IDOL SCHOOL
Chapter 9
Genre : School life, Romance, Comedy
Happy
Reading ^^
*********______________________********
Sam dan Inka tengah membututi
kegiatan Renal dan Rissa dicafe tersebut, mereka mengendap – endap.
“Hei Inka. Apa ini tidak berlebihan?
Aku merasa kita seperti pencuri atau penjahat?” Sam khawatir pasalnya semua
mata pengunjung taman kota itu hampir melihat kearah mereka karena terlihat
mencurigakan.
“Apa sih Sam. Kamu bicara apa?”
Tanya Inka balik. Ia sedang mencari cara agar pembicaraan Rissa terdengar
olehnya.
“Apa tidak sebaiknya kita masuk kedalam
cafe itu?” Sam mencolek – colek pinggang Inka.
“Sssttt.. suaramu mengangguku! Aku
tidak bisa mendengar percakapan mereka.” Inka protes ia membalikkan tubuhnya. “Kamu ini
bodoh yah! Kamu yang merencanakan hal ini. Masa kamu mau terang – terangan
dihadapan Rissa.”
“Eh bukan begitu maksudku.” Sam
gelagapan (?). Ia membisik, “Kamu tidak lihat banyak pasang mata kearah kita.
Dari tatapan mereka, kita dianggap seperti pencuri.”
Inka mendaratkan kepalan tangannya
tepat dikepala Sam, “Dasar bodoh!”
“Aduh, kenapa kamu memukulku!” seru
Sam sambil mengelus – elus kepalanya.
“Ikut aku!” Inka menarik Sam pergi
dari cafe tersebut dan mencari tempat aman bagi keduanya.
***
Keduanya terdiam tanpa ada yang
membuka pembicaraan. Wajah Rissa sudah merona sejak tadi. Ia menahan rasa
malunya saat itu.
“Apa kamu mau memakan sesuatu?”
tawar Renal.
“Ah.. tidak..” ucap Rissa.
‘kkrrrrrruuuuyyuuukkk’ muncul suara dari perut Rissa dan membuat Renal terkejut
dan menahan tawanya.
“Sepertinya kamu belum sarapan.”
Renal menahan tawanya.
Rissa yang melakukan hal memalukan
tadi hanya tersenyum kecut, “Maaf..”
“Oke. Aku pesankan makanan untuk
kita.” Kemudian Renal memanggil pramuniaga disana dan memesan dua porsi roti
panggang coklat. Renal melirik sekilas kearah Rissa yang masih menundukkan
kepalanya karena malu dan ia tersenyum lebar. “Kamu ini aneh.”
Rissa menenggakkan wajahnya, “Aneh?”
“Kamu tidak pandai berbohong
rupanya.”
“Ah, he.. iya.” Rissa mengalihkan
pandangannya, “Maaf yang barusan. Itu tidak sengaja.”
“Aku tau.”
“Hmmm.. anu.. aku ingin bertanya
sesuatu.”
“Hn?”
“Apa temanku yang memintamu untuk
ini?”
“Siapa?”
“Ah.. iya.. namanya Inka dan Sam.
Mereka teman satu kelasku. Kurasa kamu pernah bertemu dengan mereka.”
“Ahhh..” Renal mencoba mengingat
dihadapan Rissa. Padahal ia sudah mengetahuinya.
Pramuniaga datang dan menghidangkan
dua porsi roti panggang coklat disana, “Silahkan.”
“Ah, terima kasih.” Jawab Renal. Dan
pramuniaga itu kembali ketempatnya. “Silahkan dimakan, kurasa cacing yang ada
diperutmu sudah menunggu lama.” Goda Renal dan ia langsung menyantap roti
tersebut.
Rissa merasakan hawa yang panas saat
itu, entah ia merasa bertambah malu atau bagaimana. Dan iapun menyantap
makanannya tanpa menagih jawaban atas pertanyaan pada Renal tadi.
“Bagaimana dengan kegiatan
belajarmu? Apakah kamu sudah hafal dengan rumus matematikanya?” tanyanya
ditengah kegiatan makannya.
“Hmmm.. lumayan.” Rissa
menyelesaikan kunyahannya, “Kurasa sedikit ada yang hinggap diotakku.”
“Apa kamu mau aku ajarkan?”
tawarnya.
“Hah? Kamu mau mengajarkanku?” sontak
Rissa.
