Rabu, 23 Mei 2018

CERBUNG : REVERSE Chapter 10.1


REVERSE



Genre : Schoolife, Drama, Fantasy
Chapter 10.1

Prev Prolog123456789.19.29.3


***

Sari berdiam diri dimeja belajarnya sendirian sejak tadi, masih teringat dikepalanya saat Andika mencoba menceritakan apa yang dialami oleh Sari sebelumnya.

Flash back on,
Sari menundukkan wajahnya didepan wastafel toilet, sebagian rambutnya basah dan seragam yang dikenakannya kotor oleh tepung bercampur telur busuk. Hal ini sudah ketiga kalinya ia alami sejak dirinya difitnah oleh seseorang yang terkenal menjadi model tersebut.
Tap tap tap, suara langkah kaki setengah berlari itu cepat menghampiri, "Ah Sari! Kau tidak apa?" Lyan datang dengan segera karena khawatir dengan kabar burung yang tersebar cukup cepat disekolahnya. Ia miris melihat kondisi tubuh sahabatnya yang tak layak seperti itu, "Ayo kita bersihkan bajumu. Lalu ganti pakaianmu dengan baju olahragaku. Kebetulan hari ini aku ada jam olahraga dan gurunya tidak ada." ucap Lyan sembari membersihkan dan membasuh wajah Sari dengan saputangan miliknya. 
Sari hanya diam, ia membungkam mulutnya bahkan saat berbagai pertanyaan Lyan dilontarkan padanya. Sahabatnya itu ternyata lebih cerewet daripada biasanya, Sari meringis pedih, hatinya seakan berkecamuk.
"Sudah ganti bajunya?" tanya Lyan pada Sari yang saat itu baru keluar dari kamar mandi.
Sari mengangguk lemah, Lyan menatap sendu. "Ayo aku antar ke ruang UKS, kita obati luka lecetmu itu." ajaknya.
Andika sudah ada disana sejak tadi, ia memang sengaja menunggu Sari. "Ah.. Kau baik - baik saja?" ia berlari kecil menghampiri Sari yang dirangkul lengannya oleh Lyan.
Sari mengangguk tanpa suara.
"Duduk disini, aku ambil kotak p3knya dulu." ujar Andika sembari membuka lemari diseberang tempat tidur.

Lyan mengobati lecet yang ada disiku tangan Sari, walaupun sebenarnya terasa perih tapi ia tidak bergeming. "Sudah. Sari istirahat disini dulu ya. Aku harus kembali ke kelas karena akan ada ulangan dijam berikutnya." pamit Lyan diikuti dengan anggukan Sari. "Andika tolong jaga dia ya. Terima kasih." tambahnya.
"Iya, tenang saja." jawab Andika. Kemudian Lyan berlalu pergi meninggalkan mereka berdua diruangan tersebut.
Sari berbaring ditempat tidur, memiringkan tubuhnya kearah lain, ia membelakangi Andika yang duduk disebelahnya.
Andika menghela nafasnya pelan, ia menatap nanar orang yang pernah menolak cintanya itu.
"Hiks hiks.." suara sendu senyap terdengar jelas ditelinga Andika membuatnya sigap menghampiri kesisi dimana wajah Sari ditutupi oleh kedua telapak tangannya.
"Ada apa Sari? Kau menangis? Apa lukamu sakit? Sesakit itukah sampai kau.. Aduhhh... Bagaimana ini?" khawatirnya.
Sari sesegukan, isak tangisnya tak terbendung lagi setelah ia menahannya beberapa menit lalu.
Andika gusar, ia tengah berpikir hal apa yang harus ia lakukan. Ia mengambil segelas air tak jauh disana dan segera membangunkan tubuh Sari untuk minum agar dirinya merasa enakan.

"Jadi kau menahan tangismu didepan Lyan?" tanya Andika ketika Sari sudah kembali normal.
Sari yang tengah duduk ditempat tidurpun mengangguk.
"Sari, sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu? Aku sebenarnya sangat penasaran, belakangan ini kau jadi bukan seperti Sari yang biasanya." ungkap Andika.
Sari terdiam sejenak, "Maaf jika aku membuatmu berpikir seperti itu." lirihnya.
Andika menatap gadis disebelahnya yang tertunduk lesu. "Apa kau tidak ap..." ucapannya terputus.
"Tidak. Sebenarnya aku... Sakit, aku malu, aku tak tau harus bagaimana? Bahkan aku tidak sanggup lagi berkata didepan teman baikku." ucapnya.
"Maksudmu Lyan?"
Sari mengangguk, "Dulu aku dengan keras memintanya untuk selalu melaporkan tindak kekerasan yang diterimanya disekolah pada guru BK, tapi dia menolak karena menurutnya percuma jika yang menindasnya punya kekuasaan tersendiri disekolah. Aku pikir, anak ini berani sekali menghadapi semuanya sendiri? Aku sempat kesal dan sebal dengannya, karena kupikir semua akan berhenti jika saja ia melaporkannya. Sekarang aku mengerti kenapa dulu dia melakukan hal itu."
Andika terdiam, ya iya tau sebagian cerita itu dari Dimas dan pernah ia saksikan sendiri. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya kembali. 
Sari menelan ludahnya perlahan, tenggorokannya tercekat saat ia mencoba ingin meluapkan semua rasa yang ada dihatinya.
Andika menunggu Sari membuka suaranya, "Apa yang ini berhubungan dengan gosip yang beredar?" lirihnya perlahan.
Kedua mata Sari seakan memanas, ia mengangguk pelan. "A..aku tidak tau harus dari mana aku menjelaskannya padamu?" jawabnya.
"Aku akan coba mendengarkanmu.. Apapun itu." ucap Andika.
Sari menoleh dan menatap kedua mata Andika mencari kejujuran disana, kemudian ia tertunduk. "Aku mengenalnya lebih dulu daripada dia. Aku mengenal Oki sejak kami satu sekolah di SMP yang sama." ucapnya mulai bercerita.

