Minggu, 17 Juni 2018

Cerbung Fantasy : The world of dreams and two pendants Chapter 5



The world of dreams and two pendants
Chapter 5


Genre : Fantasi, romance

This first i'am writing for a story about fantasy..
Just for my hoby for read a comic and watch a anime movie..

Happy reading and sorry for typo.. ^^
And don't plagiat!

Previous Chap 1234

******************************************


18 tahun yang lalu, disuatu tempat yang berada dibumi.
Seorang wanita tengah dipenuhi peluh keringat yang mengalir diwajah hingga tubuhnya. Dengan kondisi perut besar dan kontraksi yang semakin lama semakin intens. Ditemani oleh seorang wanita paruh baya yang diakuinya sebagai ibu dari suaminya.
"Hosh hosh.. Ibu.. Ibu.. Aku sudah.. Tidak kuat, bisakah aku mengejan sekarang?" tanyanya disela pengambilan nafasnya.
Wanita paruh baya itu tetap memegang tangan menantunya yang menggenggam erat, "Ikut dan dengar intruksi dari dokternya, kau tidak boleh sembarang mengejan." jawabnya.
"Tapi... Sshhh.. Ini sangat sakit bu.. Aku... Sudah... Errghh..." keluhnya.
"Sebentar lagi Bu, kepala bayinya terlihat ayo tarik nafas panjang, hembuskan perlahan." ujar sang dokter mengarahkan.
Kemudian ia mengikuti intruksinya, "Hosh hosh..."
"Iya bagus bu, ya kepalanya sudah terlihat.. Mengejanlah sesuai intruksi dari saya ya bu." ucapnya.
Wanita itu mengangguk pelan dengan menahan rasa sakit yang luar biasa itu.
Diluar ruangan, terlihat seorang laki - laki nampak gusar. Berkali - kali ia mondar mandir didepan pintu, sesekali ia menggigit jarinya, ada rasa kekhawatiran diwajahnya. "Haaahhh lama sekali.. Apakah dia baik - baik saja. Kenapa aku tidak boleh masuk.. Arrgghhh.." kesalnya menjambak rambutnya sendiri.

Beberapa jam sebelumnya,
sebuah benda yang mengalung dileher wanita yang akan melahirkan itu mengeluarkan cahaya yang tak disadari terjadi sedikit patahan diliontin yang menggantung itu.
'Deg', 'Ah apa ini? Benarkah aku akan mati jika melahirkan keturunan manusia murni? Kekuatan yang aku miliki tidak bisa menandingi rasa sakit yang kurasakan sekarang.' ditengah kesakitan dan perjuangannya akan melahirkan sang buah hati, ternyata wanita itupun tengah merasakan bahwa kekuatan segel dari liontin ini sedikit memudar. 'Gawat! Tidak bisa seperti ini! Aku harus.. Ahhh sakit sekali, kalau seperti ini terus Dia pasti akan bebas.. Arghhh...' ia menggeram dalam hatinya.
Seberkas cahaya datang menghampirinya, ia tertegun melihatnya. "Kalina." panggilnya. Cahaya tanpa wajah itu datang tepat dihadapannya.
"Si..siapa kau?" tanyanya.
"Aku adalah Kakek buyutmu dari generasi pertama."
Dengan wajah penuh peluh dan nafasnya yang masih tersengal - sengal itu, ia merasa tak percaya jika kakek buyutnya benar mendatanginya. "Ka..kakek?"
Yang terlihat hanya seberkas cahaya putih tanpa rupa, "Kalina, liontin itu adalah sebuah segel. Saat ini kekuatan segelnya melemah mengikuti kekuatan dalam tubuhmu. Proses melahirkan butuh kekuatan ekstra yang dapat menguras semua tenaga bahkan alam sadarmu. Kau harus tetap konsentrasi terhadap segel itu, jika tidak keamanan dunia akan terancam."
Kalina mengernyit, "Apa yang harus aku lakukan?" lirihnya.
Disekelilingnya hanya dirinya yang melihat cahaya itu, maka ia tidak dapat meminta pendapat orang terdekatnya.
"Kau yang memilih menikah dengan manusia murni, konsekuensinya adalah jika kau hamil dan melahirkan, kekuatan segel didalam liontin itu akan terganggu oleh keseimbangan dari tubuhmu. Jika waktu bayi dalam kandunganmu akan lahir, kau harus memilih tetap melahirkan anakmu hidup - hidup atau segel itu akan rusak."
Diwaktu yang sempit itu, Kalina berpikir keras. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit yang menjalar disekujur tubuhnya.
"Lalu apa tidak ada jalan lain? A..aku ingin anak ini selamat." ucapnya.
Tak ada jawaban dari cahaya yang bersinar putih itu.
Kalina menunggu dengan cemas, dalam pikirnya ia harus melahirkan anaknya dengan selamat.
"Ada satu cara."
Sontak kedua bola mata Kalina melotot gembira, ya pikirnya ada cara lain demi menyelamatkan sang buah hati. "A..apa itu beri tau aku?"