Renal mengangguk, “Kalau memang kamu
bersungguh – sungguh dalam belajar agar nilai ujian matematikamu bagus. Aku
akan membantumu seperti waktu itu.”
“Ah iya waktu itu kamu membantuku
menyelesaikan PR-ku.”
“Tapi ada satu syaratnya.”
“Eh, syarat?” Rissa menghentikan
kegiatan memotong roti dipiringnya.
“Hmm..” Renal mengangguk.
“Apa syaratnya?”
“Kamu harus jadi pacarku….”
“HAH?!!” Rissa tersentak dengan
ucapan Renal yang begitu tiba – tiba. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus
saat itu. “Apa kamu sedang bercanda?” tanyanya kembali dengan hati yang terus
berdebar – debar dan ia merasakan aliran darah disekucur tubuhnya mengalir
sangat deras. Saat ini perutnya terasa banyak kupu – kupu yang berterbangan
disana.
“Aku belum menyelesaikan ucapanku
tadi.” hela Renal, “Hah… sebenarnya ini sangat berat aku ucapkan. Dan
sejujurnya aku tidak tau ini keputusan yang baik atau tidak. Hal ini
menguntungkan untuk kita berdua atau tidak. Aku belum tau pasti, tapi aku rasa
aku harus mencobanya.”
“Heh??? Apa maksud perkataanmu?”
Rissa menyandarkan bahunya, dirinya menjadi tegang.
“Kalau kamu bersedia menolongku. Aku
mau kamu menjadi pacar bohonganku.”
“Heh?? Pacar bohongan? Apa itu?”
Rissa semakin tidak mengerti tujuan ucapan Renal. ‘Apa sih orang ini?! Aku
tidak mengerti!’ gumamnya dalam hati.
Renal memejamkan kedua matanya dan
sedikit berpikir. “Begini aku memiliki saudara perempuan yang jauh silsilahnya
dengan keluargaku. Sekarang dia tinggal diluar kota bersama kedua orang tuanya.
Minggu depan dia akan kerumahku, kamu tau kan kalau aku ini tinggal seorang
diri.”
Rissa mengangguk – angguk dan dengan
seksama ia mendengarkan ucapan Renal. Bahkan ia menyiapkan kedua telinganya
untuk menangkap semua maksud dari perkataan Renal.
“Hah….” Helanya, “Tidak memungkinkan
kalau ia akan tinggal denganku dalam beberapa minggu kedepan. Jadi mau tidak
mau kemarin aku berkata padanya untuk menginap dirumah pacarku. Karena ia terus
meledekku kalau aku tidak mempunyai pacar.”
“Ehh? Kenapa kamu tunjuk aku sebagai
pacar bohonganmu? Aku tidak mengerti.”
“Aku tidak terlalu dekat dengan
seorang teman wanita. Setelah beberapa hari ini aku berpikir kalau kamu adalah
satu – satunya teman wanita yang pernah jalan berdua denganku.”
“Apa?” kedua mata Rissa membulat
sempurna. ‘Ini tidak mungkin! Seorang idol sekolah, tidak mungkin ia tidak
pernah jalan bersama gadis lain! Apa dia tengah membohongiku? Atau dia sedang
menggodaku lagi!’
“Bagaimana dengan kesepakatan ini,
apa kamu akan menyetujuinya?”
“Apa maksudmu? Kesepakatan apa? Aduh
kepalaku jadi pusing.” Rissa menangkup kepalanya dengan kedua tangan. Sikap
Rissa berubah dari yang biasanya kalem jadi agak ekspresif atau mungkin
berlebihan.
Renal memperhatikan tingkah Rissa,
“Hahahahhaaaa…..” dia tidak bisa menahan tawanya. “Kamu ini benar – benar gadis
aneh.”
Rissa berhenti dan menatap Renal yang
sedang tertawa lepas, ‘Apa – apaan dia itu? Kenapa dia tertawa diatas
kepusinganku atas perkataannya barusan.’
“Kamu ini.. jangan bersikap seperti
anak kecil yang sedang gelisah karena kehilangan mainannya.” Renal berhenti
tertawa dan memandang wajah Rissa yang kelihatan bingung. “Maaf, aku hanya
bercanda tadi.”
“Hah?!!!!” serunya dan bangkit dari
kursinya, “KAMU INI MENGERJAIKU LAGI YA!” teriaknya dihadapan Renal yang
menahan tawanya kala itu.
***
Semilir angin pagi terhempas
mengiringi tirai – tirai dijendela kamar Yuko berterbangan dengan lembut.