*** 3 tahun yang lalu, Kelas 2 SMP ***
"Cepat kemarilah!" Gusti menarik lengan Oki kedepan pintu kelas.
Oki hanya pasrah tanpa melawannya walau hanya dengan sebuah kata.
Aku memainkan jemari tanganku dengan gusar, menanti keduanya datang menghampiriku didepan pintu kelas. Terlihat senyuman lebar Gusti saat ia berhasil membawa Oki  keluar kelas. Aku dan Oki berhadapan dan kedua mata kami bertemu.
"Kenalkan ini Sari kelas 2.D, dia baru masuk tim basket kita dan juga teman sebangkuku." ucap Gusti, teman sekelasku sekaligus anggota klub basket disekolah walaupun namanya seperti laki - laki tapi sebenarnya dia adalah perempuan.
"Oh. Hai aku Oki." salamnya padaku tanpa canggung dan lugas.
"Hai. Aku Sari. Salam kenal." jawabnya agak malu. Aku menyukai Oki dalam pandangan pertama.

Pertandingan basket antar sekolah, saat itu tim perempuan ikut menjadi supporter saja. Karena aku adalah anggota baru jadi mau tidak mau harus ikut mendukung tim sekolah kami. 
"Ayo dong SMP XX harus menang.. Yeayy..." seru teriak yang bergema disebuah gedung indoor tempat tim kami bertanding, ya suara paling keras itu dari Gusti.
"Gusti kau tidak lelah?" tanyaku sembari memberinya air mineral.
Ia menyambutnya dengan segera dan menegak habis dalam sekali. Aku melongo melihatnya, "Woah... luar biasa." kagumku.
Aku memperhatikan teknik permainan mereka sungguh bagus untuk seusia kami saat itu. Tapi mataku tak sengaja tertuju pada sosok laki - laki itu, "Hem.. Gusti, Oki itu jago ya main basketnya?" tanyaku polos.
"Heee... Kau suka dengannya ya?" godanya.
"Eh tidak kok, bukan begitu. Tapi lihat deh dari semua anggota yang main teknik bermain dia lebih optimal, apalagi shootnya selalu masuk ke ring." jawabku gugup.
"Hem?" Gusti menggaruk dagunya yang tak gatal itu, "Kau tak tau ya?"
"Eh apa?" aku penasaran.
"Tahun lalu Oki termasuk murid berprestasi disekolah. Dia juara umum untuk tingkat pertama, nilai akademik dia bagus, padahal dia juga aktif di klub basket. Makanya kakak kelas waktu itu walaupun menjadikan dia tim inti, tapi mereka memberikan kelonggaran waktu untuk dia belajar." jelasnya.
"Oh begitu. Hebat ya."
"Dan lagi dia juga populer loh. Sudah berapa kali adik dan kakak kelas nembak dia. Tapi selalu dia tolak." 
Aku menebaknya, pasti dia sudah punya pacar. Orang sepintar dan setampan dia mana mungkin tidak punya kan?
"Pasti kau menyangka kalau dia sudah punya pacar ya?" selidiknya tepat sasaran.
"Ehh??" Gusti kenapa bisa membaca pikiranku. "Lalu kenapa?"
"Tanya saja sendiri.. Hahaa.." tawanya memecah.
"Hah? Apa sih dasar!" seruku kesal. Sekilas aku melihatnya kembali namun kali ini dia juga melihat kearahku sekilas kemudian ia fokus kembali kedepan. "Eh apa itu?"

Semester akhir kelas 2 SMP, aku berlari dari kantin membawa sebotol air mineral dan obat sakit maag menuju ruang PMR.
Disana Gusti menekuk perutnya di tempat tidur, meringis kesakitan. Aku menyobek ujung plastik bungkus obat itu, "Ini Gusti segera minum obatnya, pelan - pelan." aku membantunya dan iapun menurut.
Terdengar suara sepatu orang berlari mendekat keruangan dimana kami berada, "Gusti! Hosh hosh hosh.."  Oki mengatur nafasnya yang tersengal - sengal itu, menyanggah tubuhnya dipinggiran pintu. Berjalan perlahan dengan wajah penuh dengan peluh. "Kau tidak apa - apa?" ia nampak khawatir dengan kondisi Gusti. Aku tertegun melihat reaksi wajah Oki yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Gusti hanya tersenyum kecil, "Ah.. Ini bukan apa - apa kok, sudah biasa."
"Apanya yang biasa sih?! Kau jangan suka mengabaikan jam makanmu lagi! Sekeras apapun kau mencoba untuk bermain basket, kau dengar kataku tidak?" Oki menekan semua kalimat yang ia lontarkan.
Aku terdiam, menoleh kearah Gusti yang hanya tersenyum saat ia dimarahi oleh Oki.
"Cerewet banget sih. Haha. Sudahlah aku mau tidur dulu. Jam kedua nanti kelasku ada ulangan benarkan Sari?" kali ini Gusti menoleh kearahku.
Aku terbengong, "Ah iya iya ada kok." jawabku.
Oki menghela nafasnya dan melemah, "Ya sudah tidur sana." ucapnya sembari keluar ruangan. Aku mengikutinya.
Oki terduduk dipinggiran teras ruangan PMR, ia menunduk dalam. Aku menghampirinya dan ikut duduk disana.
"Gusti itu sudah punya penyakit itu sejak SD. Tapi dia selalu mengabaikannya." ucapnya tiba - tiba.
"Begitu ya."
"Terima kasih kau selalu ada disampingnya."
"Eh bukan apa - apa kok. Dia kan teman sebangkuku jadi wajar saja kalau aku membantunya."
Oki menoleh kearahku, tatapannya berubah sayu. "Tidak banyak orang baik disekitarnya. Tapi aku bersyukur dia dekat denganmu, karena kau orang yang baik."
Aku terdiam, sebenarnya aku tidak begitu paham apa yang dia katakan sampai suatu ketika Gusti....