***

'ooaakkk oaaakkkk....' suara tangisan bayi menggema dalam ruangan itu. Senyum dan rasa lega menghampiri orang - orang disana tak terkecuali Kalina. Ia telah melahirkan anak kembar. Ya, dia melahirkan dua anak sekaligus.
Ibu mertuanya memberi selamat dan membelai pucuk kepala menantunya itu, segera ia keluar kamar bersalin menghampiri putranya yang masih berada diluar.

"Ah.. Ibu bagaimana anakku?" tanya putranya yang bernama Attar itu. Kedua matanya tak berkedip memastikan bahwa ia mendengar kabar yang baik.
"Anakmu lahir dengan selamat dan sehat. Kau sudah menjadi ayah dari dua anak kembar." ujar sang Ibu menepuk sebelah bahu anaknya.
Tak terasa air mata jatuh di pipinya, "Ah.. Akhirnya..." jatuh lunglai ke lantai karena saking bahagianya.
'pletak' sejurus tanpa dosa sekepal tangan sang Ibu mendarat dikepala anaknya kesal. "Cepat sana masuk!"
"Ah.. Ya Bu.." ucapnya tanpa mempedulikan rasa sakit dikepalanya dan segera ia memasuki kamar.
Perlahan ia menapakkan kedua kakinya itu, ia menoleh kearah sang istri yang saat itu tengah mencoba menyusui anak - anaknya didampingi oleh salah satu perawat klinik bersalin disana.
"Ah saya permisi sebentar ya." pamit perawat sembari membawa peralatan selepas bersalin.
"Sayang..." panggilnya lirih mendekat dan duduk disamping sang istri yang terlihat lemas itu.
Kalina menoleh kearahnya dengan tatapan sayu seakan sudah tak ada tenaga dalam dirinya. Kemudian ia tersenyum, "Anak kita sudah lahir dengan selamat dan sehat." katanya.
Attar mengangguk senang, "Terima kasih atas perjuanganmu." ucapnya sembari memberi kecupan lembut dipelipis wanita yang dicintainya itu.
Dengan menarik nafas panjang, Kalina meraih tangan suaminya. "Attar ada yang ingin aku sampaikan padamu perihal liontin ini."
Attar tertegun, tatapan matanya berubah. "A..ada apa?" ia lupa dengan konsekuensi yang akan diterima istrinya jika ia melahirkan seorang anak. Pikirnya Kalina akan kehilangan kekuatan jika ia melahirkan satu anak, namun istrinya itu hamil anak kembar.
Kalina tersenyum tipis sembari melihat kedua wajah mungil nan suci dipelukan kedua lengannya. Begitu damai, pikirnya.
"Attar... Aku mengorbankan semua untuk anak kita." ucapnya.
Attar mengangguk.
"Hidupku tinggal beberapa jam lagi."
Bagaikan jantungnya dihunus sebuah pedang, Attar syok mendengar ucapan istrinya. "Apa maksudmu?"
Kalina menoleh, tanpa paksa air mata itu mengalir dikedua pipinya. "Aku tak punya pilihan lain, hanya ini pilihan terbaik yang aku miliki."
Attar mengernyitkan dahinya, ia tak mengerti. Awalnya Kalina hanya berkata bahwa bisa saja ia kehilangan setengah kekuatannya dan akan pulih seiring berjalannya waktu.
"Aku mengorbankan semua jiwa dan kekuatanku untuk anak kita." ucapnya sambil mencoba meminta bantuan Attar dengan isyarat matanya untuk meletakkan bayi mereka dikeranjang bayi. Kalina menghela nafasnya panjang, ia mengambil liontin yang mengalung dilehernya.
Attar kembali duduk disamping tempat tidur Kalina, ia menatap dalam diam sambil sesekali memperhatikan gerakan tangan istrinya.
"Ini." Kalina memberikan liontin yang sudah terbelah dua itu. Ia menggenggam erat telapak tangan suaminya. "Kalungkan liontin ini pada anak kita. Liontin ini terbelah dua saat aku kontraksi tadi." Kalina menatap bola mata suaminya, "Kakek buyutku datang dalam alam bawah sadarku, ya mungkin begitu.." ia menundukkan wajahnya, "Dia, saat ini tengah menunggu waktunya tiba."