Sedikit bias cahaya matahari pagi menerpa wajah putihnya yang sedang menumpu
pada meja belajarnya. Yuko terlihat memikirkan sesuatu.
‘Tok tok’ suara ketukan pintu
membuyarkan lamunan Yuko. Ia menoleh, “Masuk.”
Maruka masuk kedalam kamar Yuko dan
duduk ditepi tempat tidur, “Kamu tidak ada acara minggu ini?”
“Tidak ada hubungannya denganmu.”
Jawabnya ketus.
“Hei, jangan ketus begitu dengan
kakakmu sendiri.”
Yuko berbalik, “Ada apa? Jika ada
perlu langsung saja tidak usah basa basi.”
“Hah…” keluh Maruka dan ia melipat
kedua tangannya. “Yuko, apa kamu masih marah padaku?”
“Bukan urusanmu.” Yuko menatap pintu
kamarnya. Ia malas menatap kearah kakak satu – satunya itu. Entah mengapa ia
membenci Maruka.
“Baiklah. Aku tidak ada maksud untuk
membuatmu marah. Aku hanya ingin kamu tidak membenci ayah.”
“Kalau kamu mau membahas orang itu,
silahkan pergi dari kamarku.”
“Kamu ini kasar sekali dengan
kakakmu sendiri.”
Yuko bangkit dari duduknya dan
berjalan kearah pintu. Ia membuka pintu kamarnya lebar, “Sudah aku buka,
silahkan keluar.”
Maruka mengernyitkan dahinya dan
menahan amarahnya. “Yuko!” serunya dan ia menghampiri Yuko untuk berhadapan
dengannya. “Apa aku begitu menjijikan dimatamu?”
Yuko terdiam dan membuang wajahnya,
“Aku membenci orang yang membela orang itu.”
Kedua tangan Maruka mengepal kuat,
“Yuko, dia ayahmu. Bagaimanapun juga ia ayahmu. Walaupun ia telah melakukan
kesalahan pada keluarga kita. Tapi tetap saja dia itu ayahmu.”
“Aku tidak menganggap dia adalah
seorang ayah.” Yuko menekan suaranya. Ia menunduk dalam dengan wajahnya yang
merah padam. “Kamu dibayar berapa sampai kamu membela orang itu?”
“Apa? Apa maksudmu?”
“Kenapa kamu terus membahas orang
itu dihadapanku? Aku sudah tidak mau mendengarkannya lagi.”
Maruka menunduk, “Ayah menelponku
kemarin. Dia berkata kalau ia ingin minta maaf kepadamu. Dia rindu denganmu,
dia rindu dengan wajah dan tawamu.”
“Cih, aku tidak peduli.”
“Yuko…” Maruka terdiam, bibirnya
bergetar. “Mungkin aku bukanlah kakak yang baik untukmu, tapi aku tidak
menyerah bagaimana aku harus mencari cara untuk itu. Aku tau bahwa Ayah pernah
melakukan hal yang sampai sekarang membekas dihatimu.” Maruka menarik nafas
panjang, “Tapi aku tidak mau kamu terus berlarut dengan hal itu, aku ingin kamu
terlihat seperti dulu. Yuko yang selalu ceria dan bahagia.”
Yuko melirik Maruka yang tengah
menunduk itu.
“Aku pikir aku harus mencari sesuatu
hal yang bisa membuatmu bahagia. Tanpa harus membenci siapapun. Aku tau ayah
meninggalkan kita demi perempuan lain. Jangan kamu pikir aku tidak kecewa
dengan tindakan ayah pada kita terutama pada ibu. Tapi semua itu tidak membuat
ibu berlarut sedih karena ibu sadar, dia memiliki kita.” Kedua bahu Maruka
terlihat naik turun, ia menahan tangisnya. “Ada sesuatu yang tidak boleh aku
beritahu padamu, tapi sepertinya ini sudah saatnya aku memberitahumu.”
“Sesuatu?”
“Aku pernah membenci ayah saat itu
sama seperti dirimu. Tapi ketika melihat ibu menangis dan aku bertanya padanya.
Bahwa kamu membenci ayah melebihi aku, ibu berkata padaku. Dia memohon padaku
untuk membuatmu tidak membenci ayah…”
Yuko terdiam.
“Dia tidak bisa membujukmu atau
memaksamu karena dia terlalu sayang padamu. Tapi apakah kamu tau, ibu masih
mencintai ayah sama seperti dulu.”