Sebulan kemudian, Aku mendapatkan kabar buruk dari walikelas. Disaat aku ingin memberikan sebuah hadiah untuk ulang tahunnya yang ke 15, Gusti meninggalkan kami selamanya. Penyakit yang dideritanya itu menggerogoti dirinya sejak lama. Bukan, bukan maag biasa. Gusti berbohong padaku, bahwa penyakit yang dideritanya adalah penyakit ginjal.
Sejak itu aku melihat sosok Oki sangat berbeda dari biasanya. Dia yang ramah dan selalu terlihat gembira nampak selalu murung dan menghindari orang lain. Sampai saatnya kenaikan kelas 3, aku bertemu dengan Lyan dan Eka.

Semester pertama kelas 3 SMP, aku duduk berseberangan dengan Lyan. Dia duduk dengan siswa laki - laki. Pembagian tempat duduk berdasarkan sistem acak. Aku menoleh kearahnya dan tatapan mata kami bertemu, dia tersenyum.
"Hai. Aku Lyan. Kau?"
"Ah, aku Sari."
"Lyaaann..." panggil seseorang dari luar kelas yang tak lain adalah Eka. "Wah kau dikelas ini ya. Sayang kita tidak sekelas."
"Iya, hahaa.."
"Bahagia sekali kau!"
Lyan dan Eka terlihat akrab sekali. Aku membalikkan tubuhku melihat keluar kelas, tak sengaja Oki lewat didepan kelasku. Sudah lama aku tidak menyapa dan berbicara dengannya. Padahal dulu waktu masih ada Gusti kami sering bercanda bersama.

Aku mengangkat sebagian buku yang kupinjam dari perpus dengan Lyan. 
"Kau yakin sudah semuanya?" tanyanya sambil berjalan disampingku.
Aku mengangguk tanpa melihat kedepan dan 'bruk' aku menabrak seseorang.
"Ah maaf aku tidak lih...." aku terkejut dengan siapa orang yang ku tabrak. "Oki?"
Dia menoleh kearahku namun tatapan matanya berubah menjadi dingin dan acuh, "Ini bukunya." ia memberikan buku - buku yang terjatuh padaku.
Aku menerimanya tanpa berkata apa - apa. Oki berlalu pergi begitu saja.
"Hem bukannya dia si juara umum ya?" tanya Lyan.
"Eh iya. Dua tahun berturut - turut." jawabku tanpa menatap Lyan. "Eh?" Aku terkejut melihat Lyan dengan tatapan berapi - apinya mengepal sebelah tangannya. "Kau kenapa?"
"Yak! Gara - gara dia aku tidak bisa jadi juara umum. Kali ini aku harus bisa mengalahkan dia yang berwajah dingin itu." ujarnya berapi - api.
"Eh???"

