan, namun aku tau sebab dari perkataannya tadi.

***

"Diimmaassss..." panggil suara nyaring dari lantai bawah.
Aku menutup telingaku, "Haaisshh orang ini. Kenapa teriak - teriak dirumah orang sih."
"Dimaaasss... Kau harus tau ini..."
"Bisa tidak kau mengetuk pintu dulu dan satu lagi jangan berteriak seperti itu. Ini rumah bukan hutan!"
Aulia cemberut dan membuang wajahnya, "Dasar menyebalkan."
"Haahh... Ini sudah berapa kalinya aku mendengar bahwa aku ini menyebalkan."
"Memang kau menyebalkan."
"Kau juga! Lagipula sudah hampir 2 minggu kau disini. Kapan kau akan pulang?"
"Memangnya kenapa? Toh ibumu tidak keberatan kok."
"Aku sangat keberatan. Karena kau sangat mengangguku."
Aulia hanya menggerutu. "Ah.. Aku tadi melihat pacarmu dengan seseorang. Kukira tadi dirimu tapi setelah kudekati ternyata laki - laki lain." susulnya.
Aku sedikit tersentak, "Lalu?" tanyaku santai.
Aulia mengernyitkan dahi, "Kau tidak curiga dengannya? Apa mungkin dia selingkuh?"
"Bukan urusanmu kan?"
"Haa.... Kau ini aneh sekali, jangan - jangan dia bukan pacarmu ya? Kau mengaku - ngaku didepanku kemarin agar kau tidak dicap menyukai sesama jenis?"
"Haaiissshhh... Bicara apa kau ini. Aku ingin tidur. Sekarang keluar dari kamarku dan tolong tutup pintunya." aku berdalih beranjak dari kursi dan segera berbaring membelakanginya.
"Hiiissshhh.. Ya sudah kalau begitu." ucapnya berlalu pergi.
Aku terdiam, 'apa laki - laki yang dimaksud tadi adalah pacarnya?'

***

Pagi hari diawal minggu,
Andika mengibas - ngibas tangan kearah wajahnya karena kepanasan, "Ah... Panasnya.. Kalau aku tau Sari menjaga dibelakang barisan kelas kita, aku akan pura - pura sakit agar aku bisa berduaan dengannya diruang UKS.. Hehee"
"Kau ini! Mana ada ruang UKS sepi? Ini hari Senin dan ada upacara justru akan lebih ramai dengan orang - orang sakit." Aku menjawab dengan gelengan kepala.
"Hahaa iya juga ya. Kau mau pesan apa?"
"Air mineral saja."
"Oke..  Tunggu disini."
"Terima kasih." ucapku.
"Kau sudah dengar gosip yang beredar sekarang?" seorang siswi yang duduk tak jauh dariku.
"Gosip apa?" tanya siswi yang lain.
"Si Lyan.. Lyan yang suka dibully oleh gengnya Vianda. Kudengar katanya dia berpacaran dengan Dimas loh." jawabnya.
Aku tak sengaja mendengar nama 'Lyan' disebut, aku putuskan untuk mendengarnya dengan seksama pembicaraan mereka.
"Masa sih? Kau percaya dengan berita itu? Dimas kan pintar dan juga... Tampan, masa iya suka dengan Lyan?"
"Halah, paling Lyan hanya mengaku - ngaku saja kan. Vianda kan sekelas dengan Dimas. Mungkin dia berkata begitu agar dia terhindar dari Vianda kan?"
"Iya juga, banyak fansnya Dimas yang sering mengaku - ngaku ya."
"Ya.. Seperti pacar bersama."
"Pfftt..." tahan tawa mereka.
"Lyan itu anaknya agak pendiam. Dikelas saja dia hanya dekat dengan Sari. Atau jika ada tugas kelompok pasti lebih banyak laki - lakinya."
"Karena mereka kan satu SMP."
"Tapi kalau tidak salah aku pernah melihat Lyan bicara dengan Eka sembari tertawa. Teman sekelasku."
"Ah.. Dia seperti penggoda ya. Mau bicara dan dekat hanya dengan laki - laki saja."
"Iya ya.. Hahahaa...." riuh tawa mereka.
"Haaaahhhh..." hela nafasku panjang.