"Dia? Siapa maksudmu?"
"Black Master. Saat aku mengejan diakhir liontin ini terbelah dua dan saat itu segel kunci penjaranya terbuka, kemungkinan ia terlepas."
Attar terkejut, "La.. Lalu?"
"Tapi tenang saja, ia tidak bisa menggunakan semua kekuatannya karena liontin ini masih bersamaku. Kekuatan dari penyihir itu disegel terpisah walau dalam satu benda."
"Jadi walaupun liontin yang kau pakai ini adalah segel kunci untuk memenjarakan dia tapi kekuatannya tak ada dalam dirinya?"
Kalina mengangguk, "Tapi.. Dia tidak sebodoh itu, dia punya anak buah yang setia menemaninya. Dan dia pula yang memperhatikan gerak gerikku dari jauh."
Attar semakin tak mengerti, "Jadi, A..aku harus bagaimana?"
"Karena aku memilih melahirkan anak kita dengan selamat, aku mengorbankan jiwaku untuk menyelamatkan liontin ini agar utuh  walau ia terbelah menjadi dua. Karena jika tidak, liontin ini akan pecah dan hancur."
Attar menunduk, ia merasa bersalah karena dulu ia yang mengejar Kalina dan meminta menikah dengannya, "Maafkan aku."
Kalina membelai rambut suaminya dengan penuh sayang, Attar menatapnya.
"Kau tidak perlu minta maaf."
"Tapi gara - gara aku kau jadi mengorbankan semuanya? Bagaimana aku bisa menjadi ayah yang baik untuk anak kita tanpamu Kalina?" kedua mata Attar nampak berkaca - kaca.
Kalina tersenyum, "Hey, jangan begitu. Ini semua bukan salahmu. Oh ya ada satu hal lagi." kulit putih milik Kalina semakin memucat ini tanda ia semakin dekat dengan ajalnya. "Kalau bisa pisahkan anak kita, jangan sampai mereka hidup dalam satu tempat bersamamu."
"Apa? Apa maksudmu?" tanya Attar tak mengerti.
"Black Master pasti akan mencari anak kita untuk mengambil liontin ini, kita harus sembunyikan indentitas anak kita. Dan tentunya mereka harus dipisahkan, jika tidak liontin itu akan menyatu dan itu akan membahayakan mereka berdua."
"Bahaya?"
"Ya. Bahkan nyawa mereka bisa menjadi taruhannya."
Attar gemetar mendengar penjelasan dari istrinya itu. "Mengapa? Mengapa menjadi seperti ini?"
Kalina tersenyum miris, "Kakekku mengatakan, liontin ini hanya dapat di kendalikan oleh keturunan kami penyihir putih, karena kau adalah manusia murni maka tidak bisa. Anak kita adalah keturunan half, setengah penyihir setengah manusia."
"Apa mereka akan mempunyai sihir sepertimu?"
"Aku tidak tau. Tapi yang jelas Kau harus melakukan apa yang aku katakan tadi. Pisahkan mereka bagaimanapun caranya."
"Aku mengerti."
"Tenang saja, sebagian dari dalam diriku ada didalam pecahan liontin ini." ucapnya tersenyum
Attar tak mengerti apa yang istrinya maksud, tapi ia mengangguk.
Kalina tersenyum tipis, dalam diam ia mengumpulkan semua tenaga yang ia punya dan mencoba menyalurkannya kedalam tubuh suaminya dalam genggaman kedua tangannya. Ia berjaga - jaga jika suatu saat nanti terjadi sesuatu pada suaminya.
Kedua matanya menjadi sangat sayu, kedipan matanya mulai melambat. Attar menatapnya dengan sendu, ia harus menahan semua emosi dalam dirinya, ia harus merelakan Kalina, semua ini demi kebaikan, pikirnya.
"Attar, aku sayang padamu dan kedua anak kita. Selamat tinggal..." ucap terakhir dari bibir Kalina. Genggaman tangannya melemah dan lunglai tak bernyawa.
Attar menahan isak tangisnya, ia rengkuh tubuh lemah istri yang dicintainya itu dengan erat.
Dibalik pintu sang ibu tanpa sengaja mendengar semua percakapan mereka. Ia mengcengkeram kuat jemarinya menahan tangis yang terbendung dikantung matanya.

***

5 tahun berlalu, sejak saat itu Safrina dan Safriza hidup terpisah. Attar meminta  ibunya untuk mengurus Safrina dan berpindah tempat jauh darinya. Serta dengan berat hati untuk tidak berkomunikasi dengannya, namun Attar berjanji agar selalu mengirimnya biaya hidup untuk mereka berdua.
"Bu, aku minta tolong rahasiakan identitas kami darinya. Semua ini demi kebaikannya." pinta Attar menggenggam kedua tangan Ibunya sesaat sebelum ia berangkat pergi.
Sang Ibu menahan air mata, sesak dada yang ia rasa. Namun ia berusaha menerima keputusan dari anaknya itu. "Baiklah"
.
"Nenek..." panggil dari kejauhan suara nyaring milik anak kecil berambut cokelat itu, ia berlari kecil menghampiri neneknya yang sedang duduk dikursi teras rumah.
Nenek itu berdiri dengan senyuman dan mengembangkan kedua tangan untuk memeluk sang cucu.
Ina tersenyum lebar menerima pelukan hangat dari orang yang ia sayangi, "Ina sayang nenek." ucapnya.
"Nenek juga sayang Ina." jawabnya sembari membelai pucuk kepalanya.
.
12 tahun kemudian,
Ina berlari masih dengan seragam sekolahnya menyelusuri kebun milik neneknya itu. Ia berniat mencari sang nenek, "Nenek dimana ya?" ucapnya, "Ah itu dia!" seketika ia melihat tubuh neneknya dari belakang.
"Nenek. Lihat!" serunya menunjukkan selembar kertas ulangan miliknya. Dengan bangga ia menanti pujian dari neneknya itu.
Sang nenek mengambil lembaran itu dan membacanya, walau sudah tua tapi penglihatannya masih bagus,"Woah nenek tak percaya ini. Kau dapat nilai bagus?" takjubnya.
Ina mengangguk senang dan percaya diri.
"Ini sangat luar biasa, nilai 70 sangat langka untuk bisa didapat darimu ya. Ini perkembangan yang bagus."
Lagi - lagi ia mengangguk senang.
Sejenak raut wajah nenek berubah masam, "Ya! Apa - apaan ini kemarin kau bilang akan dapat nilai sempurna?! Ini yang kau maksud sempurna? Bahkan nenek saja bisa dapat lebih dari ini.. Dasar anak nakal!" marahnya memukuli Ina dengan topi kebunnya.
Ina menghalau dengan kedua tangannya, "Ya ampun Nek. Kan lumayan bisa dapat nilai segitu Nek. Aku sudah berjuang sangat keras." alasannya.
"Hiaah.. Jangan beralasan. Setiap hari kau selalu main saja tidak pernah belajar, apanya yang berjuang keras. Jika orang tuamu masih ada, mereka akan memarahimu juga." omelnya.
Ina terdiam dan tak menghalau pukulan neneknya lagi.
Sang nenek tertegun, ah ia keceplosan bicara. "Ah.. Maksud nenek..."
"Iya aku mengerti.. Mereka akan kecewa padaku kan? Makanya mereka meninggalkanku pada nenek." ucap Ina sedih, ia berbalik dan berjalan menjauhi neneknya.
Sang nenek merasa bersalah dengan ucapannya barusan, "Ah.. Bodohnya aku ini.." gumamnya.

Ina berjalan lunglai menuju rumahnya, tatapan matanya kosong. Ia teringat akan pertanyaan yang sering ia lontarkan pada neneknya sejak dulu.
'Kemanakah orang tuaku?'
Ina membuka kenop pintu rumah neneknya, berjalan memasuki kamar tidur dan merebahkan tubuhnya disana. Dari dulu ia selalu berusaha agar terlihat tegar dihadapan neneknya walau terkadang sikapnya agak menyebalkan dan membuatnya sering diomeli seperti tadi.
Hal itu ia buat untuk mengalihkan rasa rindu pada kedua orang tuanya,"Nenek hanya bilang bahwa mereka telah tiada, tapi kalau aku minta diberitahu kuburannya dimana? Nenek tidak mau memberitahuku. Huuuhh.." keluhnya.
Ina memandangi langit - langit kamarnya, "Bagaimana ya rasanya jika punya ibu dan ayah, pasti menyenangkan." ucapnya.
Tanpa disadari liontin yang mengalung dilehernya mengeluarkan seberkas sinar.
Dalam kelelahan tubuh, hati dan pikirannya, Ina memejamkan kedua matanya dan terlelap tidur.