Keesokkan harinya, kepalaku mendadak pusing dan meminta ijin kepada guru yang mengajar dikelas kami untuk meminta obat diruang PMR. Aku membeku didepan pintu, disana Oki tertidur pulas.
Aku memasuki ruangan yang tak ada penjaga itu, berusaha agar tidak menimbulkan suara mencari kotak obat dan segera meninggalkan ruangan tanpa jejak.
"Kau sedang apa?" tanyanya.
"Eh?" aku terkejut dan segera membalikkan tubuhku. "Ah.. Aku cari obat.. Iya cari obat. Hehe.." 
Oki yang sudah duduk bersandar ditempat tidur menatapku dalam diam. Aku merasa gugup dengan sikap Oki saat itu.
"Apa kau pernah merasa kehilangan orang yang penting dalam hidupmu?" tanyanya tiba - tiba.
Lagi, aku terkejut dengan pertanyaannya, "Ah..."
"Sangat menyakitkan, bahkan serasa ingin mengakhiri hidup saja." lirihnya dengan nada sendu.
Aku menghampirinya dengan spontan, "Kau tidak boleh begitu."
Dia menatapku perlahan, "Lalu jawab aku, bagaimana?"
"Kau tidak boleh berpikiran pendek seperti itu hanya karena orang itu pergi meninggalkanmu." jawabku.
Dia menunduk dalam, menahan isak tangis. Suara yang terdengar snagat berat itu ia paksakan untuk keluar. "Tapi aku tidak bisa... Kalau bukan karena dia, aku tidak akan bisa sampai seperti ini."
Dahiku mengernyit apa yang ia maksud adalah perginya Gustianda?
"Kau pernah melihat bagaimana aku sangat khawatir dengan keadaannya kan?" ia berceloteh sendiri, "Kau pernah melihat aku marah sekali padanya saat itu? Kau tau aku kenapa begitu padanya?"
"A.. Aku tidak terlalu paham sih, tapi itu mungkin karena Gusti anak yang baik untuk semua orang."
"Ya.. Dia memang anak yang baik, ceria, ramah bahkan bodoh." Oki terdiam sesaat, "Bahkan dia mengorbankan dirinya sendiri hanya karena kepentingan orang lain, apa itu tidak bodoh namanya?"
Aku tidak bisa berkata apa - apa, aku tidak terlalu mengenal Gusti. Yang kutahu dia adalah anak yang baik.
"Aku.. Menyukai Gustianda melebihi seorang teman." lirihnya.
Kedua bola mataku membelakak, aku sangat terkejut mendengar pengakuan Oki barusan. "Kau?"
"Haaa... Bahkan dihari terakhirnya pun aku tidak mengatakan apa - apa padanya. Bodoh!" sesalnya.
"Jadi kau kenapa tidak mengatakannya?" tanyaku hati - hati.
"Cih. Gusti selalu menganggap semua teman - temannya adalah saudara tidak lebih dari itu. Walau fisiknya perempuan tapi hatinya dan kemauannya sekeras baja. Karena itulah aku tidak bisa mengatakan perasaanku padanya."
'Jadi itu sebabnya Oki menolak semua perempuan yang menembaknya?' gumamku dalam hati.
"Gusti adalah satu - satunya orang yang penting bagiku. Ia adalah alasan aku untuk bisa mendapatkan nilai sempurna disekolah, aku ikut klub basketpun karena dia, aku ingin tampil maksimal dan sangat baik dimatanya. Tapi sekarang percuma, dia sudah tidak ada.."
"Ja.. Jangan begitu. Kau kan masih punya orang tua, jangan berpikiran seperti itu." selakku.
"Hah? Orang tua? Ah.. Iya aku lupa. Aku masih punya orang tua ya? Haha.. Orang tua yang sama sekali tidak peduli dengan kehidupan anaknya. Yang peduli hanya dengan sebuah jabatan tinggi, yang suka membandingkan kekayaan dengan yang lain.. Hah... Aku tidak ingat mereka." Oki terlihat sangat emosi ketika ia berbicara tentang orang tuanya.
Aku memberanikan diri untuk lebih mendekat, "Oki, kau masih punya teman - temanmu yang lain seperti aku. Jadi jangan menyerah, kau pasti bisa melalui ini. Aku yakin Gusti disana juga tidak akan suka melihatmu seperti ini. Sudah cukup beberapa bulan ini kau terpuruk, kini saatnya kau bangkit dan buktikan padanya kalau semua yang ia lakukan padamu tidak sia - sia." 
Oki menatapku dalam diam, mungkin ia mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku yang spontan itu. Lama tak kulihat ia menyunggingkan senyumnya walaupun sangat tipis namun aku melihat ketulusan disana.
"Apa kau yakin Gusti tidak suka dengan kondisiku sekarang?"
"Ya."
"Apa yang akan dia lakukan jika dia tau aku seperti ini?"
"Mungkin dia akan memukulmu dengan sepatunya bahkan kau berlaripun akan dikejarnya."
"Begitukah?"
"Ya. Dan dia akan berteriak 'Dasar Oki bodoooohhh!' hingga menggema dipenjuru sekolah." Ah... Aku mengatakan apa sih?
Oki terdiam dan menundukkan padangannya. Sesaat ia menoleh kembali kearahku dan mengenggam kedua tanganku erat, "Iya, benar katamu dia pasti begitu. Jadi aku harus semangat. Aku harus buktikan kalau aku bisa walau tanpa dirinya."
"Ya. Itu bagus." ucapku dengan diiringi senyum.
"Iya. Terima kasih Sari. Kau sekarang terlihat seperti malaikat untukku. Terima kasih." ucap Oki segera turun dari tempat tidur memakai sepatunya asal dan berlari keluar ruangan meninggalkanku sendirian dengan pikiran yang bingung.
"Eh? Tadi aku itu bicara apa saja sih. Sampai kepalaku pusingnya hilang. Hah... Sudahlah kembali kekelas saja deh." ujarku.


"Sejak saat itu kami dekat kembali dan sering bersama. Karena ia sudah keluar dari klub basket jadi dia hanya fokus pada pelajaran saja." jelas Sari pada Andika. Sari kembali meminum air yang diambil oleh Andika tadi.

***

Tbc


Minggu, 06 Mei 2018

FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 5




The Handsome freak
Chapter 5

Previous 1234

Title : Fanfiction Chapter
Genre : Romance, Comedy
Cast  : 
-Kim Taehyung (V) - BTS a.k.a. Kim Taehyung
-Jung Eunbi (Eunha) - Gfriend a.k.a Jung Eunha
-Kim Sejeong - Gugudan a.k.a. Kim Sejeong
-Jeon Jungkook - BTS a.k.a. Jeon Jungkook
-Cha Eunwoo - Astro a.k.a. Cha Eunwoo
-Jung Yerin - Gfriend a.k.a Jung Yerin
-Hwang Eunbi (SinB) - Gfriend a.k.a SinB
-Kim Jungwoo - NCT U a.k.a. Kim Jungwoo

And other cast.



