Kamis, 09 November 2017

CERBUNG : REVERSE Chapter 9.1

REVERSE



Genre : Schoolife, Drama, Fantasy
Chapter 9.1

Prev Prolog12345678



***

Lyan tengah menunggu di halte bus tempat mereka berdua bertemu, karena Dimas tidak bisa menjemputnya dirumah. Hari ini adalah akhir pekan dan mereka akan kencan.
Lyan merasa sangat exited, bukan karena kencannya tapi karena janji Dimas padanya. 
Dari kejauhan laki - laki memakai kemeja biru muda dengan lengan menggulung sampai siku dipadukan celana berbahan semi denim berukuran pas dikedua kakinya dan sneaker putih yang dipakainya, berjalan mendekatinya. 'Keren sekali.' kagumnya dalam hati.
"Sudah lama menunggu?" tanyanya mengejutkan lamunan Lyan.
Lyan sedikit terkejut ditambah, 'Ugh.. Kilauan apa ini?' ia menyipitkan kedua kelopak matanya. Dimas tersenyum kecil kearah Lyan.
"Ada apa dengan matamu?" tanyanya polos.
Lyan menundukkan wajahnya, "Tidak kenapa - kenapa. Ayo cepat naik. Hari semakin siang." Lyan mempercepat langkahnya menaiki bus yang datang tepat sekali ketika ia harus menyembunyikan rasa malunya.
Dimas terlihat bingung namun ia mengikuti Lyan dibelakang.

"Kau mau mengajakku kemana?" tanya Lyan yang sudah memulihkan kesadarannya.
"Hmm?" Dimas hanya berdehem.
Lyan menarik wajahnya, ia menarik nafas sangat panjang dan dibuangnya perlahan. 'Apa ini? Kenapa jantungku berdebar - debar. Dia kan hanya berdehem. Kenapa kelihatannya keren sekali.'
"Kau tak apa? Sejak tadi sikapmu aneh sekali." telapak tangan Dimas sudah mendarat didahi gadisnya itu. Dan tanpa ia ketahui rona wajah gadisnya itu memerah sudah seperti kepiting rebus akibat jarak wajah mereka yang terlalu dekat. Dan Lyanpun pingsan ditempat.
"Eehhh...?!" ucap Dimas mendapati Lyan sudah bersandar dibahunya.

***

Dimas mengajak Lyan kearena bermain yang terletak diIbukota.
"Ahhh.. Sudah lama aku tidak kesini." ucapnya antusias.
"Sudah kuduga pasti kau akan senang kan aku ajak ketempat ini."
Lyan terdiam, "Tapi biaya masuknya lumayan mahal kan?"
"Tak apa. Aku yang mentraktirmu. Jangan khawatir."
"Eh bukan begitu. Apa tidak sayang dengan uangmu?"
Dimas menatap Lyan dan mendekatinya. "Untukmu tidak apa - apa." ucapnya sembari menaruh telapak tangannya diatas kepala Lyan dan itu sukses membuat Lyan tersipu. "Aku beli tiket dulu. Kau tunggu disini."
Lyan mengangguk - angguk. 'Kenapa aku merasa senang sekali. Padahal bukankah itu hal yang wajar? Ah ya disekolah ia terlihat sangat kontras dengan saat ini. Mungkin itu sebabnya.' gumamnya.

Mereka berdua menaiki berbagai wahana di sana, tanpa ada rasa canggung diantara keduanya. Tawa yang terukir diwajah mereka menandai mereka sangat menikmati semua arena bermain.
"Hahaaahhaa... Tadi kau tidak lihat bagaimana raut wajahmu sendiri ketika naik rollcoaster?" gelak tawa Dimas.
Lyan cemberut, pasalnya ketika selesai menaiki wahana itu ia terlihat pucat dan sedikit mengusap sudut matanya yang berair. Ia memang merasa takut, tapi karena rasa gengsinya akhirnya ia memberanikan diri untuk ikut Dimas menaikinya. Alhasil sepanjang permainan ia hanya memejamkan mata dan berteriak hingga air matanya mengalir.
"Diamlah.. kau memancing perhatian orang - orang tau.." desisnya sambil berlalu menjauhi Dimas.
Dimas mengikutinya tanpa berhenti tertawa tanpa suara dan itu sangat menganggu bagi Lyan. Ia merasa kalah telak darinya.
Lyan menghentikan langkahnya ketika ia melihat lingkaran sangkar burung besar (read : bianglala) yang tengah berputar didepannya.
"Hn? Ada apa?" tanya Dimas tepat disampingnya.
"Naik itu yuk!" Lyan menarik lengan Dimas untuk mengantri.

Petugas membuka pintu masuk,
"Silahkan.." tukasnya, "Pelan - pelan ya."
"Iya terima kasih." jawab Lyan.
Dimas duduk bersebrangan dengan Lyan, sesekali ia memperhatikan gadisnya yang saat itu sangat menikmati pemandangan dari atas. Bahkan ia mengulum senyumnya ketika Lyan sedikit terkejut ketika roda sangkar burung yang mereka naiki mengalami gonjangan.
"Sepertinya kau menyukai wahana ini ya?"
"Ya. Bisa melihat dari atas itu menyenangkan. Terlihat sangat luas..."
"Kau tidak takut ketinggian?"
"Sedikit.. Tidak terlalu."
"Hem begitu."
Krraaaaakkk.... 
Sangkar burung raksasa itu berguncang kemudian tiba - tiba berhenti, riuh jerit histeris dari kepanikan semua pengunjung diwahana tersebut tanpa terkecuali Lyan yang tanpa sengaja ia berlari memeluk Dimas dihadapannya.
"Tidak apa. Pasti cuma sedikit macet. Sebentar lagi juga jalan." ucapnya menenangkan sembari menepuk pelan punggung Lyan.
Lyan melepas pelukannya ketika ia tersadar, "Maaf, aku hanya terkejut."
"Iya tidak apa." Dimas membelai lembut kepala Lyan dan sukses membuat Lyan tersipu.
"Emm. Kau bukannya sudah janji padaku.. Aku sudah menunggu sejak tadi."
"Hem? Janji?..." Dimas mengingat - ngingat. "Oh.. Baiklah. Aku akan menceritakan semua kisahmu. Tapi ini hanya sekedar yang ku tahu."
Lyan mengangguk, "Tidak apa kok."
"Ehmm.. jadi begini, awal kita bertemu...."

***

Flashback on
(Sudut pandang Dimas)

Tahun pertama semester kedua,
'Ah.. Merepotkan sekali, aku seperti pesuruh kalau begini. Apanya yang ketua kelas? Setiap ada apa - apa pasti guru menyuruhku terus. Lagipula aku tak mengharap menjadi wakilnya. Buat apa menjadi ketua kelas kalau tidak setiap hari dia kesekolah.' gerutuku.
Sesampainya diruang guru, aku mengetuk pintu dan masuk perlahan kedalam. Kemudian memberi salam kepada setiap guru yang kutemui disana.
'Hn? Siapa gadis itu? Kenapa ia menunduk? Ah.. Mungkin tengah dimarahi oleh Pak Cakra. Apa aku tunggu sebentar ya, buku - buku ini lumayan berat juga sih.' aku menghentikan langkahku beberapa meter dari meja Pak Cakra.
"Ah, Dimas. Kemarilah!" seru Pak Cakra setelah dia sadar aku sudah ada di ruang guru.
Aku menghampirinya dan sekilas kulirik gadis yang berdiri tak jauh dari meja Pak Cakra. "Maaf Pak. Ini buku semua murid."
"Ah. Taruh saja dimeja ini." ucap Pak Cakra.
Aku menaruhnya.
"Kau jangan suka beralasan seperti itu! Bapak sangat tidak suka dengan murid yang suka mengarang - ngarang cerita demi menutupi kebohongannya." ketus Pak Cakra pada gadis itu.
"Tapi memang seperti itu Pak. Saya tidak berbohong." jawab gadis itu tanpa keraguan.
"Haahh.. Sudahlah. Kau harus mengulang makalahmu ini. Bapak tunggu senin depan."
"Hah? Kalau bisa mohon diberi kelonggaran waktu lagi Pak. Senin depan terlalu sempit. Ku mohon Pak." ucapnya memohon dengan mengatup kedua telapak tangannya dihadapan Pak Cakra.
Pak Cakra menghela nafasnya panjang dan melirik kearahku. "Ah. Kau Dimas. Tugas fisika dikelas sudah semua terkumpul kan?"
"Iya sudah pak. Tiga hari lalu. Sesuai deadline dari Bapak."
"Apa kau ada les tambahan seusai sekolah?"
"Tidak Pak."
"Bagus. Bapak meminta tolong padamu. Ajarkan anak ini menyelesaikan tugas fisikanya dalam waktu satu minggu."
"Apa?" ucap kami bersamaan.
"Tapi Pak saya bisa mengerjakannya sendiri kok." ucap gadis itu.
"Jika kau membantah. Bapak akan potong waktunya jadi dua hari. Bagaimana?!" serunya.

Aku dan gadis itu akhirnya keluar dari ruang guru. Gadis itu terlihat berjalan lunglai dan tidak bersemangat namun tiba - tiba.
"Ahhhh.. Kenapa jadi begini?" keluhnya.
"Aku tidak banyak cukup waktu. Jadi setelah jam pulang sekolah. Kau kutunggu di perpustakaan. Akan kuberikan point - point penting dalam pembuatan makalahmu." tukasku sambil berlalu pergi. Dan gadis itu hanya menjawab 'iya' dengan pasrah.
Jika Pak Cakra bukan walikelasku, pasti sudah ku tolak permintaannya tadi. Apa - apaan? Memangnya dia anak SD pakai dibantu dibuatkan makalah.

Bel sekolah berbunyi, tanda jam pelajaran terakhir telah selesai. Aku bergegas menuju perpustakaan, memenuhi permintaan walikelasku kepada gadis yang tak ku ketahui namanya itu.
Aku mencari dimana dia dan ketemu. "Kenapa dia? Jelas sekali aura kehitaman melanda dirinya. Ck."
Aku menghampirinya tanpa basa basi. Dan membuka ransel serta mengambil catatan fisikaku. "Yakk.. Kenapa kau ini?" tanyaku terkejut.
Kedua mata gadis itu sudah sembab, wajah dan rambutnya terlihat berantakan. 
"Kau habis menangis? Atau kenapa sih?"
Dia menatapku sekilas dan merapihkan rambutnya dengan mengikatnya kebelakang dalam diam. "Maaf aku mengantuk. Jadi ketiduran sebentar disini."
"Aku... Tidak peduli. Cepat buka bukumu. Akan kuberi point pentingnya."
"Ya." dengan malas ia mengambil buku ditasnya dan bergerutu, "tadi dia bertanya, giliran dijawab bilang tidak peduli. Dasar manusia disini semuanya aneh."
"Apa kau bilang?" 
"Tidak ada."
'Dasar gadis aneh.' gerutuku dalam hati.

***

Hari ini adalah hari kedua kami bertemu dan seperti kemarin aku langsung mengajarinya sesuai permintaan dari walikelasku. Tanpa berkenalan dan bicara tak lebih dari sekedar pertanyaan seputar pelajaran fisika. Bagiku tak masalah awalnya, karena aku memang tidak terlalu suka tahu pribadi orang lain.

Namun ketika melewati hari ketiga, aku tak sengaja melihat dia tengah membersihkan lututnya yang terluka didekat taman. Tanpa aku sadari, aku menghampirinya.
"Kau terjatuh?" tanyaku.
Dia mendongakkan wajahnya yang terlihat sedikit sendu. "Aku tersandung batu." jawabnya kemudian bangkit dan pergi berlalu begitu saja.
Aku bertemu kembali dengannya saat pulang sekolah. Seperti biasa tidak ada obrolan yang tidak penting diantara kami, hanya seputar pelajaran fisika saja.
"Aku minta tolong kau cek beberapa materi makalahku ini." ia menyodorkan beberapa lembar kertas tulisan tangan kepadaku.
Aku mengambilnya dan membacanya, "kupikir ini sudah cukup, sesuai dengan apa yang aku infokan."
"Baiklah."
Melihat ekspresi datarnya itu membuat aku bertanya - tanya. "Bagaimana dengan lututmu?" 
"Tidak apa. Hanya tergores. Tidak usah dipedulikan." jawabnya datar.
Aku menghela nafas, "Kau dari kelas berapa?"
Dia menatapku, "Kelas 1 C."
"Oh. Aku dari kelas 1 A."
"Aku sudah tau." jawabnya melanjutkan kegiatan menulisnya.
"Siapa namamu?" 
"Lyan Amara. Panggil saja Lyan."
"Oh. Aku..."
"Namamu Dimas. Dimas Prasetya, murid terpintar kedua diangkatan tahun ini."
Aku tercengang mendengar ucapannya.

***

Aku merapikan semua buku yang tergeletak dimeja belajarku. Aku menduduki kursi disana, "Dia anak yang cukup unik. Ah tidak lebih ke aneh kurasa." gumamku.

Malam cepat berlalu, hari ini adalah hari ke lima pertemuanku dengannya.
"Hari ini adalah hari terakhir aku mengajarimu." ucapku tanpa memandangnya yang saat itu sedang sibuk menyalin semua materi yang kuberikan.
Dia menghentikan kegiatannya, aku meliriknya. Dia menghitung sesuatu dengan jemarinya. "Kau sedang menghitung apa?"
Dia mendongak, "Ah ya benar sudah lima hari. Dan besok senin aku harus menyerahkan makalah ini." 
Aku memperhatikannya kali ini. Wajahnya yang datar tanpa ekspresi, seperti ada beban dalam raut wajahnya itu. 'Eh, kenapa aku harus peduli?'

"Semoga berhasil." ucapku saat keluar dari perpustakaan bersamanya.
"Ya terima kasih." jawabnya sambil berlalu pergi.
Aku memperhatikannya lagi, langkah kaki yang tak semangat itu menarikku untuk mengikutinya.

Dia membuka lokernya dan sesuatu berserakan keluar dari dalam lokernya.
'Apa itu sampah?' tanyaku dari kejauhan.
Dia terdiam melihat tumpukan sampah itu dan menghela nafasnya perlahan. "Apa mereka tidak tau dimana tempat sampah ya?"
Aku terkejut mendengar ucapannya, "Ck.." aku menghampirinya dan membantunya membersihkan lokernya dari sampah - sampah itu.
Dia melirikku sekilas, "Tidak usah repot - repot dibersihkan. Besok juga ada lagi kok yang buang disana."
Aku terdiam sebentar, "Nanti aku bantu bersihkan lagi." aku tak mendengar jawabannya, kulirik dia masih dengan kegiatan memungut sampah yang berserakan dibawah. Saat itu sekolah sudah sepi karena sudah hampir waktu senja.

"Kenapa kau jadi satu bus denganku?" tanyaku saat dia duduk disebelahku.
"Aku memang naik bus ini kok. Maaf aku duduk disampingmu." jawabnya datar.
Ku tatap dia dari samping, "Hey, bisakah ekspresimu itu diubah. Datar sekali."
"Memangnya aku harus bagaimana? Mau aku berubahpun, tidak ada orang yang menyukaiku kan? Jadi buat apa berubah?"
Lagi - lagi aku tercengang dengan ucapannya, "Emm. Memangnya sejak kapan kau dikerjai seperti itu?"
"Sudah lama. Dan hal itu menjadi lebih parah sejak aku belajar bersama denganmu."
Aku membulatkan kedua mataku, "Hah? Apa maksudmu?"
"Kau kan siswa populer. Apalagi dikalangan wanita. Sudah tidak apa. Aku sudah biasa kok dengan semua itu."
Aku menghela nafas panjang, "Kenapa kau tidak melaporkannya ke guru BK. Pembully-an itu kan tidak boleh."
"Percuma. Jika dilaporkan akan membuat masalah ini menjadi lebih rumit." dia merubah posisi duduknya menggeser menghadapku. "Jadi kuminta padamu, rahasiakan hal ini ya. Dan satu lagi, mulai besok anggap saja kita tak saling kenal." dia menggeser duduknya lagi, "Aku tidak mau berurusan dengan orang - orang freak seperti mereka."

***

Hari berganti hari, sudah dua minggu ini aku tidak bertatap muka dengannya. aku memenuhi permintaannya untuk tidak saling kenal dan merahasiakan hal itu. Sebenarnya aku tidak terlalu suka peduli dengan urusan orang lain, tapi kenapa aku selalu kepikiran tentangnya.
"Hey Dimas. Kau sedang apa? Melamun?" tanya Andika.
"Hah? Tidak kok." aku menyanggah tubuhku didinding pembatas didepan kelasku. Sekilas ku melihat ke arah lapangan, "Dia.." tanpa ku sadari aku berlari menghampirinya.
"Hey Dimas... Sebentar lagi jam istirahatnya selesai.." teriak Andika yang tak ku hiraukan.

Aku berlari menuruni tangga dengan tergesa, berharap aku bisa menolongnya. Nafasku tersengal - sengal saat aku menemukan dimana dia berada.
"Dasar wanita j*****, masih berani ya melawan kami?" 
"Kasihan sekali ya. Sudahlah kalau kau tidak ingin terluka. Patuhi semua perintah kami!"
"Memangnya kalian siapa?" dia dengan sedikit darah disudut bibirnya.
"Oh jadi kau ingin kutampar lagi ya. Ini terimalah."
Ku tangkis secepat yang kubisa, "Jadi kalian yang melakukan hal ini padanya?" geramku. Aku menatap tajam kearah mereka bertiga.
"Di.. Dimas. Ini tidak sep.."
"Jangan lagi kalian melakukan ini kepada siapapun. Atau kulaporkan kalian nanti." ancamku dan melepas cengkraman tanganku dari pergelangan tangannya.
"Ayo teman - teman.." ajak gadis berambut panjang hitam lurus yang tadi ingin menampar Lyan.
Aku berbalik, "Ikut aku ke UKS." aku menariknya tanpa ijin.

Dia terduduk diam diatas tempat tidur diruang uks. Aku mengambil kapas dan alkohol dikotak p3k.
Aku balur kapas itu dengan alkohol, "Tahan sedikit. Mungkin akan terasa perih." ucapku saat ingin mengobati sudut bibirnya yang terluka.
Dia mengangguk. 
"Apa kau tadi kena pukul? Hingga bibirnya sedikit terluka seperti ini?" tanyaku.
Dia meringis menahan sakit, "Ya, aku tidak sempat menangkisnya." jawabnya pelan.
"Sudah ku obati. Mungkin beberapa hari lagi baru sembuh."
"Kenapa kau bisa tau?"
"Aku tak sengaja melihat."
"Kenapa kau peduli? Bukankah kau sudah janji bahwa kita tidak akan saling kenal. Ini akan menjadi masalah buatku."
"Aku tidak suka ada pembullyan disekolah maupun dimanapun."
Dia menunduk.
"Tidak usah khawatir. Mereka tidak akan lagi menganggumu."
Dia mengangkat wajahnya, "Darimana kau tau?"
"Aku akan menjagamu. Jadi tenang saja." Kalimat yang begitu saja keluar dari bibirku.
Daakk.. Pintu ruang UKS terbuka paksa, "Lyaann... Kau tidak apa?" 
Dia tersenyum, "Tidak apa - apa."
Gadis itu dipeluk erat oleh seorang temannya. "Eh, kau?" tanyanya padaku.
"Dia yang menolongku tadi." jawab Lyan.
"Oh. Terima kasih ya." ucapnya. Aku mengangguk. "Kau dibully lagi ya?"
Dia hanya tersenyum kecil.
"Kenapa kau tidak lapor saja sih. Aku kan jadi gemas."
"Tidak apa. Aku bisa mengatasinya kok. Lagipula aku percaya kalau benar pasti menang."
"Menang apanya, buktinya kau selalu berakhir seperti ini."
"Ini belum seberapa."
"Huuuhh.."
"Oh ya. Ini perkenalkan teman dekatku. Namanya Diana Sari Puspita, panggilannya Sari. Dia sekelas denganku. Dan sari, ini Dimas kelas 1 A." 
Aku merespon ucapannya dengan senyum kecil. Dan begitupun dengan Sari.
"Ya aku tau kok. Kau kan populer." jawab Sari.
Aku dan dia saling menatap, "Populer?" tanyaku.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum, "Sari tau karena pacarnya sekelas denganmu.." seketika Sari menutup mulut Lyan.
"Itu.. Tidak benar kok.. Hehe." sangkalnya.
Aku hanya mengangkat kedua alisku.

***

Tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 6

The Handsome freak Chapter 6 Previous  1 ,  2 ,  3 ,  4 ,  5 Title : Fanfiction Chapter Genre : Romance, Comedy Ca...