***

Diwaktu bersamaan dan tempat berbeda.
Safriza memberi salam ketika memasuki rumahnya, "Aku pulang."
"Oh ya. Kau sudah pulang rupanya. Apa hari ini tidak ada jadwal les?" tanya ibunya menghampiri.
Iza menggelengkan kepala sembari melepas sepatu miliknya dan menaruhnya ditempat sepatu.
"Hem apa kau mau makan? Ibu sudah membuat makanan kesukaanmu." tawar sang ibu.
"Iya nanti aku makan setelah ganti baju. Aku permisi kekamar ya Bu." ucapnya berlalu pergi dengan senyum.
Ibunya memandangi tubuh Iza dari belakang, "Hh.. Andai saja kau putri kandungku, aku pasti sangat bangga mempunyai anak sopan dan penurut sepertimu." gumamnya kemudian berlalu.
Iza memasuki kamarnya, menaruh tas di kursi dan dia terduduk ditepi tempat tidur.
Flash back,
Teman sebangku Iza menghela nafasnya kasar, sejak tiba disekolah raut wajahnya terlihat muram. Iza hanya memperhatikannya dalam diam tanpa berniat bertanya keadaannya, namun teman kelas yang lain menghampiri gadis itu.
"Hey kau kenapa? Kenapa muram seperti itu?" tanyanya menggeser kursi disampingnya.
Gadis itu membuka suara, "Kau tau kan kalau aku mempunyai seorang kakak 2 tahun lebih tua dariku?"
Yang bertanya tadi mengangguk, tanpa lepas pandang Iza tetap memperhatikan.
"Sebenarnya aku benci dengan kedua orang tuaku. Mereka tidak berlaku adil padaku. Kalian tau? Dua bulan lalu kakakku ulang tahun, dengan kegembiraan mereka merayakan pesta kecil dirumah dan membelikan kado yang mahal untuknya sedangkan ulang tahunku kemarin jangankan membelikanku hadiah, mereka ingatpun tidak."
Gadis yang bertanya itu terkejut, "Woah parah sekali, pasti perasaanmu sedih, lalu bagaimana?"
"Aku memberitahu mereka bahwa aku ulang tahun, tapi mereka menjadi gugup dan bilang kalau mereka lupa. Karena kesal dan rasanya ingin menangis, aku masuk kekamar dan membanting pintu." ucapnya sembari menunduk. Iza menurunkan wajahnya untuk melihat teman sebangkunya itu.
Gadis itu menangis pelan, "Rasanya buat apa aku menjadi anak mereka jika harus bertindak tidak adil seperti ini. Lebih baik aku tidak dilahirkan atau mungkin aku tak usah memiliki orang tua. Aku benci mereka."
Belum sempat mengucap gadis lain, Iza membuka suara, "Apa bicaramu itu tidak keterlaluan?"
Mereka berdua menoleh, "Keterlaluan apa maksudmu? Tentu saja tidak, kau tidak akan tau bagaimana perasaanmu jika orang tuamu bertindak tidak adil antara kau dengan saudaramu."
"Ah.. Kau kan anak tunggal, jadi mungkin kau tidak akan paham."
"Apa aku akan merasakan hal sama sepertimu jika aku mempunyai saudara?" tanya Iza.
Mereka berdua saling menatap, "Lebih baik kau mencuci wajahmu ditoilet, ayo aku antar." ucap gadis penanya dan disetujui oleh gadis yang bersedih itu.
Iza terdiam, ia mencoba mencerna ucapan teman - temannya itu.
Flash back off.
Iza menatap kosong lantai kamarnya, "Aku merasa kalau selama ini ada yang hilang dalam diriku. Bagaimana rasanya ya jika aku memiliki saudara kandung?" gumamnya kemudian ia merebahkan dirinya dan memejamkan kedua matanya. Iza tertidur pulas.

***

Saat ini di dunia mimpi,
Fazi berjalan cepat didepan Ina, ia sengaja berjalan berjauhan dengan gadis itu. Ina lagi - lagi cemberut dengan sikap Fazi yang menurutnya seenaknya.
"Hey, aku tau kau punya sepasang kaki yang panjang dan jalanmu cepat. Tapi apa kau tidak punya empati pada gadis sepertiku?" tukasnya bertulak pinggang.
Fazi menghentikan langkahnya dan membalik tubuh kekarnya itu, "Haaahhh.. Sekarang apa lagi. Bukannya tadi kau bilang tidak boleh dekat - dekat denganmu. Aku salah lagi?"
"Kapan aku bilang seperti itu?" elaknya.
Fazi memutar bola matanya, "Cepat kesini, kurasa aku menemukan tempat tinggal kakak sepupuku yang ku cari." panggilnya.
Ina segera menghampiri Fazi dengan langkah besar, "Oke."
Setelah sampai Fazi mengandeng pergelangan Ina dan berjalan kembali. Ina terkejut, "Hey!"
"Sudah diam ikut saja. Jangan cerewet!" serunya.
Ina menghela nafasnya mengalah.
Sebuah gubuk yang ditinggal penghuninya beberapa hari lalu berhasil ditemukan oleh Fazi, ya tempat ini adalah tempat dimana Zida tinggal.
Fazi melepas tangan Ina dan melongo kedalam gubuk itu dari balik jendela yang terbuka, "Sepertinya tidak ada orangnya. Ayo masuk."
"Hey jangan sembarang masuk dong."
"Ssttthhh.."
Ina membulatkan matanya kesal.
Fazi menyelusuri setiap sudut gubuk yang tak terlalu kecil itu, ia melihat nampan berisi potongan buah dan bekas dimakan oleh seseorang serta satu gelas berisi air sedikit. Ia menaruh telapak tangannya dimeja itu dan berusaha menelaah waktu kapan Zida pergi.
"Sepertinya dia sudah pergi dari tempat ini beberapa hari lalu?" ucapnya.
"Hah? Lalu bagaimana kita harus mencarinya?" tanya Ina.
"Hemm.. Kurasa kita harus mencari kearah lain. Karena kita dari barat, kemungkinan... Hemmm.. Tunggu." Fazi keluar gubuk dan mencari sesuatu disana.
"Ada apa lagi?" Ina membuntutinya.
Fazi membungkuk ketika menemukan bekas sepatu seseorang. "Hey Ina kemari."
Ina menurutinya dan berdiri disamping Fazi.
"Kau lihat ini apa?"
"Hem? Jejak sepatu? Lalu kenapa?"
"Hey ini salah satu keahlianku. Diam." Fazi meraba jejak sepatu itu dan mencoba membacanya.
Ina mengerutkan dahinya, "Dia ini makhluk aneh dari mana sih, sudah aneh berlagak pintar pula. Yah... Walaupun wajahnya sedikit tampan sih." gumamnya dalam hati.
"Ah.. Mereka diikuti seorang penguntit." ucapnya.
"Eh? Benarkah?"
"Kurasa Zida pergi dari sini karena ada seseorang yang mengikutinya dan kurasa dia tidak sendiri."
"Maksudmu penguntitnya ada 2 orang."
"Bukan, tapi seorang wanita."
"Hah?"
"Apa Zida sudah menikah lalu membawa istrinya?" Fazi mengetuk - ngetuk dagunya, "Kalau begitu aku kalah dengannya? Kira - kira istrinya itu  cantik tidak ya. Wahh aku..."
'pletak'. Ina mendaratkan tamparan keras dikepala Fazi.
"Aduhh.. Hey sakit tau! Aku bisa gegar otak kalau terus begini." protesnya.
"Justru aku meluruskan otakmu. Bicara yang benar jangan bicara ngawur." ucap Ina.
Fazi mengiris dan mencibir, "Kau itu wanita apa sih?!"
"Lalu apa? Sekarang kita harus apa?" Ina mengembalikan topik awal mereka.
"Hem? Kurasa karena mereka diikuti jadi mereka pergi jauh dari sini. Dari telaahku mereka pergi kearah sana." tunjuk Fazi.
"Oke ayo kita kesana, jangan buang - buang waktu. Jika sudah bertemu selesaikan urusanmu dan bantu aku keluar dari dunia ini."
"Hah? Kenapa kau jadi yang mengaturku."
Ina berjalan mendekat bahkan mencoba mendekatkan wajahnya, menatap kedua mata biru milik Fazi lekat.
Fazi menjadi gugup, "Hey.."
"Karena aku akan menerkammu jika kau tidak mengikuti perkataanku." ucapnya dingin.
Rona wajah Fazi menjadi merah dan sesaat kemudian dia menangkup dirinya sendiri takut, "Argh! Menerkamku? Kau menyeramkan.. Hiii..." ujarnya.
Ina kembali keposisinya semula, "Iya, bahkan mungkin lebih dari itu, aku akan menerkammu ketika kau tidur. Hahahaha.." gelak tawa Ina sembari berjalan mendahului Fazi yang masih syok dengan ucapan Ina.
"Apa itu benar?" ia bertanya dengan dirinya sendiri.
Ina menghentikan langkah kakinya, tatapan matanya berubah ketika melihat seseorang dihadapannya.
Fazi tak sengaja menabrak tubuh belakang Ina, "Ah.. Kenapa berhenti tiba - tiba? Hn? Ada apa?" ia mengikuti arah pandang mata wanita didepannya itu dengan tatapan takut. Kedua matanya menyipit tajam pada seseorang didepannya, "Kau lagi?"
"Kita bertemu lagi nona cantik. Hehe." Tara mengayun - ngayunkan pedangnya dihiasi senyum jahat diwajahnya.

***

Zida berlari tanpa arah, sesekali ia berhenti dan memanggil Iza yang saat pagi itu tiba - tiba menghilang. Zida merasa kesal, kenapa ia harus tertidur di mana kondisi mereka sedang tidak aman.
"Ah sial. Pasti mereka telah menculiknya." sesalnya memukul permukaan tanah.
"Zida?"
Suara yang familiar itu terdengar ditelinga Zida, bagai angin yang berhembus halus memberinya ketenangan. Zida melihat sepasang kaki dihadapannya, kemudian ia mendongak dan mendapati wanita yang dicarinya.
Tanpa sadar Zida memeluk erat Iza yang membawa beberapa buah dipelukannya. Sontak buah - buahan itu jatuh bergelindingan ditanah.
"Sukurlah, sukurlah.. Kau masih ada, tetaplah ada disampingku." Zida melepas pelukannya dan menatap mata Iza, "Kau mengerti?"
Iza yang masih syok dengan perlakuan Zida hanya mengangguk.

"Jadi kau berkeliling mencari buah - buahan ini?" saat ini mereka tengah duduk dibawah pohon rindang yang besar dan menikmati makan pagi.
Iza mengangguk, ia masih malu. Merasa wajahnya memerah, ia tidak berani menatap Zida yang berada disebelahnya.
Zida yang sadar akan hal itu menggaruk tengkuknya dan menengadah wajahnya ke atas, "Ah.. Maaf tadi tiba - tiba memelukmu."
"Tidak apa. Kau pasti mengira aku menghilang kan?" tebak Iza.
Zida mengangguk, "Aku sangat khawatir dan ketakutan tadi. Aku kira kau berhasil ditangkap oleh mereka."
Iza memberanikan diri untuk menoleh kearah Zida, "Terima kasih kau telah mengkhawatirkanku."
"Hem tak masalah." jawabnya.
"Wah.... Pemandangan pagi yang bagus." ucap seseorang yang tak diduga datang.
Zida dengan sigap berdiri dan melindungi Iza, "Tetap dibelakangku." bisiknya.
Iza yang terlihat ketakutan hanya mengangguk dan menyengkram kuat jubah milik Zida.
Obi dengan busur dibelakang punggungnya berjalan perlahan menghampiri mereka.
"Tetap disitu atau kau akan mati ditanganku!" seru Zida menghunuskan pedangnya.
"Tenanglah. Sebenarnya aku tidak ingin bertarung. Jika kalian bisa diajak kompromi, mungkin kalian akan kubiarkan hidup." jawab Obi dengan dinginnya.
"Cih. Tidak ada kata kompromi bagi penjahat seperti kalian. Itu hanya sekedar kata - kata bagi kalian. Akhirnya kami akan mati juga."
"Hn? Ternyata kau pintar juga ya?" Obi mengambil busur panahnya dan menarik talinya siap membidik kearah mereka.

***

Tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 6

The Handsome freak Chapter 6 Previous  1 ,  2 ,  3 ,  4 ,  5 Title : Fanfiction Chapter Genre : Romance, Comedy Ca...