***

Sejak pagi Sin B menunjukkan wajah merajuknya pada Sejeong, walaupun kemarin mereka sudah menyelesaikan kesalah pahaman yang terjadi, namun Sin B belum bisa sepenuhnya menerima ucapan maaf dari Sejeong.
Eunha yang berada diantara mereka terlihat bingung, mereka duduk membelakanginya. "Haaiisshh... Sampai kapan kalian berdua seperti ini hanya karena seorang namja?"
Keduanya tak menyahut, Sejeong memutar bola matanya terlihat jengah dan Sin B masih memanyunkan bibirnya.
Merasa tak ada respon Eunha bangkit dari duduknya.
Sejeong menyadarinya, "Kau mau kemana?"
"Perpus."
"Aku ik..."
"Tidak boleh, aku ingin sendirian. Jika aku kembali kalian belum juga berbaikan seperti ucapan kalian kemarin aku tidak akan bicara dengan kalian." ucap Eunha memotong dan berlalu pergi.
Sin B menghela nafasnya dan beranjak pergi ke kantin. Sejeong hanya melihat kedua sahabatnya itu pergi meninggalkan ia sendiri dikelas.

Eunha kesal dan menggerutu sendiri,  "Hanya karena namja bernama Jungkook itu mereka bertengkar. Haaahh aku tak habis pikir." 
"Kenapa denganku?" tanpa disadari Jungkook sudah berada dihadapan Eunha.
"Kyaa... Kau membuatku kaget!" seru histerisnya. "Sejak kapan kau ada disitu?" tanyanya pada Jungkook.
"Sejak tadi, kau saja tidak melihatku." jawabnya polos. Jungkook yang sejak tadi bersandar dipinggir jendela dengan sekotak jus jeruk ditangannya sendirian.
"Oh.. Mian. Aku tak tau."
"Tadi kenapa kau menyebut namaku?"
"Ahni. Kau mungkin salah dengar." Eunha beralasan.
"Ya.. Telingaku ini masih bagus tau. Ada apa? Apa ini ada hubungannya dengan Sejeong dan Sin B?"
Eunha membulatkan matanya, "Ah..."
"Ah.. Sudahlah bukan urusanku juga. Aku pergi dulu. Dah.." pamitnya berlalu.
"Hah?"

Eunha memasuki perpus dan mengamati beberapa judul buku disana, mengambil salah satu buku serta membacanya dipojok ruang baca. 
Namun sedetik kemudian ia teringat kejadian semalam, "Kim Taehyung." sebutnya lirih. "Ah.. Ahniyo! Saat ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Belajar belajar! Hwating! gumamnya.

***

Taehyung merapikan buku kedalam tasnya setelah mata kuliahnya selesai. 
"Ya. Taehyung-ah kau ada acara hari ini?" tanya teman sekelasnya yang bernama Lee Taeyong itu. Dia salah seorang namja populer dikampus.
"Hem ahniya. Wae?" jawabnya.
"Ah.. Para senior mengajak kita untuk minum bersama. Kau mau ikut?"
"Hem? Tidak aku harus membereskan rumahku. Hari ini jadwalku beres - beres rumah." jawabnya sambil beranjak pergi, namun bahunya ditahan oleh Taeyong.
"Taehyung-ah.. Tolonglah kali ini saja ikut. Irene sunbaenim yang memintamu untuk ikut. Aku sudah janji padanya."
"Ah... Sudah kuduga..." Taehyung terlihat malas namun akhirnya ia menerima ajakan Taeyong.

Tiba disebuah kafe, terdapat sekumpulan namja dan yeoja lebih tepatnya para senior Taehyung dan Taeyong.
"Ya Taeyong-ah. Kemarilah." panggil Kim Seok Jin, seniornya.
Taeyong dan Taehyung membungkuk dan menyapa mereka.
Irene yang melihat kedatangan Taehyung tersenyum simpul namun Taehyung tak menanggapinya.
"Oh.. Ada Taehyung juga?" tanya Seok Jin.
"Ne Jin Sunbaenim." 
"Ah panggil saja Hyung. Agar kita bisa lebih akrab, benarkan Irene-ah?"
"Ne." jawab Irene.
Selang beberapa menit obrolan diantara mereka tidak terlalu penting bagi Taehyung. Sesekali ia melihat jam, kemudian ia berbisik pada Taeyong.
"Permisi. Mianhaeyo saya tidak bisa berlama - lama karena masih ada urusan. Saya permisi, senang bisa berkumpul dengan para sunbaenim." ucap Taehyung membungkuk.
Jin dan teman lainnya mengiyakan, namun Irene dengan segera menahan Taehyung.
"Tunggu Taehyung-ssi. Bisa sekalian antarkan aku pulang, rasanya aku sedikit mabuk. Hehe" ucapnya dengan tubuhnya yang sedikit sempoyongan.
"Ah.. Bisakah kami meminta tolong padamu Taehyung?" pinta Jin.
Dengan terpaksa Taehyung membantunya, "Ne. Sunbaenim." ia merangkul Irene dan membawanya kedalam mobil Taehyung.
Dalam hatinya Taehyung menggerutu, 'Ah.. Sial kenapa lagi wanita ini!'
Irene saat ini telah berada didalam mobil Taehyung dengan kondisi mabuk dan sedikit tertidur.
Taehyung memasangkan sabuk pengaman mobilnya di tubuh Irene dan dirinya, segera ia melajukan mobilnya.

Beberapa menit kemudian, mobil Taehyung telah terparkir dipinggir jalan dekat rumah Irene. Dia menghela nafasnya, "Kenapa harus bertemu dengannya lagi?" ucapnya dengan tatapan datar kewajah Irene.
"Irene-ssi. Bangunlah kau sudah sampai rumahmu." ucapnya sambil menggoyangkan tubuh Irene.
Irene mengerjap - ngerjap kedua matanya, "Hn? Sudah sampai rumahku?"
"Ne."
"Gomawoyo Taehyung-ah. Ternyata kau masih ingat rumahku ya." ucapnya setengah sadar.
"Cepatlah turun. Aku harus pulang cepat." ucapnya dingin.
Raut wajah Irene berubah sedih, "Kau belum memaafkanku eh?"
"Tidak ada urusannya dengan hal itu. Sudahlah cepat." 
"Baiklah aku akan turun." Irene membuka pintu mobil Taehyung dan segera turun dari sana.
Dengan segera Taehyung melajukan mobilnya kembali tanpa pamit.
"Huh? Dia masih marah padaku ya? Imutnya.. Hehe.." gumam Irene tersenyum.

***

Taehyung membanting setir mobil ke pinggir jalan. Ia turun dengan rasa tak karuan didirinya, berkali - kali ia menghela nafasnya.
"Kh.. Yeoja itu benar - benar!" serunya. Sedetik kemudian ia melihat sekeliling, "Hem bukankah aku pernah kesini? Ah.. Ini wilayah rumah temannya Sejeong."
Taehyung melangkah kakinya, ia ingin berjalan - jalan sebentar dimalam hari. Sejenak ia melupakan tugas bersih - bersihnya dirumah dan membiarkan Sejeong mengumpulkan amarah untuknya. "Hahaa pasti dia akan sangat marah padaku.. Biarkan saja hihihi"
Sebuah taman bermain terlihat dari seberang, Taehyung mengembangkan senyumnya dan berlari kesana, "Woahh.. Taman bermain? Hehee.." 

Eunha berjalan sendirian menggunakan hodie besar yang hampir menutupi tubuh dan wajahnya. Udara malam hari ini sangat dingin, ia sebenarnya malas keluar malam - malam, karena ibunya yang menyuruhnya membelikan beberapa kaleng bir untuk sang ayah, mau tak mau Eunha menurutinya.
"Brbrrrr.. Dinginnya." ia mengepul - ngepulkan kedua tangan didepan wajahnya. Satu kantung yang berisi belanjaan bergelayut dilengannya. Sekilas ada bayangan seseorang mengusik saat melewati taman bermain didekat rumahnya, karena penasaran akhirnya ia memundurkan langkah untuk  memastikan siapa orang aneh yang bermain malam - malam seperti ini.
Eunha menyipitkan kedua matanya, walaupun ia sudah memakai kacamata agar terlihat lebih jelas. "Mwo itu kan kakaknya Sejeong. Kim Taehyung! Sedang apa dia disana?" kejutnya.
Taehyung yang tak menyadari ada orang lain yang melihatnya tetap asik menaiki tangga dan meluncur dipapan berliuk - liuk itu kemudian ia berlari kecil kearah ayunan, mendudukan dirinya dan mengayun - ngayun sendiri dengan kencang, "Wuhuuu.. Bahagianya... Hahaa" 
Eunha yang melihatnya merasa geli, "Ya memangnya dia sudah umur berapa? Kenapa senang sekali bermain disana hahaa.. Lucu sekali." 
Kekehnya.
Beberapa menit Eunha tak beranjak memperhatikan tingkah lucu dan aneh namja didepannya hingga Taehyung mulai kelelahan dan menyadari sesuatu, ia menoleh kearah tepat dimana Eunha berdiri.
"Hn?" keduanya bersamaan mengucap dan tertegun.
Taehyung yang terduduk dipermukaan pasir buru - buru berdiri dan membersihkan sisa pasir dicelananya serta tak lupa memberikan cengirannya pada Eunha.
Eunhapun demikian, karena merasa 'Ah.. Terciduk' ia hanya tersenyun gaje (?).

Lagi, Taehyung dan Eunha duduk bersampingan dibangku taman itu, keduanya terdiam dalam keheningan malam nan dingin hingga suara jangkrikpun terdengar.
"Wah.. Jangkriknya sedang bicara apa ya ramai sekali hehe.." Taehyung membuka suara.
Eunha mengiyakan, "Eh? Jangkrik?" sadarnya.
"Kau tak dengar suaranya? Hem?"
Eunha terdiam, "Ah.. Benar juga.. Suara mereka lebih keras daripada suara dalam hati ini ya.. Hahaa.." ucapnya mencoba membuat lelucon.
"Haha.." tawa Taehyung garing. "Haa.. Pasti aneh sekali kan melihat namja sepertiku bermain seperti anak - anak? Kau pasti sangat terkejut bukan?" jelasnya tiba - tiba.
"Hem? Ahni.. Ahniya.. Tidak apa - apa kok. Aku juga sering kok.. Hehe." bohongnya.
"Benarkah?" wajah Taehyung berubah sumringah.
Eunha tersenyum didepannya, "Tentu saja tidak. Hehe.."
Taehyung kembali muram.
"Haha.. Ah.. Mianhaeyo Taehyung-ssi." Eunha meminta maaf.
"Gwaenchana.." kemudian Taehyung melirik sebuah kantung disamping Eunha, "Kau habis dari minimarket?"
"Hem? Ah ya. Ibuku menyuruhku membeli bir untuk ayah."
"Ah.. Kalau begitu kenapa kau tidak buru - buru pulang. Mau kuantar?"
"Ahni.. Biarkan saja."
"Eh?"
Eunha menekuk wajahnya dan menunduk dalam.
Taehyung memperhatikan perubahan ekspresi yeoja disampingny itu, tanpa ia sadari telapak tangannya mendarat pelan dipucuk kepala Eunha dan hal itu sukses membuat Eunha kaget.
Eunha menoleh kearah Taehyung, "Taehyung-ssi.." lirihnya dengan wajah sendu.
Taehyung tersenyum, "Kau ada masalah? Aku juga dulu pernah mengalaminya dengan orang tuaku. Jangan bersedih semua pasti akan berlalu. Pikirkanlah sesuatu yang membuatmu senang agar kau tidak stres." bijaknya.
Eunha mengharapkan kata - kata itu keluar dari mulut kakaknya sendiri, Jung Yerin. Tak bisa menahan emosi dihatinya, tak sengaja ia menumpahkan air matanya didepan Taehyung. Eunha menangis sejadi - jadinya, ia mengeluarkan rasa sedih yang ia pendam sejak lama, kepura - puraan atas sikap tegar karena diskriminasi orang tua terhadapnya serta sikap acuh dari kakak satu - satunya.
Taehyung menarik pelan, menyandarkan wajah Eunha didadanya. Mencoba menepuk pelan bahu gadis yang seumuran adiknya itu, "Sabarlah.."
"Hiks.. Andai.. Andai.. Hiks hiks..." ucap Eunha terbata dalam isak tangisannya.
"Ssttt.. Jangan bicara, luapkanlah.. Agar kau bisa merasa lega."
Eunha semakin keras menangis didada Taehyung hingga membuat coatnya basah.
Karena tak ingin mengganggu masyarakat sekitar dengan suara tangis Eunha yang makin lama makin keras, akhirnya Taehyung menekan tubuh Eunha untuk lebih dekat dengan dirinya, ya Taehyung mendengkap tubuh Eunha.

Beberapa menit kemudian, Taehyung sampai didepan rumah Eunha.
"Khamsahamida, Taehyung-ssi." ucap Eunha membungkuk.
"Hem. Ah.. Panggil saja Taehyung Oppa." 
"Nde?"
"Sama seperti Sejeong, kau boleh memanggilku Oppa."
Eunha merasa tersipu, "Eh? Ne.. Ne.. Op..Oppa.." ucapnya terbata - bata.
Taehyung tertegun melihat rona merah diwajah Eunha, 'Yeppo' ucapnya dalam hati, sedetik kemudian ia mengusir - ngusir pikirannya itu. "Ah.. Masuklah sudah malam."
"Ne. Hati hati dijalan Taehyung-ssi.. Eh.. Oppa.." ucapnya berakhir lirih.
Taehyung tersenyum dan mengangguk. 
"Aku masuk kedalam ya." ijin Eunha.
"Ah.. Tunggu!"
Eunha berhenti dan menoleh, "Nde?"
Taehyung menunjukkan bulatan besar nan lembab dikemeja dan coat yang dipakainya, "Ighe."
"Ah.. Mianhaeyo.. Membuat bajumu basah karena tangisanku tadi."
"Haha.. Gwaenchana.. Hem.. Sebagai gantinya bagaimana kalau kau merahasiakan kejadian aku bermain ditaman tadi hem?"
"Hn? Dari Sejeong?"
"Ne.. Dan lainnya."
"Ah.. Oke."
"Janji?" Taehyung mengacungkan jari kelingkin dihadapan Eunha.
"Ne. Janji." Eunha menyambutnya dengan mengaitkan kelingkingnya dikeliking Taehyung.

***

Keesokan harinya, disekolah Eunwoo dan Jaehyun.
Jaehyun mendatangi Eunwoo dikelasnya, "Eunwoo-ya bisa kita bicara?" pintanya.
"Oke."
Jaehyun berdiri menghadap Eunwoo yang bersandar didinding luar kelasnya.
"Jaehyun-ya.. Sebenarnya apa yang kau ingin bicarakan? Kau hanya diam berdiri selama beberapa menit." protes Eunwoo.
"Ah.. Mianhae. Eunwoo-ya.. Bagaimana cara mendekati gadis secara natural." bisiknya.
Alis mata Eunwoo naik bersamaan, "Hee... Kau sedang menyukai seseorang ya?" godanya.
"Yak! Jangan berisik." Jaehyun merangkul bahu Eunwoo.
"Hehe.."
"Apa kau punya saran?"
"Hm? Coba aku pikirkan?" Eunwoo mulai berpikir dengan tatapan Jaehyun yang harap - harap cemas. Eunwoo menjentikkan jarinya.
"Bagaimana?"
"Tidak ada haha.." polosnya.
"Kh!" Jaehyun memukul kepala Eunwoo dan pergi meninggalkan Eunwoo yang tengah meringis kesakitan, "Dasar namja aneh!" serunya.
"Akkhh.. Yakk Jaehyun-ah.. Tega sekali kau...." ucap Eunwoo penuh drama.


Sekolah Jung Yerin,
Yerin tengah membaca lembaran demi lembaran buku dimejanya.
"Kau Jung Yerin!" seorang gadis berdiri bertulak pinggang berdiri disamping Yerin
"Ne." dinginnya tanpa mempedulikan kehadiran gadis itu.
Hampir setengah isi kelas berbisik, 
"Wah ada apa?"
"Entahlah."
"Apa Yerin terlibat masalah dengan mereka?"
"Aku tak tau." ucap mereka.
'BRAK!' gadis itu mengebrak meja Yerin hingga buku diatasnya jatuh, "Kau berani mengacuhkanku hah!" serunya melotot pada Yerin.
Yerin melirik tajam kearahnya sebelum ia mengambil bukunya yang jatuh.
"Ck. Anak ini.," gerutunya, gadis berambut panjang lurus dan berponi itu akhirnya menghela nafasnya panjang. "Yerin-ah... Kenapa kau acuh sekali sih... Aaahhhh.." ucapnya sembari merangkul Yerin dari samping dan menempelkan pipinya di pipi Yerin.
Yerin menatap malas dan seisi kelaspun terkejut melihatnya.

Taman belakang sekolah,
Yerin memberikan minuman kaleng pada Yuju, gadis tadi. Yuju masih mengerucutkan bibirnya setelah meminta teman - temannya kembali ke kelas.
"Bibirmu nanti akan membeku jika kau terus begitu." ucap Yerin datar.
"Haahh.." keluhnya kemudian menegak minumannya, "Kau masih saja tidak berubah, kepribadianmu itu sangat mengerikan.." 
"Lebih mengerikan mana dengan sikapmu?"
Yuju tertegun, "Ah.. Hahahaha..."
"Mau sampai kapan kau berlagak seperti seorang penguasa disekolah?"
Yuju terdiam.
Yerin melirik kearahnya, "Kau belum bisa menghilangkan traumamu waktu SD?"
"Kau tidak akan tau rasanya di bully kan?"
"Kau sendiri sekarang apa? Bukankah kau membully anak - anak lemah disekolah. Makanya aku tidak mau dekat - dekat denganmu."
Yerin cemberut, "Apa gosipnya menyebar seperti itu?"
Yerin mengangguk - angguk.
Yuju lagi - lagi menghela nafasnya, "Bukan. Bukan seperti itu. Aku dan teman - temanku tidak melakukan bullying. Kami hanya tidak ingin menjadi bahan bullyan, maka kami memutuskan bertindak kasar dan sedikit keras. Tapi bukan berarti kami suka hal yang seperti itu." jelasnya.
"Baiklah. Tepati omonganmu itu."
Yuju mengangguk, "Bagaimana denganmu?"
"Apanya?"
"Dulu waktu SD kau kan selalu ceria, semenjak masuk SMP kau seperti orang lain, dingin sekali."
Yerin menundukkan pandangannya dan terdiam.
Melihat itu Yuju merangkul Yerin, "Hey walaupun kau berubah jadi es pun aku tetap menganggapmu teman baikku kok. Hahaa" 
"Cih. Memangnya aku mau?" goda Yerin tanpa ekspresi.
"Mwo?"
Yerin menyunggingkan senyumnya.

***

Jungwoo duduk tepat didepan Eunha, sembari memperhatikan Eunha mengerjakan soal - soal dibuku latihan.
Eunha melirik, "Ada apa?" tanyanya.
"Hem..." Jungwoo tengah berpikir.
"Kau tidak ke meja Sin B?"
Kemudian ia menoleh ketempat yang dimaksud, ada aura tak boleh diganggu disana, "Ahni, nanti aku bisa sekarat kalau dekat - dekat, auranya menyeramkan."
Eunha terkekeh. "Kau ini ada - ada saja."
"Hey, memangnya bagaimana rasanya sih menjadi seorang gadis yang menyukai seseorang?"
Eunha tertegun, "Eh kenapa kau tanya itu padaku, mana kutahu?" elaknya.
Jungwoo mengerucutkan bibirnya, "Memangnya susah ya tinggal bilang suka saja. Kenapa harus diam saja menyiksa diri."
"Mwo?"
"Coba lihat dia." tunjuknya pada Sin B yang menangkup pipi dengan telapak tangannya dan menatap kosong. "Dia seperti mayat hidup kan? Biasanya kan dia tidak bisa diam. Padahal aku sudah bantu memberitahu perasaannya pada Jungkook, kenapa dia jadi begitu?"
Eunha melihat kearah Sin B, "Entahlah.. Tapi Jungkook juga tidak memberi respon walaupun sebenarnya dia tau kalau Sin B suka padanya."
Jungwoo mengangguk - angguk. "Ah.. Sayang sekali ya.."
"Ngomong - ngomong kenapa kau jadi peduli padanya?"
"Eh?"
Eunha tersenyum nakal, "Hee... Jangan - jangan kau suka pada Sin b ya?" godanya.
Jungwoo membulatkan kedua matanya, "Mwo? Mana mungkin begitu!" elaknya.
"Hem.. Kenapa reaksimu berlebihan begitu. Kalau tidak suka ya sudah, biarkan mereka memutuskannya sendiri."
"Memangnya kau tidak peduli melihat temanmu seperti itu?"
"Bukannya aku tidak peduli, aku tidak ingin memaksa siapa menyukai siapa. Jika memang orang yang disukai Sin B adalah Jungkook, tidak apa. Biarkan dia suka sampai bosan. Aku hanya perlu mendukung keputusan mereka."
Jungwoo terdiam, "Eunha-ya apa kau tidak pernah menyukai seseorang?"
"Eh?"
"Padahal aku suka padamu loh." 
Eunha terkejut dan pipinya tiba - tiba merona. "Bicara apa kau?" ucapnya terbata.
"Terutama suka pada otakmu dan sikap baikmu loh, karena kau cerdas jadi aku bisa mencontek tugas setiap hari padamu." jawabnya menjentiknya kedua jarinya didepan Eunha.
Eunha menyipitkan kedua matanya dan memukul kepala Jungwoo dengan buku dimejanya. 'Buk'. "Sekali lagi menggodaku seperti itu, kupastikan kau tidak akan melihat indahnya dunia." dan Eunha berlalu pergi meninggalkan kelas.
Jungwoo meringis mengelus - elus pucuk kepalanya, "Wah dia tertular oleh Sejeong dan Sin B. Menyeramkan... Hi...."

***


Tbc


FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 6

The Handsome freak Chapter 6 Previous  1 ,  2 ,  3 ,  4 ,  5 Title : Fanfiction Chapter Genre : Romance, Comedy Ca...