“Apa? Apa ibu sudah gila? Bagaimana
ibu bisa mencintai ayah, padahal apa yang sudah dilakukan oleh ayah telah
menghancurkan perasaannya!”
Maruka menenggakan wajahnya dan
terlihat tatapan pilu dikedua bola matanya. “Aku tau.”
“Lalu apa? Apa yang dipikirkan oleh
ibu? Kenapa?”
“Jangan katakan Maruka.” Ucap Ibunya
yang tiba – tiba datang dihadapan mereka.
Yuko dan Maruka terkejut dengan
kehadiran Ibunya yang sudah ada dihadapan mereka.
***
Rissa berjalan lebih dulu didepan
Renal, wajahnya terlihat sangat kesal. Ia tidak bisa melupakan kejadian dicafe
tadi. ‘Sungguh memalukan, aku digoda dan dikerjai olehnya. Aku tidak habis
pikir!’ gumamnya dalam hati.
Renal meraih pergelangan tangan
Rissa, “Kamu mau kemana?”
Rissa menoleh, “Aku mau pulang.” Ucapnya
dengan wajah cemberut.
“Ohh.. kamu masih kesal denganku
gara – gara hal tadi?” Tanya Renal tanpa dosa.
‘Apa – apaan dia? Seperti tidak
punya dosa.’ Rissa memalingkan wajahnya.
Renal tersenyum kecil tanpa melepas
genggamannya dipergelangan tangan Rissa. “Hmm selanjutnya melakukan apa ya
kalau sedang kencan?” ucapnya mengalihkan.
Rissa sontak menoleh kearahnya, “Eh,
apa masih berlanjut?”
“Tentu saja, ini masih jam 11 siang.
Apa kamu mau pergi kearena bermain?” tawarnya dengan senyum menggodanya.
‘Eh? Apa itu? Dia menggodaku lagi
dengan senyumannya. Jangan harap!’
“Kalau kamu diam saja berarti kamu
setuju.” Renal menarik Rissa untuk mengikutinya.
“Hei.. jangan langsung menyimpulkan
seperti itu.”
“Sudahlah ikut saja. Jangan banyak bicara.”
“Apa? Tadi kau bertanya padaku.
Bagaimana sih?”
“Aduh kamu ini bawel sekali.”
“Apa? Aku bawel?”
“Sudah diam..”
“Bagaimana aku harus diam, kalau
nanti kamu terus mengerjaiku…..”
Rissa dan Renal tengah bertengkar
kecil dalam perjalanan mereka.
Tanpa diketahui bahwa Inka dan Sam
tengah menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh mereka berdua.
“Sepertinya memang ada chemistry antara mereka berdua.” Ucap
Inka senang.
Sam mengangguk – angguk, “Tapi
kenapa wajah Rissa sepertinya kesal ya? Apa Renal telah berbuat sesuatu padanya.”
“Mungkin saja, kita tidak bisa
mendengarkan percakapan mereka dicafe tadi.”
“Ayo kita ikuti mereka pergi.” Inka
dan Sam melangkah kakinya kembali mengikuti mereka.
Renal berhenti diarena bermain,
kebetulan pusat kota disana memiliki arena bermain didalam ruangan. Hampir
mirip dengan arena bermain di Dunia Fantasi seperti di Jakarta. “Hmmm..
bagaimana kalau kita naik Roll Coaster.” Renal kembali menarik Rissa untuk
mengikutinya.
“Eeehhhh…aku belum tentu mau…”
rintih Rissa menarik tangannya bertujuan agar Renal melepaskan.
Renal berhenti dan mendekati Rissa.
“Aku tidak akan melepaskanmu. Sudah ayo ikut.” Paksanya.
“Eeehhh.. apa – apaan ini… aaaa….”
Rissa terlihat tidak bisa menang dari paksaan Renal.
Renal tengah membeli tiket masuk ke
wahana arena bermain tanpa melepaskan cengkraman tangannya.
‘Bagaimana bisa ia membeli tiket dan
mengeluarkan uang didompetnya tanpa melepaskan genggaman tangannya ini.’ Eluh
Rissa dalam hati, ia terlihat pasrah sekali.
“Ayo!” serunya lagi menarik Rissa
untuk mengikuti kemauannya.
‘Apa maksudnya orang ini. Aku tidak
mengerti, apa semua kencan buta seperti ini.’
Renal meminta Rissa untuk duduk
disampingnya. Saat ini mereka sudah berada didalam kursi Roll Coaster. Rissa
sepertinya belum tersadar sepenuhnya jika ia sebenarnya tidak pernah berani
menaiki wahana ini.
“Hei, turunkan pembatasnya.” Ucap
Renal saat ia menyadari bahwa Rissa terlihat sedang melamun. “Huh, gadis ini.”
Renal menurunkan pembatas dikursi Rissa dan hal itu menyadarkan Rissa.
“Eh, kenapa?”
“Sudah mau dimulai, jadi pembatasnya
harus dipasang agar kita tidak jatuh.”
“Apanya yang mau dimulai. Memangnya
kita sedang naik apa?” tanya Rissa gugup.
“Naik Roll Coaster.”
“HAH? APA? TIDAAAAKKKK!!!!!!!!!!!!!”
serunya dan wahana itupun telah mulai berjalan.
Jeritan dan teriakan histeris dari
semua orang yang sedang berada dalam wahana tersebut terdengar sangat kencang,
terkecuali Rissa. Wajahnya pucat pasi, ia terdiam menahan ketakutannya.
Sedangkan Renal tengah berteriak senang dan setelah wahananya berjalan dilintasan
yang cukup datar. Ia menoleh kearah Rissa dan ingin melihat reaksi Rissa. Renal
tertegun dengan keadaan Rissa saat itu.
Tanpa berpikir panjang, ia meraih
jemari tangan Rissa dan digenggamnya. Rissa menoleh kearahnya dan ia tersenyum.
“Jangan takut aku ada disini. Teriaklah! Jangan ditahan.” Ucapnya.
Rissa merasakan kehangatan yang
datang memenuhi hatinya dan perlahan ia tersenyum.
“Rissa.” Teriaknya.
Rissa menoleh.
“Berteriaklah!” serunya.
Rissa tersenyum, entah kenapa ia
merasa tidak takut lagi dan ia mencoba untuk berteriak dan merasakannya
senangnya menaiki wahana ini.
Sam terlihat sedih. “Bagaimana bisa
dia tidak mengikuti rencana kita Inka?” ia membungkuk didepan pintu gerbang
arena bermain itu.
“Eh, sudahlah. Mungkin kita membuat
rencana yang terlalu banyak. Maka dari itu ia tidak melakukannya karena
pusing.” Inka mencoba menenangkan Sam.
“Tapi lagi – lagi kita tidak tau apa
yang mereka akan lakukan diarena bermain ini.. huaaaa…” isak Sam.
“Ya! Sam, jangan menangis disini. Memalukan
tau!” bisik Inka dan menarik Sam dari sana.
“Tapi Inka, aku ingin kesana. Aku ingin
tau apa yang mereka lakukan.”
Inka menghela nafasnya, “Apa boleh
buat, kita tidak ada budget untuk
masuk kesana.” Pasrahnya. “Lebih baik kita menunggu mereka disini.” Usulnya.
“Untuk apa hanya buang – buang waktu
saja.. aku tidak rela…”
“Sam, kenapa sih kamu bersikap
seperti anak kecil seperti itu. Biasanya kamu ini terlihat paling cool diantara
kita.” Inka mulai jengkel dengan tingkah Sam.
“Aku hanya tidak rela kalau Renal
berjalan bersama Rissa. Huuaaaa…”
“Hah?”
“Apa yang kamu katakan, bukankah
kamu yang merencanakan semua ini. Dasar bodoh.”
“Iya aku tau. Tapi…..”
“Sudahlah, aku sudah mengatakannya
sejak tadi. Kamu atau aku bukan tipe Renal tau. Sudahlah kalau memang mereka
memiliki perasaan yang sama restui saja, apa boleh buat.”
“Hn? Apa kamu akan menyerah begitu
saja?”
“Hah…” eluh Inka, “Aku kan hanya penggemarnya
saja, tidak ada niat untuk berpacarannya dengannya. Bisa repot nanti.”
Sam mengangguk – angguk, “Benar juga
ya. Tapi kalau mereka berpacaran, maka yang akan bahaya adalah….”
Inka membulatkan kedua matanya, “Astaga,
aku lupa…”
“RISSA.” Ucap mereka bersamaan.
Pasalnya disekolah banyak rumor yang
mengatakan jika ada gadis yang dekat dengan Renal, maka dia akan berurusan
dengan Yuko dan teman – temannya.
***
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar