Rabu, 23 Mei 2018

CERBUNG : REVERSE Chapter 10.1


REVERSE



Genre : Schoolife, Drama, Fantasy
Chapter 10.1

Prev Prolog123456789.19.29.3


***

Sari berdiam diri dimeja belajarnya sendirian sejak tadi, masih teringat dikepalanya saat Andika mencoba menceritakan apa yang dialami oleh Sari sebelumnya.

Flash back on,
Sari menundukkan wajahnya didepan wastafel toilet, sebagian rambutnya basah dan seragam yang dikenakannya kotor oleh tepung bercampur telur busuk. Hal ini sudah ketiga kalinya ia alami sejak dirinya difitnah oleh seseorang yang terkenal menjadi model tersebut.
Tap tap tap, suara langkah kaki setengah berlari itu cepat menghampiri, "Ah Sari! Kau tidak apa?" Lyan datang dengan segera karena khawatir dengan kabar burung yang tersebar cukup cepat disekolahnya. Ia miris melihat kondisi tubuh sahabatnya yang tak layak seperti itu, "Ayo kita bersihkan bajumu. Lalu ganti pakaianmu dengan baju olahragaku. Kebetulan hari ini aku ada jam olahraga dan gurunya tidak ada." ucap Lyan sembari membersihkan dan membasuh wajah Sari dengan saputangan miliknya. 
Sari hanya diam, ia membungkam mulutnya bahkan saat berbagai pertanyaan Lyan dilontarkan padanya. Sahabatnya itu ternyata lebih cerewet daripada biasanya, Sari meringis pedih, hatinya seakan berkecamuk.
"Sudah ganti bajunya?" tanya Lyan pada Sari yang saat itu baru keluar dari kamar mandi.
Sari mengangguk lemah, Lyan menatap sendu. "Ayo aku antar ke ruang UKS, kita obati luka lecetmu itu." ajaknya.
Andika sudah ada disana sejak tadi, ia memang sengaja menunggu Sari. "Ah.. Kau baik - baik saja?" ia berlari kecil menghampiri Sari yang dirangkul lengannya oleh Lyan.
Sari mengangguk tanpa suara.
"Duduk disini, aku ambil kotak p3knya dulu." ujar Andika sembari membuka lemari diseberang tempat tidur.

Lyan mengobati lecet yang ada disiku tangan Sari, walaupun sebenarnya terasa perih tapi ia tidak bergeming. "Sudah. Sari istirahat disini dulu ya. Aku harus kembali ke kelas karena akan ada ulangan dijam berikutnya." pamit Lyan diikuti dengan anggukan Sari. "Andika tolong jaga dia ya. Terima kasih." tambahnya.
"Iya, tenang saja." jawab Andika. Kemudian Lyan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua diruangan tersebut.
Sari berbaring ditempat tidur, memiringkan tubuhnya kearah lain, ia membelakangi Andika yang duduk disebelahnya.
Andika menghela nafasnya pelan, ia menatap nanar orang yang pernah menolak cintanya itu.
"Hiks hiks.." suara sendu senyap terdengar jelas ditelinga Andika membuatnya sigap menghampiri kesisi dimana wajah Sari ditutupi oleh kedua telapak tangannya.
"Ada apa Sari? Kau menangis? Apa lukamu sakit? Sesakit itukah sampai kau.. Aduhhh... Bagaimana ini?" khawatirnya.
Sari sesegukan, isak tangisnya tak terbendung lagi setelah ia menahannya beberapa menit lalu.
Andika gusar, ia tengah berpikir hal apa yang harus ia lakukan. Ia mengambil segelas air tak jauh disana dan segera membangunkan tubuh Sari untuk minum agar dirinya merasa enakan.

"Jadi kau menahan tangismu didepan Lyan?" tanya Andika ketika Sari sudah kembali normal.
Sari yang tengah duduk ditempat tidurpun mengangguk.
"Sari, sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu? Aku sebenarnya sangat penasaran, belakangan ini kau jadi bukan seperti Sari yang biasanya." ungkap Andika.
Sari terdiam sejenak, "Maaf jika aku membuatmu berpikir seperti itu." lirihnya.
Andika menatap gadis disebelahnya yang tertunduk lesu. "Apa kau tidak ap..." ucapannya terputus.
"Tidak. Sebenarnya aku... Sakit, aku malu, aku tak tau harus bagaimana? Bahkan aku tidak sanggup lagi berkata didepan teman baikku." ucapnya.
"Maksudmu Lyan?"
Sari mengangguk, "Dulu aku dengan keras memintanya untuk selalu melaporkan tindak kekerasan yang diterimanya disekolah pada guru BK, tapi dia menolak karena menurutnya percuma jika yang menindasnya punya kekuasaan tersendiri disekolah. Aku pikir, anak ini berani sekali menghadapi semuanya sendiri? Aku sempat kesal dan sebal dengannya, karena kupikir semua akan berhenti jika saja ia melaporkannya. Sekarang aku mengerti kenapa dulu dia melakukan hal itu."
Andika terdiam, ya iya tau sebagian cerita itu dari Dimas dan pernah ia saksikan sendiri. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya kembali. 
Sari menelan ludahnya perlahan, tenggorokannya tercekat saat ia mencoba ingin meluapkan semua rasa yang ada dihatinya.
Andika menunggu Sari membuka suaranya, "Apa yang ini berhubungan dengan gosip yang beredar?" lirihnya perlahan.
Kedua mata Sari seakan memanas, ia mengangguk pelan. "A..aku tidak tau harus dari mana aku menjelaskannya padamu?" jawabnya.
"Aku akan coba mendengarkanmu.. Apapun itu." ucap Andika.
Sari menoleh dan menatap kedua mata Andika mencari kejujuran disana, kemudian ia tertunduk. "Aku mengenalnya lebih dulu daripada dia. Aku mengenal Oki sejak kami satu sekolah di SMP yang sama." ucapnya mulai bercerita.

*** 3 tahun yang lalu, Kelas 2 SMP ***
"Cepat kemarilah!" Gusti menarik lengan Oki kedepan pintu kelas.
Oki hanya pasrah tanpa melawannya walau hanya dengan sebuah kata.
Aku memainkan jemari tanganku dengan gusar, menanti keduanya datang menghampiriku didepan pintu kelas. Terlihat senyuman lebar Gusti saat ia berhasil membawa Oki  keluar kelas. Aku dan Oki berhadapan dan kedua mata kami bertemu.
"Kenalkan ini Sari kelas 2.D, dia baru masuk tim basket kita dan juga teman sebangkuku." ucap Gusti, teman sekelasku sekaligus anggota klub basket disekolah walaupun namanya seperti laki - laki tapi sebenarnya dia adalah perempuan.
"Oh. Hai aku Oki." salamnya padaku tanpa canggung dan lugas.
"Hai. Aku Sari. Salam kenal." jawabnya agak malu. Aku menyukai Oki dalam pandangan pertama.

Pertandingan basket antar sekolah, saat itu tim perempuan ikut menjadi supporter saja. Karena aku adalah anggota baru jadi mau tidak mau harus ikut mendukung tim sekolah kami. 
"Ayo dong SMP XX harus menang.. Yeayy..." seru teriak yang bergema disebuah gedung indoor tempat tim kami bertanding, ya suara paling keras itu dari Gusti.
"Gusti kau tidak lelah?" tanyaku sembari memberinya air mineral.
Ia menyambutnya dengan segera dan menegak habis dalam sekali. Aku melongo melihatnya, "Woah... luar biasa." kagumku.
Aku memperhatikan teknik permainan mereka sungguh bagus untuk seusia kami saat itu. Tapi mataku tak sengaja tertuju pada sosok laki - laki itu, "Hem.. Gusti, Oki itu jago ya main basketnya?" tanyaku polos.
"Heee... Kau suka dengannya ya?" godanya.
"Eh tidak kok, bukan begitu. Tapi lihat deh dari semua anggota yang main teknik bermain dia lebih optimal, apalagi shootnya selalu masuk ke ring." jawabku gugup.
"Hem?" Gusti menggaruk dagunya yang tak gatal itu, "Kau tak tau ya?"
"Eh apa?" aku penasaran.
"Tahun lalu Oki termasuk murid berprestasi disekolah. Dia juara umum untuk tingkat pertama, nilai akademik dia bagus, padahal dia juga aktif di klub basket. Makanya kakak kelas waktu itu walaupun menjadikan dia tim inti, tapi mereka memberikan kelonggaran waktu untuk dia belajar." jelasnya.
"Oh begitu. Hebat ya."
"Dan lagi dia juga populer loh. Sudah berapa kali adik dan kakak kelas nembak dia. Tapi selalu dia tolak." 
Aku menebaknya, pasti dia sudah punya pacar. Orang sepintar dan setampan dia mana mungkin tidak punya kan?
"Pasti kau menyangka kalau dia sudah punya pacar ya?" selidiknya tepat sasaran.
"Ehh??" Gusti kenapa bisa membaca pikiranku. "Lalu kenapa?"
"Tanya saja sendiri.. Hahaa.." tawanya memecah.
"Hah? Apa sih dasar!" seruku kesal. Sekilas aku melihatnya kembali namun kali ini dia juga melihat kearahku sekilas kemudian ia fokus kembali kedepan. "Eh apa itu?"

Semester akhir kelas 2 SMP, aku berlari dari kantin membawa sebotol air mineral dan obat sakit maag menuju ruang PMR.
Disana Gusti menekuk perutnya di tempat tidur, meringis kesakitan. Aku menyobek ujung plastik bungkus obat itu, "Ini Gusti segera minum obatnya, pelan - pelan." aku membantunya dan iapun menurut.
Terdengar suara sepatu orang berlari mendekat keruangan dimana kami berada, "Gusti! Hosh hosh hosh.."  Oki mengatur nafasnya yang tersengal - sengal itu, menyanggah tubuhnya dipinggiran pintu. Berjalan perlahan dengan wajah penuh dengan peluh. "Kau tidak apa - apa?" ia nampak khawatir dengan kondisi Gusti. Aku tertegun melihat reaksi wajah Oki yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Gusti hanya tersenyum kecil, "Ah.. Ini bukan apa - apa kok, sudah biasa."
"Apanya yang biasa sih?! Kau jangan suka mengabaikan jam makanmu lagi! Sekeras apapun kau mencoba untuk bermain basket, kau dengar kataku tidak?" Oki menekan semua kalimat yang ia lontarkan.
Aku terdiam, menoleh kearah Gusti yang hanya tersenyum saat ia dimarahi oleh Oki.
"Cerewet banget sih. Haha. Sudahlah aku mau tidur dulu. Jam kedua nanti kelasku ada ulangan benarkan Sari?" kali ini Gusti menoleh kearahku.
Aku terbengong, "Ah iya iya ada kok." jawabku.
Oki menghela nafasnya dan melemah, "Ya sudah tidur sana." ucapnya sembari keluar ruangan. Aku mengikutinya.
Oki terduduk dipinggiran teras ruangan PMR, ia menunduk dalam. Aku menghampirinya dan ikut duduk disana.
"Gusti itu sudah punya penyakit itu sejak SD. Tapi dia selalu mengabaikannya." ucapnya tiba - tiba.
"Begitu ya."
"Terima kasih kau selalu ada disampingnya."
"Eh bukan apa - apa kok. Dia kan teman sebangkuku jadi wajar saja kalau aku membantunya."
Oki menoleh kearahku, tatapannya berubah sayu. "Tidak banyak orang baik disekitarnya. Tapi aku bersyukur dia dekat denganmu, karena kau orang yang baik."
Aku terdiam, sebenarnya aku tidak begitu paham apa yang dia katakan sampai suatu ketika Gusti....

Sebulan kemudian, Aku mendapatkan kabar buruk dari walikelas. Disaat aku ingin memberikan sebuah hadiah untuk ulang tahunnya yang ke 15, Gusti meninggalkan kami selamanya. Penyakit yang dideritanya itu menggerogoti dirinya sejak lama. Bukan, bukan maag biasa. Gusti berbohong padaku, bahwa penyakit yang dideritanya adalah penyakit ginjal.
Sejak itu aku melihat sosok Oki sangat berbeda dari biasanya. Dia yang ramah dan selalu terlihat gembira nampak selalu murung dan menghindari orang lain. Sampai saatnya kenaikan kelas 3, aku bertemu dengan Lyan dan Eka.

Semester pertama kelas 3 SMP, aku duduk berseberangan dengan Lyan. Dia duduk dengan siswa laki - laki. Pembagian tempat duduk berdasarkan sistem acak. Aku menoleh kearahnya dan tatapan mata kami bertemu, dia tersenyum.
"Hai. Aku Lyan. Kau?"
"Ah, aku Sari."
"Lyaaann..." panggil seseorang dari luar kelas yang tak lain adalah Eka. "Wah kau dikelas ini ya. Sayang kita tidak sekelas."
"Iya, hahaa.."
"Bahagia sekali kau!"
Lyan dan Eka terlihat akrab sekali. Aku membalikkan tubuhku melihat keluar kelas, tak sengaja Oki lewat didepan kelasku. Sudah lama aku tidak menyapa dan berbicara dengannya. Padahal dulu waktu masih ada Gusti kami sering bercanda bersama.

Aku mengangkat sebagian buku yang kupinjam dari perpus dengan Lyan. 
"Kau yakin sudah semuanya?" tanyanya sambil berjalan disampingku.
Aku mengangguk tanpa melihat kedepan dan 'bruk' aku menabrak seseorang.
"Ah maaf aku tidak lih...." aku terkejut dengan siapa orang yang ku tabrak. "Oki?"
Dia menoleh kearahku namun tatapan matanya berubah menjadi dingin dan acuh, "Ini bukunya." ia memberikan buku - buku yang terjatuh padaku.
Aku menerimanya tanpa berkata apa - apa. Oki berlalu pergi begitu saja.
"Hem bukannya dia si juara umum ya?" tanya Lyan.
"Eh iya. Dua tahun berturut - turut." jawabku tanpa menatap Lyan. "Eh?" Aku terkejut melihat Lyan dengan tatapan berapi - apinya mengepal sebelah tangannya. "Kau kenapa?"
"Yak! Gara - gara dia aku tidak bisa jadi juara umum. Kali ini aku harus bisa mengalahkan dia yang berwajah dingin itu." ujarnya berapi - api.
"Eh???"

Keesokkan harinya, kepalaku mendadak pusing dan meminta ijin kepada guru yang mengajar dikelas kami untuk meminta obat diruang PMR. Aku membeku didepan pintu, disana Oki tertidur pulas.
Aku memasuki ruangan yang tak ada penjaga itu, berusaha agar tidak menimbulkan suara mencari kotak obat dan segera meninggalkan ruangan tanpa jejak.
"Kau sedang apa?" tanyanya.
"Eh?" aku terkejut dan segera membalikkan tubuhku. "Ah.. Aku cari obat.. Iya cari obat. Hehe.." 
Oki yang sudah duduk bersandar ditempat tidur menatapku dalam diam. Aku merasa gugup dengan sikap Oki saat itu.
"Apa kau pernah merasa kehilangan orang yang penting dalam hidupmu?" tanyanya tiba - tiba.
Lagi, aku terkejut dengan pertanyaannya, "Ah..."
"Sangat menyakitkan, bahkan serasa ingin mengakhiri hidup saja." lirihnya dengan nada sendu.
Aku menghampirinya dengan spontan, "Kau tidak boleh begitu."
Dia menatapku perlahan, "Lalu jawab aku, bagaimana?"
"Kau tidak boleh berpikiran pendek seperti itu hanya karena orang itu pergi meninggalkanmu." jawabku.
Dia menunduk dalam, menahan isak tangis. Suara yang terdengar snagat berat itu ia paksakan untuk keluar. "Tapi aku tidak bisa... Kalau bukan karena dia, aku tidak akan bisa sampai seperti ini."
Dahiku mengernyit apa yang ia maksud adalah perginya Gustianda?
"Kau pernah melihat bagaimana aku sangat khawatir dengan keadaannya kan?" ia berceloteh sendiri, "Kau pernah melihat aku marah sekali padanya saat itu? Kau tau aku kenapa begitu padanya?"
"A.. Aku tidak terlalu paham sih, tapi itu mungkin karena Gusti anak yang baik untuk semua orang."
"Ya.. Dia memang anak yang baik, ceria, ramah bahkan bodoh." Oki terdiam sesaat, "Bahkan dia mengorbankan dirinya sendiri hanya karena kepentingan orang lain, apa itu tidak bodoh namanya?"
Aku tidak bisa berkata apa - apa, aku tidak terlalu mengenal Gusti. Yang kutahu dia adalah anak yang baik.
"Aku.. Menyukai Gustianda melebihi seorang teman." lirihnya.
Kedua bola mataku membelakak, aku sangat terkejut mendengar pengakuan Oki barusan. "Kau?"
"Haaa... Bahkan dihari terakhirnya pun aku tidak mengatakan apa - apa padanya. Bodoh!" sesalnya.
"Jadi kau kenapa tidak mengatakannya?" tanyaku hati - hati.
"Cih. Gusti selalu menganggap semua teman - temannya adalah saudara tidak lebih dari itu. Walau fisiknya perempuan tapi hatinya dan kemauannya sekeras baja. Karena itulah aku tidak bisa mengatakan perasaanku padanya."
'Jadi itu sebabnya Oki menolak semua perempuan yang menembaknya?' gumamku dalam hati.
"Gusti adalah satu - satunya orang yang penting bagiku. Ia adalah alasan aku untuk bisa mendapatkan nilai sempurna disekolah, aku ikut klub basketpun karena dia, aku ingin tampil maksimal dan sangat baik dimatanya. Tapi sekarang percuma, dia sudah tidak ada.."
"Ja.. Jangan begitu. Kau kan masih punya orang tua, jangan berpikiran seperti itu." selakku.
"Hah? Orang tua? Ah.. Iya aku lupa. Aku masih punya orang tua ya? Haha.. Orang tua yang sama sekali tidak peduli dengan kehidupan anaknya. Yang peduli hanya dengan sebuah jabatan tinggi, yang suka membandingkan kekayaan dengan yang lain.. Hah... Aku tidak ingat mereka." Oki terlihat sangat emosi ketika ia berbicara tentang orang tuanya.
Aku memberanikan diri untuk lebih mendekat, "Oki, kau masih punya teman - temanmu yang lain seperti aku. Jadi jangan menyerah, kau pasti bisa melalui ini. Aku yakin Gusti disana juga tidak akan suka melihatmu seperti ini. Sudah cukup beberapa bulan ini kau terpuruk, kini saatnya kau bangkit dan buktikan padanya kalau semua yang ia lakukan padamu tidak sia - sia." 
Oki menatapku dalam diam, mungkin ia mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku yang spontan itu. Lama tak kulihat ia menyunggingkan senyumnya walaupun sangat tipis namun aku melihat ketulusan disana.
"Apa kau yakin Gusti tidak suka dengan kondisiku sekarang?"
"Ya."
"Apa yang akan dia lakukan jika dia tau aku seperti ini?"
"Mungkin dia akan memukulmu dengan sepatunya bahkan kau berlaripun akan dikejarnya."
"Begitukah?"
"Ya. Dan dia akan berteriak 'Dasar Oki bodoooohhh!' hingga menggema dipenjuru sekolah." Ah... Aku mengatakan apa sih?
Oki terdiam dan menundukkan padangannya. Sesaat ia menoleh kembali kearahku dan mengenggam kedua tanganku erat, "Iya, benar katamu dia pasti begitu. Jadi aku harus semangat. Aku harus buktikan kalau aku bisa walau tanpa dirinya."
"Ya. Itu bagus." ucapku dengan diiringi senyum.
"Iya. Terima kasih Sari. Kau sekarang terlihat seperti malaikat untukku. Terima kasih." ucap Oki segera turun dari tempat tidur memakai sepatunya asal dan berlari keluar ruangan meninggalkanku sendirian dengan pikiran yang bingung.
"Eh? Tadi aku itu bicara apa saja sih. Sampai kepalaku pusingnya hilang. Hah... Sudahlah kembali kekelas saja deh." ujarku.


"Sejak saat itu kami dekat kembali dan sering bersama. Karena ia sudah keluar dari klub basket jadi dia hanya fokus pada pelajaran saja." jelas Sari pada Andika. Sari kembali meminum air yang diambil oleh Andika tadi.

***

Tbc


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 6

The Handsome freak Chapter 6 Previous  1 ,  2 ,  3 ,  4 ,  5 Title : Fanfiction Chapter Genre : Romance, Comedy Ca...