Waktu berlalu dengan cepat, bel istirahatpun berbunyi.
"Hey, kenapa kau tak masuk klub basket bersamaku? Tubuhmu kan atletis dan skill bermainmu juga lumayan waktu SMP." kata Andika.
Aku berjalan berdua dengannya menuju gudang olahraga.
"Tidak. Aku ingin fokus sekolah saja." jawabku.
"Heeee.. Alasan klasik." ejeknya.
"Terserah." acuhku. Tak lama aku mengalihkan pandanganku. Dari kejauhan aku melihat Lyan berjalan bersama seorang laki - laki. Tanpa kusadari aku berjalan menghampirinya.

"Lyan." panggilku.
Dia dan laki - laki itu menoleh bersama.
"Hm? Ada apa?" jawabnya malas.
Sekilas ku lirik laki - laki disebelahnya, kurasa dia menyadari ada hal yang ingin aku tanyakan pada Lyan.
"Hem. Lyan aku duluan ya kekelas. Kalau ada waktu lagi, kapan - kapan kita ke toko buku bersama. Oke?" ucapnya sambil berlalu.
"Oke." jawabnya. Kemudian beralih menatapku, "Jadi ada apa?"
"Dia siapa?"
"Temanku. Eka Karunia Wijaya, kelas 1 B. Kenapa?"
"Ah... Jadi yang kemarin menemanimu ke toko buku adalah dia?"
"Hn? Darimana kau tau aku pergi kesana?"
"Hmm. Dari Aulia."
"Ha! Benar kan pasti akan bertemu dengannya walaupun tidak disengaja. Apa kau sudah mengatakan yang sebenarnya?"
"Belum, ah.. Tidak!"
"Isshh kau ini.. Maumu apa sih? Aku tidak mengerti maksudmu."
Aku terdiam.
"Kau tau, banyak masalah yang harus kuhadapi dan semua itu menjadi semakin banyak karena kau! Karena kau mengatakan bahwa aku pacarmu!"
"Bukankah itu menguntungkan untukmu? Jadi dengan status barumu itu bisa menjadi tamengmu kan? Dan kau tidak lagi berhadapan dengan mereka." jawabku sedikit berbangga.
Lyan mengernyitkan dahinya, "Apa?" dia menghela nafasnya. "Kupikir kau berbeda dengan yang lain, ternyata kau jauh lebih rendah memandangku daripada mereka. Kau pikir aku senang dengan itu?" dia marah.
Aku sedikit terkejut dengan reaksinya, "A...." aku kembali mengatup mulutku sebab Lyan sudah berlalu pergi meninggalkanku.

***

Waktu menuju akhir semester sekolah semakin dekat, kulihat Andika termenung dimejanya, tatapan matanya kosong kala itu. 
Ku hampiri dirinya, "Hey, ada apa denganmu?"
Dia melirikku sekilas dan menghela nafasnya sangat panjang. "Aku ditolak."
Aku mengernyitkan dahiku, "Dengan Sari?" terkaku.
"Ya." lirihnya.
"Ah..." Mungkin benar ada seseorang dikelas ini yang disukainya namun dia bukan Andika. "Sudahlah lain waktu kau coba lagi. Sekarang bukan waktunya kau terlihat lemah seperti ini, malu dengan tubuh kekar otot besimu. Urusan wanita saja malah membuatmu menjadi sehelai daun kapas. Sebentar lagi kita menghadapi ujian akhir semester. Kau harus bersiap." aku mencoba menyemangatinya.
"Kau sendiri bagaimana?" tanyanya.
"Bagaimana apanya?"
"Hah... Kau dengan Lyan. Kau juga jangan seperti sehelai daun kapas. Diterpa angin terbang begitu saja tanpa arah. Jika kau salah arah kau tak akan bisa kembali lagi." ucapnya.
Aku tertegun kemudian terdiam tak bisa menjawab apa - apa.

Aku menghampirinya dengan segera, menahan pergelangan tangannya. "Aku ingin bicara. Tolong jangan menghindar." 
Lyan menatap tajam, "Aku tidak mau!" serunya mencoba berontak melepas genggaman tanganku.
Aku menahannya, "Hei kalau kau begini, ini akan jadi perhatian umum." desisku.
"Maka dari itu lepaskan tanganku." pintanya pelan.
"Lyan!" suara seruan berasal dari arah belakangku. Sari dan Eka berlari kecil menghampiri kami.
"Ada apa ini?" tanya Eka panik.
"Iya ada apa?" susul Sari.
Aku melepas genggamanku, "Aku hanya ingin bicara padanya." jawabku.
Sari dan Eka beralih menatap Lyan, dia menunduk memalingkan wajahnya kearah lain.
"Hey, sepertinya dia tidak mau bicara denganmu." ucap Eka menyadari sikap Lyan.
"Tapi aku harus meluruskan sesuatu." selaku. "Ayolah Lyan kita butuh bicara." ajakku sekali lagi.
Sari memandang kearah kami, "Dimas kau bisa ikut aku?" pintanya.


"Maaf..." ucapku.
"Tidak apa. Lyan sudah cerita padaku." Sari terdiam sesaat dan menghela nafasnya sebentar, "Kau tau? Sebenarnya Lyan anak yang baik, dia mau berteman dengan siapa saja. Sikap sosialnya sangat tinggi, maklum kedua orang tuanya mengajarinya seperti itu. Dia terlahir dikeluarga yang sangat hangat, bahkan aku saja hampir iri dengannya. Tapi semenjak ia masuk SMA, kepribadiannya sedikit berubah mungkin itu disebabkan hal - hal yang dialaminya disini."
Aku mendengarnya dengan seksama.
"Dia pernah menolong seseorang korban bullying, berharap tidak ada lagi kejadian seperti itu namun apa yang ia dapat? Sekarang ia menjadi korbannya, walaupun begitu ia tidak mau menyerah dan tak mau dikasihani. Dia tidak peduli beberapa orang mengacuhkannya hanya karena takut terlibat dengan pembully itu, dia juga tidak peduli orang - orang membicarakan buruk tentangnya. Baginya lebih baik memiliki satu atau dua orang sahabat terbaik dibanding mempunyai banyak teman yang munafik."
"Ah... Jadi.."
"Kau tau? Lyan sempat kecewa padamu. Ia berpikir kau salah satu orang yang berbeda. Mau berteman dengannya tanpa takut bahkan kau pernah menolongnya bukan?"
"Sebenarnya saat itu, aku tak bermaksud menyakiti hatinya."
"Yang jelas Lyan tidak suka dianggap seperti itu. Dan kurasa dia butuh waktu untuk menghilangkan amarahnya." ucap Sari diakhiri dengan senyumnya.

***

Aku terus memikirkan perkataan Sari saat itu. Ketika aku tak sengaja melihatnya dari kejauhan, kedua mataku tak lepas dari wajahnya. Aku merasa sangat bersalah padanya, ini hal pertama yang kurasakan saat aku mengatakan sesuatu yang tak pantas kepada orang lain.
Tak jarang aku menjumpainya tengah berbincang dengan laki - laki yang tak lain adalah Eka, walaupun terkadang Sari menemani mereka. Akupun semakin sering mendengar gosip yang tak enak didengar mengenainya. Semua disebabkan karena aku!.

Satu minggu kemudian, hari terakhir ujian akhir semester.
Aku berjalan bersama Andika dikoridor kelas dengan membawa beberapa amplop isi lembaran jawaban siswa untuk diantarkan keruang guru 15 menit yang lalu.
"Ah.. Jam istirahat sudah hampir habis." keluh Andika berjalan gontai.
Aku menyunggingkan senyumku, "Yang penting UAS hari ini sudah selesai dan minggu depan libur kan?"
"Haaaa..  Tidak! aku ada jadwal basket." muramnya.
Sekilas aku melihat seseorang tengah berlari mengejar seseorang yang lain dan, "Eh itu kan.." aku  mengejarnya kearah lain.
Andika menyadari, "Tunggu Dimas!"

"Lyan tunggu!" seru Eka mengatur nafasnya yang tersengal - sengal. Bahunya ditahan oleh Andika yang saat itu sudah berada diantara mereka. "Hei lepaskan aku. Aku harus bicara dengannya." sergah Eka mencoba menerobos.
"Eits, tidak bisa kawan." tolak Andika menahan tubuh tinggi milik Eka.
"Tapi.. Aku..." keluhnya.

Disisi lain,
Lyan tengah berlari sembari menutupi wajahnya yang tengah berurai air mata itu. Aku masih mengejarnya, "Lyan tunggu! Ini aku Dimas." panggilku. Aku berhenti sejenak mengatur nafasku.
Dia berhenti ketika mendengar namaku namun tak berbalik.
Melihatnya tak berniat kembali untuk lari, aku mencoba mendekatinya perlahan. Kulihat bahunya naik turun dan sesekali kudengar ia sesegukan menahan tangisnya.
"Hei... Ada apa? Apa kau menangis?"
"Hiks hiks..." hanya suara isak tangis pelan yang terdengar.
Saat ini aku telah berada tepat dibelakang tubuhnya. Ia masih menundukkan wajahnya.
"Lyan... Mengapa kau menangis? Katakan padaku? Yah... Walaupun aku tak berhak tau. Tapi..."
"Kau... Hiks hiks.. Kenapa ada disini... Hiks" 
"Aku.. Melihatmu tadi, dikejar oleh Eka."
"...."
"Jadi? Apa yang terjadi?"
Lyan belum mau membuka suara lagi setelah pertanyaan tadi.
Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, "Maafkan aku."
Tak ada suara isak tangis kudengar darinya.
"Maafkan aku, jika sebelumnya aku menyakiti hatimu atas perkataanku tempo hari. Aku tak bermaksud seperti itu."
"...."
"Aku tau kau berhak marah dan tidak memaafkanku."
"Aku sudah memaafkanmu." jawabnya dengan suara pelan. Perlahan ia membalikkan tubuhnya, ia menegakkan wajahnya dihadapanku. Kedua matanya yang masih basah dan sembab itu menatapku sendu.
Aku tersenyum padanya untuk yang pertamakali, "Syukurlah. Terima kasih."
Dia mengangguk, "Tapi kau perlu klarifikasi mengenai status diantara kita yang sudah menyebar disekolah."
Aku terdiam, ada rasa tidak ingin melakukan hal itu. Apa aku egois?
"Sebenarnya apa yang terjadi?" aku mengalihkan pembicaraan dan kembali ke topik utama saat ini.
Lyan membuang wajahnya kearah lain, "Eka menciumku..." lirihnya.
"Apa?" 
"Aku tidak tau dia melakukannya dengan sengaja atau tidak. Tapi ini terasa sakit bagiku dan aku menangis begitu saja." ia mengepalkan tangannya.
Aku menyadari sesuatu, "Kau tak menyukainya?"
"Hn?"
"Maksudku apa kau tak menyukai Eka? Kulihat kau sangat dekat dengannya." jelasku.
"Sebenarnya aku tidak mau melakukan hal itu untuk pertama kali dengan orang yang tidak aku sukai."
Entah apa yang kupikirkan saat itu, aku mendekatinya dan menciumnya, 'chu~'. Kulihat ia membulatkan matanya, kurasa ia sangat terkejut.
"Dimas...." ucapnya pelan menatap tak percaya.
"Melakukan itu denganku apa juga terasa sakit dan ingin menangis? Jika tidak, ini adalah ciuman pertamamu dan yang tadi tidak masuk hitungan." kataku.

***

Tbc

Note : Beberapa kata dan kalimat pada chapter sebelumnya (chapter 1-8) saya ubah (revisi). Setelah saya baca kembali ternyata banyak typo disana sini dan alur yang tidak menyambung.

Dan teks biru adalah flashback.

Happy reading.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar