Rabu, 27 Juni 2018

CERBUNG : REVERSE Chapter 10.2


REVERSE



Genre : Schoolife, Drama, Fantasy
Chapter 10.2

Prev Prolog123456789.19.29.310.1


***


Saat pendaftaran SMA, aku memilih untuk sekolah disekolah swasta. Aku berpisah lagi dengan kakak kembarku yang memilih sekolah negeri. Aku dan Lyan sepakat untuk mendaftar disekolah yang sama.
Aku menyelusuri lembaran kertas besar di papan pengumuman yang berada dekat ruang aula sekolah, "Hem? Mana ya? Aku dikelas mana sih? Ah itu dia! Aku dikelas...." mataku membelakak melihat namaku tertulis disana, "Hah? Kelas C? Benarkah? Benarkah?" tanyaku tak percaya.
Disekolah ini terkenal dengan siswanya yang cerdas, mereka terbagi dalam 6 kelas saja. Pembagian kelas untuk semua siswa berdasarkan nilai akademis masing - masing. 'Sudah pasti aku ini pintar kan? Buktinya aku dikelas C. Walaupun namaku diurutan 29 dari 30 siswa per kelas.' ucapku dalam hati dengan sedikit bangga.
"Sari." Lyan menepuk bahuku.
Aku menoleh kearahnya.
"Kau dikelas mana?" tanyanya dan seseorang berdiri dibelakangnyapun menunggu jawabanku.
"C." aku senyum - senyum.
"Woah kita sekelas." Lyan menangkup kedua tanganku senang.
Aku terkejut.
"Hey jangan lupakan aku. Aku juga sekelas denganmu." ucap Eka.
Lyan menyipitkan matanya, "Jangan mengarang! Kau ini mau meledekku ya?."
"Hahaha.. Kau sensitif sekali sih. Haha.." tawa Eka terbahak.
Lyan memutar bola matanya kesal.
Aku tersenyum melihat keakraban dua orang ini, "Kalian akrab sekali ya?"
"Iya." jawab Eka percaya diri.
"Tidak." telak Lyan bersamaan.
"Eh?"
"Dia ini salah satu rivalku, mana mungkin aku akrab dengannya. Asal kau tau saja ya Sari!" Lyan menegaskan dengan sorot matanya yang tajam.
"Hahaha... Sudah kubilang nilaimu tidak akan pernah lebih tinggi dariku."
Lyan mengeluh panjang.
"Hn? Sari?" suara yang terdengar familiar ditelingaku membuat kami bertiga spontan menoleh kearahnya. Dia tersenyum padaku. "Benar itu kau."
"Eh Oki? Sekolah disini juga? Aku kira kau sekolah di sekolah negeri." jawabku.
"Ah.. Aku memang ingin mendaftar disekolah swasta kok." jawabnya. "Hem kau dikelas mana?"
"Aku dikelas C."
"Berarti kelas kita berdekatan." 
"Kau dimana?"
"Kelas A."
"Eh kelas A?" Lyan sontak berteriak membuat kami bertiga terkejut, ia berbalik dan masuk dalam kerumunan siswa entah apa yang ia cari disana.
"Temanmu kenapa?" tanya Oki aneh.
"Ah.. Dia..." 
"Dia pasti mencari namamu di papan pengumuman sana." celetuk Eka.
"Eh?" dan benar Lyan kembali dengan wajah muramnya. "Kau kenapa?" tanyaku khawatir.
"Kau ini benar - benar..." ucap Lyan ketika ia berhadapan dengan Oki, Oki sontak memundurkan wajahnya. "Kenapa namamu terpampang nomor satu sih.. Arggghh...aku tak bisa menerima ini... Arrgghhh.." Lyan menjambak ujung rambutnya kemudian berlalu dengan langkah lunglai menjauh dari kami, sementara itu Eka mengikutinya dari belakang sambil tertawa terbahak - bahak.
"Kau kalah telak ya.. Hahaha.." ejeknya.
"Diamlah.. Aku sedang tidak mood bertengkar denganmu!" 
Aku dan Oki saling berpandangan dan sedetik kemudian kami tertawa.

Entah angin dari mana? Aku dan dia semakin lama semakin akrab. Kemanapun aku pergi, Oki pasti ada disana. Sengaja ataupun tidak kehadirannya kini menjadi suatu kebutuhan bagiku.
"Jadi kau ikut ekskul PMR?" tanya Oki sembari menyeruput minuman kotaknya.
Aku mengangguk, mencoba mengunyah cepat roti yang ku makan. "Kalau kau?"
"Ah aku tidak berniat ikut ekskul apapun." 
"Hah? Kupikir kau akan ikut klub basket lagi seperti waktu SMP."
Oki menundukkan wajahnya dan tersenyum miris, "Tidak." ia menegakkan wajahnya kembali, "Aku hanya ingin fokus belajar saja."
Aku melihat keseriusan didirinya, 'Apa dia benar - benar sudah melupakan Gusti? Atau.... Ah bukan urusanku juga sih.' aku terdiam dan melanjutkan kegiatan makanku tadi tanpa mengatakan apapun dari jawabannya.

Beberapa minggu kemudian, Oki mengirimku pesan untuk bertemu sepulang sekolah di toko buku.
Aku mempercepat langkahku, memasuki toko buku yang dikatakan Oki, menelaah satu per satu lorong kecil disana, "Ah itu dia." aku menghampirinya. "Maaf ya lama datang. Tadi ada rapat sebentar."
Dia tersenyum, "Kau jadi sibuk ya. Maaf kalau aku menganggu kegiatanmu." ucapnya sembari mengembalikan buku yang dipegangnya.
"Ah tidak apa kok. Hehe. Ada apa?"
"Kau sudah makan?"
Aku menggeleng.
Dia berjalan mendahuluiku, "Ayo kita cari tempat makan dulu. Aku jadi lapar setelah menunggumu." 
"Eh?"
Ditempat makan fast food,
"Hey, kau makan banyak juga ya?" aku tertegun melihatnya memakan 3 bungkus burger besar dengan waktu yang cepat.
Dia tertawa kecil, "Kaget ya?"
"Hah?" dia tertawa pula.
"Dari kemarin malam aku tidak makan, jadi siang ini aku menjadi sangat lapar." jawabnya polos.
"Eh kenapa kau tidak makan?"
"Tidak ada makanan dirumah dan aku malas beli makanan diluar. Lagipula aku sedang membaca buku ini, kalau aku sudah membaca kadang lupa waktu. Haha." ia menunjukkan buku tebal miliknya yang tergeletak manis diatas meja.
'Buku pintar pratikum kimia?' aku membacanya, 'Ah.. Anak ini berbeda dunia denganku ya? Baru kelas satu saja bacaan bukunya sudah berat begitu.' aku meringis.
Oki yang melihat reaksiku memiringkan wajahnya, "Kau kenapa? Makanannya tidak enak?"
Aku terkesiap, "Tidak. Ini enak kok. Nih aku makan." aku melahap cheese burger didepanku.
Dia terkekeh geli, "Ngomong - ngomong kau tau tidak? Kalau aku terpilih menjadi ketua kelas."
"Wah selamat. Berarti teman - teman dikelasmu mempercayakanmu." jawabku memberi acungan jempol.
"Ah tidak begitu. Walikelas yang memilihku."
Aku tertegun, "Begitu ya?"
"Iya. Apa tidak apa ya kalau aku jadi ke tua kelas. Aku tidak punya pengalaman apa - apa dalam memimpin sesuatu."
"Hal seperti itu tidak perlu pengalaman kok. Kau hanya perlu melakukan tugas ketua kelas saja. Ya mungkin begitu. Hehe." aku ini bicara apa sih? Sok tau sekali. Aku memukul kepalaku sendiri.
"Kenapa kau memukul kepalamu?" aku tertangkap basah melakukan hal aneh.
"Ah tidak kok. Hehe.." aku mengelak.
Lagi - lagi dia terkekeh melihatku dan tanpa sadar akupun ikut tersenyum melihatnya.

***

"Minggu depan aku akan ikut lomba antar sekolah diluar kota dan memakan waktu sekitar 5 hari disana." ucap Oki.
"Kau terpilih ya mewakili sekolah?" tanyaku.
"Ya. Bersama siswa kelas 2 yang lain."
"Semoga menang ya. Kau kan pintar."
"Haha.. Tapi disana pasti aku akan bosan."
"Kenapa bosan?"
"Kami menginap disana, karena kegiatan lombanya bukan hanya cerdas cermat saja, kami juga harus melakukan penelitian, uji coba dan segala macam praktek kimia."
"Wah.. Begitu ya.. Pasti berat ya."
Oki tersenyum mengiyakan, "Tidak apa kok."
"Kalau begitu, jika kau merasa bosan. Hubungi aku atau kirim pesan. Nanti aku akan siap siaga untuk menghiburmu." aku berapi - api menyemangatinya.
"Haha.. Terima kasih. Kau semangat sekali."
"Heheehe.. Ya harus semangat! Biar kau juga semangat mengikuti kegiatan lombamu. Oke!" 
"Oke!" dia mengempalkan satu tengannya mengikuti dan kami tertawa.
.
Aku lesu setelah keluar dari ruang PMR, "Kenapa harus aku yang mewakili kelas 1?" langkahku lunglai setelah mendengar keputusan dari ketua PMR bahwa aku dan siswa kelas 2 lainnya harus mengikuti kegiatan bakti sosial selama 5 hari disebuah desa. Bukan karena aku tidak suka melakukannya, tapi kenapa harus bersamaan dengan jadwal perlombaannya. Aku menghela nafas panjang, "Sudahlah Sari... Ini sudah suratan takdir."

Lyan tidak masuk sejak 2 hari lalu, aku menatap bangku kosong disebelahku. Biasanya dia cerewet sekali, tapi belakangan ini aku merasa aneh dengannya. Dia sering terdiam dan terlihat melamun, bahkan candaan Ekapun ia acuhkan. Aku mengernyitkan dahi ketika melihat Eka diluar kelasnya terdiam menatap kedepan tanpa ekspresi, 'Anak itu kenapa? Apa karena Lyan tidak masuk?'.
Aku menggelengkan kepalaku, "Ah.. Mikirin apa sih? Besok kan aku juga tidak masuk sekolah karena ijin ikut kegiatan baksos."
"Sari?" panggil salah satu teman disampingku.
"Ya." jawabku.
"Apa kau sudah punya kelompok untuk tugas fisika?"
"Eh? Iya ya kemarin pak guru meminta kita membuat makalah ya?" aku hampir lupa tugas itu.
"Kau mau masuk kelompok kami? Kami kurang satu orang."
"Oh oke. Tapi 5 hari kedepan aku tidak bisa belajar bersama. Aku ada kegiatan baksos bersama anggota PMR yang lain."
"Tidak apa. Kau bisa menyusulnya nanti. Aku akan membagikan tugasnya secara adil."
"Baiklah." aku merasa ada yang mengganjal seperti melupakan sesuatu hingga bel berbunyi membuyarkan lamunanku.

***

Selama waktu perlombaan antar sekolah itu berlangsung dan kegiatan baksosku berjalan bersamaan. Setiap malam aku dan Oki saling mengirim pesan, aku berusaha menghiburnya dan menyemangatinya.
Dia pun demikian, aku merasa duniaku saat ini sangat berwarna. Terkadang akupun tanpa sadar tersenyum - senyum sendiri, bahkan Sara kakak kembarkupun bergidik ngeri saat melihat tingkah konyolku.
Aku menuruni tangga rumahku menuju dapur untuk makan bersama.
"Lama sekali sih? Aku sudah lapar tau." celetuk Sara.
"Iya iya maaf, aku kan baru saja selesai mandi. Lelah sekali hari ini.. Huffttt.." jawabku sembari menggeser kursi makan dan duduk disana.
"Bagaimana kegiatan baksosmu?" tanya Ibu yang sedang menyendoki nasi kedalam piring kakakku.
"Ya.. Lumayan melelahkan Bu." aku yang setengah mengantuk karena lelah itu mengambil sepotong paha ayam dimeja.
"Makan yang banyak, kau kan sekarang petugas penyelamat. Jadi harus kuat jangan lemah." Ibuku memberikan nasi yang banyak dipiringku.
"Ibu ini terlalu banyak." protesku.
Sara tanpa peduli terus mengunyah makanannya.
"Sudah jangan protes. Habiskan oke!" seru Ibuku.
"Ah.. Baiklah."
"Owhh.. Iya.. Tadi temanmu ada yang telepon mencarimu." ucap Ibu teringat.
"Hem? Siapa?"
"Lyan kalau tidak salah."
Aku tersedak dan dengan segera ibu mengambil segelas air minum untukku. Aku menegaknya perlahan hingga bisa bernafas lega kembali.
"Pelan - pelan makannya. Aduuhh."
'Ah.. Lyan! Aku lupa dengannya!' seruku dalam hati.

Berkali - kali menghubungi ponselnya tidak dapat tersambung. "Aduh kenapa tidak bisa terhubung sih? Dia pergi kemana sih? Telepon kerumahnya juga tidak diangkat sekarang ponselnya pun tidak bisa." gerutuku. Aku terduduk didepan meja belajarku. Setelah mendapat pesan singkat dari teman satu kelompokku agar aku dapat menyelesaikan bagian tugasku besok lusa, tanpa pikir panjang aku mengabaikan lagi sahabatku itu.

Hari pertama di awal minggu, aku merasa sangat bersalah padanya. Ya, Lyan di marahi oleh Pak Cakra diruang guru. Ini semua gara - gara aku tidak memberitahunya bahwa ada tugas fisika. Lyan tidak masuk seminggu karena ada acara keluarga ayahnya ditempat kelahirannya, karena susah sinyal jadi Lyan tidak bisa menghubungi siapapun bahkan hanya untuk meminta ijin tidak masuk.
"Maaf ya." pintaku saat ia terduduk lesu dibangkunya.
"Tidak apa kok. Aku yang salah. Sudahlah kau tidak usah merasa bersalah seperti itu. Lagipula kan kau sudah berusaha memberitahuku kemarin, jadi dengan cepat aku membuat makalahnya."
"Tapi kan makalahmu ditolak."
"Itu karena aku asal saja membuatnya, jadi Pak Cakra memintaku mengulang kembali. Tidak apa kok, kau tidak usah khawatir."
Aku menatapnya diam namun dia tersenyum padaku.

***

"Jadi kau bersedih karena merasa bersalah padanya?" tanya Oki yang saat ini duduk bersamaku ditaman belakang sekolah.
Aku menatap langit biru cerah itu, "Iya. Padahal aku tau kalau dia tidak masuk sekolah dan ada tugas kelompok, kenapa aku tidak meminta mereka menyantumkan namanya. Bahkan aku hampir lupa memberitahunya."
"Tapi sekarang dia sedang dibantu Dimas kan?"
"Eh? Dimas siapa?"
"Dia wakil ketua dikelasku. Dia ditugaskan oleh Pak Cakra untuk membantu temanmu. Aku dengar sedikit dari pembicaraan mereka waktu itu."
"Mereka?"
"Iya, Dimas dan Andika. Mereka kan dekat."
"Oh.. Andika." dia salah satu kenalanku waktu aku bertugas sebagai petugas kesehatan setiap upacara.
"Tapi aku agak khawatir sih."
"Kenapa?"
"Kudengar Dimas itu anaknya agak dingin dan acuh, walaupun dia pintar sih."
"Hn? Apa kepribadiannya buruk?"
"Tidak juga, mungkin dia bersikap dingin karena dia populer dikalangan murid perempuan. Orangnya tampan juga, hehe." Oki tertawa kecil membuat perutku terasa ada yang menggelitik.
"Kau juga tampan kok." celetukku dengan menatapnya berbinar, "Eh?" aku mengatup mulutku segera karena sadar akan ucapanku tadi.
"Kau tadi bilang apa?" Oki menegaskan.
"Tidak kok. Tidak ada.. Hahaa." 
Oki terdiam menatapku dan itu sedikit membuatku salah tingkah.
"Kenapa? Ada yang aneh dengan wajahku?" aku menepuk - nepuk pipiku.
"Tidak." ia tersenyum lagi, "Sari apa ada orang yang kau sukai?" tanyanya tiba - tiba membuatku terkejut.
Aku terdiam sesaat, "Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Ada ya?" terkanya.
"Eh... Bagaimana ya?" aku menggaruk tengkuk kepalaku.
"Aku rasa... Aku menyukaimu Sari. Kau mau jadi pacarku?" 
Aku tertegun dan tak percaya dengan ucapan Oki barusan. Melihat wajahnya yang serius saat ini dan tatapannya yang hangat berbeda dari biasanya, "Apa kau tidak salah bicara?"
Oki menggeleng, "Aku tidak mau menyesal untuk kedua kalinya. Aku belajar dari Gusti tentang meraih semua keinginanku walau tak banyak orang yang mendukungku. Dan akupun belajar darimu tentang bagaimana bangkit dari keterpurukan karena kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku." dia meraih kedua tanganku dan digenggamnya erat, "Sari, maukah kau jadi pacarku?"
Tenggorokanku tercekat dan perutku seperti banyak kupu - kupu berterbangan, geli sangat geli. Aku tak percaya ini, "Ah... Aku..."
"Hem? Apa kau sudah ada orang yang disukai ya?"
Aku mengangguk.
"Ah... Maaf kalau be..."
"Orang itu kau Oki." ucapku.
"Eh? Sejak kapan?"
"Kurasa sejak aku pertama berkenalan denganmu." 
Oki tersenyum lebar menatapku, "Jadi kau menerimaku?"
"Tentu saja."
"Terima kasih."
"Ya." aku merasa bahagia.

Aku kembali ke kelas dengan bersenandung kecil, 'Duniaku cerah, duniaku cerah hahahaa...' teriakku dalam hati. Aku menghentikan langkahku ketika kelasku dikerumuni banyak siswa. Aku menerobos masuk, "Ada apa sih?" sontak aku membulatkan mataku dan tanpa basa basi aku menghampiri mereka.
"Hey apa yang kalian lakukan padanya!" seruku menarik lengan Lyan dari cengkraman mereka. Sekelompok murid perempuan dari kelas lain menumpahkan  minuman bersoda ke atas tas milik Lyan. Saat itu Lyan mencoba mengambil tasnya, namun dihadang oleh salah satu dari mereka.
"Kau ini siapa hah?"
"Kalian yang siapa? Kok melakukan hal seperti itu pada orang lain. Cepat minta maaf pada temanku!" omelku.
"Wah beraninya kau memintaku untuk minta maaf padanya?" seorang siswi berambut lurus itu berjalan mendekatiku, "Heh dengar ya. Bilang pada teman cupumu itu, kalau tidak mau berurusan dengan kami jangan jadi sok pahlawan. Jika tidak akibatnya akan lebih dari ini." ancamnya.
Aku mengernyitkan dahiku, "Apa maksudmu?"
"Sari sudahlah tak usah menanggapi mereka." Lyan menepuk bahuku pelan, "Kau pikir aku akan tunduk padamu karena kau mengerjaiku? Kerjai saja aku sampai kau puas." ucap Lyan.
"Hahaha... Berani benar anak ini." cibirnya.
Bel sekolah berbunyi menandakan semua siswa harus kembali kekelas.
"Kau beruntung hari ini, lain kali kau akan dapat lebih dari ini." ancamnya lagi, "Ayo teman - teman kita kembali." ajaknya pada teman sekelompoknya. Sejenak kemudian ia berhenti dan melihat kesemua isi kelas, "Jika ada yang membantunya seperti anak itu, aku tak akan segan membuat kalian bernasib sama dengannya. Hahaa.. Ayo." ucapnya sambil berlalu pergi.
Riuh ramai siswa dikelas karena kejadian itu, aku membantu Lyan membereskan buku - bukunya yang sebagian basah. "Kau tak apa? Siapa mereka? Ceritakan padaku." pintaku.
"Aku baik - baik saja." jawabnya tanpa memandangku.
Aku menatap sendu sahabatku ini, pantaskah aku bahagia disaat dirinya mendapat kesusahan seperti ini.

***

Oki mengirimku pesan bahwa dia akan mentraktirku makan es krim seusai pulang sekolah. Aku mengembangkan senyum lebarku dan kujawab 'Oke.'
Tapi,....
Aku berjalan lunglai kearahnya, terlihat dia mengernyitkan dahinya.
"Kau kenapa?"
"Maaf Oki, hari ini tidak bisa. Aku lupa memberitahumu, hari ini aku ada latihan unit seminggu sekali. Dan jadwalnya hari ini. Aku minta maaf..." Sesalku.
Dia terkekeh, "Oke kalau gitu lain kali saja ya."
"Eh memangnya besok kau ada acara?"
"Aku ada les. Kebetulan aku mengambil les bahasa asing."
"Otakmu terbuat dari apa sih? Memangnya tidak pusing ya belajar terus."
"Haha tidak kok. Salah satu hobiku ya belajar, bukankah belajar itu bagus ya?"
"Ya sih."
Dia mengusap - ngusap kepalaku lembut dan tersenyum manis, "Aku janji lain kali akan mentraktirmu makan es krim. Oke?"
Aku terkesiap melihat senyumannya, aku mengangguk.
"Ya sudah ayo kembali ke kelas."
"Oke."

Senyuman diwajahku memudar ketika melihat Eka yang berjongkok dihadapan Lyan. Dengan cepat aku menghampiri mereka.
"Lyan ada apa? Hah kau terluka?" ada luka lecet di lututnya.
"Tidak apa kok. Ini hanya luka kecil."
"Ayo ikut aku ke UKS, akan aku obati disana." tawarku.
Eka berdiri, "Percuma, tadi aku sudah menawarinya begitu, tapi dia tidak mau."
"Ini cuma lecet sedikit. Tidak apa kok Sari."
"Kau didorong oleh mereka, kenapa kau tidak melawan sih." kata Eka melipat kedua tangan didepan dadanya.
Lyan menoleh kearahnya dan menatap Eka seakan ada hal yang tidak boleh aku tau.
"Didorong?" tanyaku. Aku memegang kedua bahu Lyan, "Sebenarnya ada apa? Katakan padaku."
Lyan menatapku dan disampingnya Eka masih menunggunya untuk membuka suara.

"Apa? Jadi karena itu mereka...." teriakku saat kami bertiga berada ditempat yang cukup sepi disekolah.
"Sudah. Tenanglah." Lyan menahan bahuku.
"Kau sudah melaporkannya ke guru BK?" tanyaku.
Lyan mengangguk, "Sudah dan mereka mendapatkan skorsing."
"Terus kenapa mereka jadi melakukan itu padamu? Kau menjadi korban bullying sekarang." aku sangat kesal mendengarnya.
"Aku hanya perlu melawan mereka dan bertahan saja." jawab Lyan.
"Ha.. Tapi tadi kau tidak malawan." sela Eka.
"Tadi aku lengah tau, kau tidak lihat dari awal sih." Lyan mencoba membela diri.
Aku menghela nafasku, "Mereka dari kelas berapa sih?"
"Kelas A." jawab Lyan.
"Hah?! Ada ya orang seperti mereka dikelas anak - anak pintar disana. Perilaku mereka bahkan tidak seimbang dengan nilai akademis mereka." ocehku.
"Kau tak tau apa - apa Sari." ucap Eka.
"Apa maksudmu?"
"Memang disekolah ini kelas terbagi berdasarkan nilai akademis, tapi beberapa diantara mereka menaruh sebagian bangku kosong untuk yang punya kuasa." jawab Eka.
"Aku dengar juga karena mereka dari keluarga kaya." susul Lyan.
Aku mengepalkan salah satu tanganku, kesal sudah pasti. Bagaimana bisa kehidupan nyata sama dengan skenario sinetron dilayar kaca.

***

Oki memerhatikanku sembari memgunyah makanannya, "Sari, oi Sari." ia melambaikan tangannya didepan wajahku.
Aku tersadar dari lamunanku, "Eh iya ada apa?"
"Kau melamun. Memikirkan apa?" tanyanya dengan mulut penuh makanan.
'Uhh gemasnya.' gumamku kagum, "Eh?! Aku melamun?"
Oki mengangguk, "Dari tadi kau diam saja dengan tatapan kosong."
"Oh. Tidak, aku tidak memikirkan apa - apa kok. Hanya saja aku kasihan dengan sahabatku Lyan."
"Hn? Memangnya ada apa dengannya?" sembari menyeruput minuman dan mengelap mulutnya dengan tisu, ia menaruh kedua tangan dimeja dan dengan seksama menunggu mendengar jawabanku.
"Dia, mengalami kejadian yang tidak enak belakangan ini. Sejak ia menolong orang lain dari sekelompok orang - orang yang suka membully. Malah sekarang dia yang menjadi sasaran orang - orang itu." jawabku.
"Kejadiannya dimana?"
"Disekolah kita."
"Ada ya?"
"Ya. Dan sekarang aku tidak bisa membantu apa - apa."
Oki tersenyum dan meraih tanganku diatas meja, "Hey, kau kan sering memberi semangat padaku. Kenapa kau tidak memberinya semangat, biasanya korban bully tidak melulu membutuhkan perlindungan, tapi juga support dan kepedulian dari orang terdekatnya. Jadi jika kau ingin membantunya, bantulah dengan apa yang kau punya. Hem, bukan begitu?" jelasnya.
Aku tertegun mendengarnya, "Benar juga. Terima kasih kau sudah menyadarkanku."
Dia tersenyum dan aku menimpalinya.
.
"Oki adalah orang yang baik bahkan dia sangat baik dan perhatian denganku. Orangnya juga lembut, walaupun ia sedikit pendiam. Dia bahkan bisa menjadi penasehat dalam hidupku saat itu." Sari mengenangnya dengan tatapan sendunya.
Andika terdiam menunggu kisah selanjutnya yang akan diceritakan oleh Sari. 
"Lalu bagaimana kau bisa terlibat dengan orang itu?" tanyanya.
"Ah.. Ya sampai ketika...." 
.
Akhir semester dua tahun pertama,
"Aghh.. Rasanya leherku pegal semua.." keluhku.
Lyan yang berjalan disampingku hanya tersenyum, "Kau mungkin terlalu sibuk dengan pelatihan di klub PMR ya?"
Aku mengangguk, "Agak melelahkan sih, tapi aku dapat banyak ilmu."
"Pastinya." 
Seseorang yang berdiri diseberang kami, menghentikan langkah kakiku dan Lyan.
Lyan terdiam, "Ada apa dia disini?"
Aku tersenyum, "Aku belum bilang padamu ya?"
"Eh?"
"Aku dan dia sudah hehehe..." aku memberi isyarat kalau kami telah menjalin suatu hubungan.
Lyan melongo, sedetik kemudian ia mengerti. Dengan helaan panjang, "Haaa... Sejak kapan?"
"Hm.. Beberapa bulan ini. Tapi jangan beri tahu siapapun ya."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan. Oke. Kalau begitu aku kesana dulu ya menemuinya. Kau bisa kembali kekelas duluan." ucapku.
"Ah.. Baiklah.. Dah." pamitnya.
Aku segera menghampiri Oki yang berdiri membelakangiku. "Oki."
Dia menoleh kebelakang dan tersenyum melihatku. "Aku kira kita tidak bertemu hari ini."
"Bertemu kok.. Hehee.."
"Iya. Nanti pulang sekolah aku akan mengajakmu kerumahku."
"He?? Ada apa?"
"Pokoknya nanti aku tunggu kau dihalte bus depan sana. Oke?"
Aku mengangguk, "Oke."

***

Aku tak menyangka, Oki akan mengajakku untuk datang kerumahnya. Rumahnya cukup besar, disana hanya ada pembantunya saja. Setelah menyapanya aku diajak masuk dan diminta menunggu di ruang tamu.
Oki menaiki tangga rumahnya, ia minta ijin untuk berganti pakaian. Aku disuguhkan segelas air mineral dan sekotak kue.
Kedua bola mataku tak bosan mengelilingi apa yang ada didalam rumahnya. Tanpa aku sadari, Oki sudah berada dibelakangku.
"Ah.. Kau membuatku kaget." aku mengelus - elus dadaku.
"Selamat ulang tahun." tanpa aku ketahui Oki memberi kejutan dihari spesialku ini, bahkan aku saja hampir lupa tanggal lahirku sendiri.
Oki membawa seloyang kecil cake cokelat dan dihiasi lilin - lilin kecil disana. Aku diminta untuk meniupnya setelah aku membuat sebuah harapan.
"Terima kasih." air mata mengalir disudut mataku, aku terharu. "Darimana kau tau ulang tahunku?"
"Dari sahabatmu."
"Eh? Lyan?"
"Ya." jawabnya senang.
"Tapi bagaimana?"
"Ahahaaa.. Itu agak susah dijelaskan sih, walaupun katamu dia sedikit berubah sejak kejadian itu, aku menganggapnya mungkin dia juga akan berubah menjadi sedikit ramah padaku, tapi tidak apa kok, dia sebenarnya baik.. Hehee walaupun aku sempat diinterogasinya."
Aku mengernyitkan dahi, "Lyan kan baru tau kalau kau pacarku barusan dan dia tidak mengucapkan selamat padaku?"
"Ah... Sebenarnya tiga hari lalu aku tak sengaja bertemu dengannya dan menanyakan hari ulang tahunmu. Dia tadinya tidak ingin memberitahunya, karena aku bilang kalau aku ini pacarmu dan dia sempat tak percaya namun pada akhirnya diberi tahu juga.. Hahaa.." tawanya terdengar garing.
Aku terkekeh, 'Jadi tadi Lyan pura - pura tak tahu ya. Dasar dia itu.. Dan dia sengaja tidak memberiku selamat, mungkin karena kesal padaku? hahaa...' kataku dalam hati.

Aku tak berkutik melihat beberapa soal matematika dalam buku latihan sekolah. 'Aahhh ini membuatku pusing.' aku menghela nafasku. Kulirik Oki tertidur pulas disebelahku, sepertinya dia mengantuk setelah menyelesaikan buku latihannya dan dia cukup banyak makan kue tadi.
Tanpa sadar aku tersenyum, jemari tanganku tak kuasa ingin menyentuh rambutnya, 'Halus sekali.' gumamku, aku tertegun ia bergerak, 'Ah apa akan ketahuan?' aki menarik tanganku perlahan tapi..
"Kau sedang apa?" tanya Oki membuka matanya dan menahan tanganku. Ia menegakkan tubuhnya dan menghadap kearahku.
Pipiku merona malu, "Tidak ada..." aku membuang wajahku, 'Ahhh.. Ketahuan..'
Oki melirik kearah lembaran buku latihanku, "Hn? Masih banyak yang belum kau jawab?" tanyanya melepas tanganku.
"Ah.. Iya.. Agak susah hehe." tukasku sembari menggaruk kepala.
Dia mengambil pulpen dan selembar kertas kosong, mencorat coret disana memberi penjelasan cara dan perhitungan dari soal - soal yang tak ku mengerti.
"Apa kau sekarang mengerti?" tanyanya menoleh kearahku.
"Iya." aku mengangguk, "Terima kasih, berkat kau aku jadi cukup mengerti." kataku melanjutkan kegiatan hitung menghitung.
Aku melihatnya walau sedikit disudut mataku, Oki memperhatikanku dalam diamnya, ia tak menoleh sedikitpun kearah lain dan itu membuatku sedikit gugup. "Ahh.. Oki ada apa?" tanyaku memberanikan diri menoleh kearahnya.
"Sari, boleh aku...." ia menjeda ucapannya, telinganya terlihat memerah.
"Hm?" aku menunggu.
Dia terdiam menatapku dan menelan ludahnya.
"Oki? Kau kenap.." degub jantungku berubah menjadi cepat, seperti menaiki kereta shinkasen melaju cepat diantara kereta cepat yang ada di Indonesia. Ucapanku terhenti ketika ia mengatup bibirku dengan cepat. Aku diam karena sangat terkejut bahkan aku merasa kedua mataku tak berkedip.
Oki membuang wajahnya dengan jelas aku melihat tadi, ia mengecupku.

***

Tbc

Note :
Font pink : Adalah Flash back didalam flash back (font berwarna biru)

Minggu, 17 Juni 2018

Cerbung Fantasy : The world of dreams and two pendants Chapter 5



The world of dreams and two pendants
Chapter 5


Genre : Fantasi, romance

This first i'am writing for a story about fantasy..
Just for my hoby for read a comic and watch a anime movie..

Happy reading and sorry for typo.. ^^
And don't plagiat!

Previous Chap 1234

******************************************


18 tahun yang lalu, disuatu tempat yang berada dibumi.
Seorang wanita tengah dipenuhi peluh keringat yang mengalir diwajah hingga tubuhnya. Dengan kondisi perut besar dan kontraksi yang semakin lama semakin intens. Ditemani oleh seorang wanita paruh baya yang diakuinya sebagai ibu dari suaminya.
"Hosh hosh.. Ibu.. Ibu.. Aku sudah.. Tidak kuat, bisakah aku mengejan sekarang?" tanyanya disela pengambilan nafasnya.
Wanita paruh baya itu tetap memegang tangan menantunya yang menggenggam erat, "Ikut dan dengar intruksi dari dokternya, kau tidak boleh sembarang mengejan." jawabnya.
"Tapi... Sshhh.. Ini sangat sakit bu.. Aku... Sudah... Errghh..." keluhnya.
"Sebentar lagi Bu, kepala bayinya terlihat ayo tarik nafas panjang, hembuskan perlahan." ujar sang dokter mengarahkan.
Kemudian ia mengikuti intruksinya, "Hosh hosh..."
"Iya bagus bu, ya kepalanya sudah terlihat.. Mengejanlah sesuai intruksi dari saya ya bu." ucapnya.
Wanita itu mengangguk pelan dengan menahan rasa sakit yang luar biasa itu.
Diluar ruangan, terlihat seorang laki - laki nampak gusar. Berkali - kali ia mondar mandir didepan pintu, sesekali ia menggigit jarinya, ada rasa kekhawatiran diwajahnya. "Haaahhh lama sekali.. Apakah dia baik - baik saja. Kenapa aku tidak boleh masuk.. Arrgghhh.." kesalnya menjambak rambutnya sendiri.

Beberapa jam sebelumnya,
sebuah benda yang mengalung dileher wanita yang akan melahirkan itu mengeluarkan cahaya yang tak disadari terjadi sedikit patahan diliontin yang menggantung itu.
'Deg', 'Ah apa ini? Benarkah aku akan mati jika melahirkan keturunan manusia murni? Kekuatan yang aku miliki tidak bisa menandingi rasa sakit yang kurasakan sekarang.' ditengah kesakitan dan perjuangannya akan melahirkan sang buah hati, ternyata wanita itupun tengah merasakan bahwa kekuatan segel dari liontin ini sedikit memudar. 'Gawat! Tidak bisa seperti ini! Aku harus.. Ahhh sakit sekali, kalau seperti ini terus Dia pasti akan bebas.. Arghhh...' ia menggeram dalam hatinya.
Seberkas cahaya datang menghampirinya, ia tertegun melihatnya. "Kalina." panggilnya. Cahaya tanpa wajah itu datang tepat dihadapannya.
"Si..siapa kau?" tanyanya.
"Aku adalah Kakek buyutmu dari generasi pertama."
Dengan wajah penuh peluh dan nafasnya yang masih tersengal - sengal itu, ia merasa tak percaya jika kakek buyutnya benar mendatanginya. "Ka..kakek?"
Yang terlihat hanya seberkas cahaya putih tanpa rupa, "Kalina, liontin itu adalah sebuah segel. Saat ini kekuatan segelnya melemah mengikuti kekuatan dalam tubuhmu. Proses melahirkan butuh kekuatan ekstra yang dapat menguras semua tenaga bahkan alam sadarmu. Kau harus tetap konsentrasi terhadap segel itu, jika tidak keamanan dunia akan terancam."
Kalina mengernyit, "Apa yang harus aku lakukan?" lirihnya.
Disekelilingnya hanya dirinya yang melihat cahaya itu, maka ia tidak dapat meminta pendapat orang terdekatnya.
"Kau yang memilih menikah dengan manusia murni, konsekuensinya adalah jika kau hamil dan melahirkan, kekuatan segel didalam liontin itu akan terganggu oleh keseimbangan dari tubuhmu. Jika waktu bayi dalam kandunganmu akan lahir, kau harus memilih tetap melahirkan anakmu hidup - hidup atau segel itu akan rusak."
Diwaktu yang sempit itu, Kalina berpikir keras. Ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa sakit yang menjalar disekujur tubuhnya.
"Lalu apa tidak ada jalan lain? A..aku ingin anak ini selamat." ucapnya.
Tak ada jawaban dari cahaya yang bersinar putih itu.
Kalina menunggu dengan cemas, dalam pikirnya ia harus melahirkan anaknya dengan selamat.
"Ada satu cara."
Sontak kedua bola mata Kalina melotot gembira, ya pikirnya ada cara lain demi menyelamatkan sang buah hati. "A..apa itu beri tau aku?"

***

'ooaakkk oaaakkkk....' suara tangisan bayi menggema dalam ruangan itu. Senyum dan rasa lega menghampiri orang - orang disana tak terkecuali Kalina. Ia telah melahirkan anak kembar. Ya, dia melahirkan dua anak sekaligus.
Ibu mertuanya memberi selamat dan membelai pucuk kepala menantunya itu, segera ia keluar kamar bersalin menghampiri putranya yang masih berada diluar.

"Ah.. Ibu bagaimana anakku?" tanya putranya yang bernama Attar itu. Kedua matanya tak berkedip memastikan bahwa ia mendengar kabar yang baik.
"Anakmu lahir dengan selamat dan sehat. Kau sudah menjadi ayah dari dua anak kembar." ujar sang Ibu menepuk sebelah bahu anaknya.
Tak terasa air mata jatuh di pipinya, "Ah.. Akhirnya..." jatuh lunglai ke lantai karena saking bahagianya.
'pletak' sejurus tanpa dosa sekepal tangan sang Ibu mendarat dikepala anaknya kesal. "Cepat sana masuk!"
"Ah.. Ya Bu.." ucapnya tanpa mempedulikan rasa sakit dikepalanya dan segera ia memasuki kamar.
Perlahan ia menapakkan kedua kakinya itu, ia menoleh kearah sang istri yang saat itu tengah mencoba menyusui anak - anaknya didampingi oleh salah satu perawat klinik bersalin disana.
"Ah saya permisi sebentar ya." pamit perawat sembari membawa peralatan selepas bersalin.
"Sayang..." panggilnya lirih mendekat dan duduk disamping sang istri yang terlihat lemas itu.
Kalina menoleh kearahnya dengan tatapan sayu seakan sudah tak ada tenaga dalam dirinya. Kemudian ia tersenyum, "Anak kita sudah lahir dengan selamat dan sehat." katanya.
Attar mengangguk senang, "Terima kasih atas perjuanganmu." ucapnya sembari memberi kecupan lembut dipelipis wanita yang dicintainya itu.
Dengan menarik nafas panjang, Kalina meraih tangan suaminya. "Attar ada yang ingin aku sampaikan padamu perihal liontin ini."
Attar tertegun, tatapan matanya berubah. "A..ada apa?" ia lupa dengan konsekuensi yang akan diterima istrinya jika ia melahirkan seorang anak. Pikirnya Kalina akan kehilangan kekuatan jika ia melahirkan satu anak, namun istrinya itu hamil anak kembar.
Kalina tersenyum tipis sembari melihat kedua wajah mungil nan suci dipelukan kedua lengannya. Begitu damai, pikirnya.
"Attar... Aku mengorbankan semua untuk anak kita." ucapnya.
Attar mengangguk.
"Hidupku tinggal beberapa jam lagi."
Bagaikan jantungnya dihunus sebuah pedang, Attar syok mendengar ucapan istrinya. "Apa maksudmu?"
Kalina menoleh, tanpa paksa air mata itu mengalir dikedua pipinya. "Aku tak punya pilihan lain, hanya ini pilihan terbaik yang aku miliki."
Attar mengernyitkan dahinya, ia tak mengerti. Awalnya Kalina hanya berkata bahwa bisa saja ia kehilangan setengah kekuatannya dan akan pulih seiring berjalannya waktu.
"Aku mengorbankan semua jiwa dan kekuatanku untuk anak kita." ucapnya sambil mencoba meminta bantuan Attar dengan isyarat matanya untuk meletakkan bayi mereka dikeranjang bayi. Kalina menghela nafasnya panjang, ia mengambil liontin yang mengalung dilehernya.
Attar kembali duduk disamping tempat tidur Kalina, ia menatap dalam diam sambil sesekali memperhatikan gerakan tangan istrinya.
"Ini." Kalina memberikan liontin yang sudah terbelah dua itu. Ia menggenggam erat telapak tangan suaminya. "Kalungkan liontin ini pada anak kita. Liontin ini terbelah dua saat aku kontraksi tadi." Kalina menatap bola mata suaminya, "Kakek buyutku datang dalam alam bawah sadarku, ya mungkin begitu.." ia menundukkan wajahnya, "Dia, saat ini tengah menunggu waktunya tiba."
"Dia? Siapa maksudmu?"
"Black Master. Saat aku mengejan diakhir liontin ini terbelah dua dan saat itu segel kunci penjaranya terbuka, kemungkinan ia terlepas."
Attar terkejut, "La.. Lalu?"
"Tapi tenang saja, ia tidak bisa menggunakan semua kekuatannya karena liontin ini masih bersamaku. Kekuatan dari penyihir itu disegel terpisah walau dalam satu benda."
"Jadi walaupun liontin yang kau pakai ini adalah segel kunci untuk memenjarakan dia tapi kekuatannya tak ada dalam dirinya?"
Kalina mengangguk, "Tapi.. Dia tidak sebodoh itu, dia punya anak buah yang setia menemaninya. Dan dia pula yang memperhatikan gerak gerikku dari jauh."
Attar semakin tak mengerti, "Jadi, A..aku harus bagaimana?"
"Karena aku memilih melahirkan anak kita dengan selamat, aku mengorbankan jiwaku untuk menyelamatkan liontin ini agar utuh  walau ia terbelah menjadi dua. Karena jika tidak, liontin ini akan pecah dan hancur."
Attar menunduk, ia merasa bersalah karena dulu ia yang mengejar Kalina dan meminta menikah dengannya, "Maafkan aku."
Kalina membelai rambut suaminya dengan penuh sayang, Attar menatapnya.
"Kau tidak perlu minta maaf."
"Tapi gara - gara aku kau jadi mengorbankan semuanya? Bagaimana aku bisa menjadi ayah yang baik untuk anak kita tanpamu Kalina?" kedua mata Attar nampak berkaca - kaca.
Kalina tersenyum, "Hey, jangan begitu. Ini semua bukan salahmu. Oh ya ada satu hal lagi." kulit putih milik Kalina semakin memucat ini tanda ia semakin dekat dengan ajalnya. "Kalau bisa pisahkan anak kita, jangan sampai mereka hidup dalam satu tempat bersamamu."
"Apa? Apa maksudmu?" tanya Attar tak mengerti.
"Black Master pasti akan mencari anak kita untuk mengambil liontin ini, kita harus sembunyikan indentitas anak kita. Dan tentunya mereka harus dipisahkan, jika tidak liontin itu akan menyatu dan itu akan membahayakan mereka berdua."
"Bahaya?"
"Ya. Bahkan nyawa mereka bisa menjadi taruhannya."
Attar gemetar mendengar penjelasan dari istrinya itu. "Mengapa? Mengapa menjadi seperti ini?"
Kalina tersenyum miris, "Kakekku mengatakan, liontin ini hanya dapat di kendalikan oleh keturunan kami penyihir putih, karena kau adalah manusia murni maka tidak bisa. Anak kita adalah keturunan half, setengah penyihir setengah manusia."
"Apa mereka akan mempunyai sihir sepertimu?"
"Aku tidak tau. Tapi yang jelas Kau harus melakukan apa yang aku katakan tadi. Pisahkan mereka bagaimanapun caranya."
"Aku mengerti."
"Tenang saja, sebagian dari dalam diriku ada didalam pecahan liontin ini." ucapnya tersenyum
Attar tak mengerti apa yang istrinya maksud, tapi ia mengangguk.
Kalina tersenyum tipis, dalam diam ia mengumpulkan semua tenaga yang ia punya dan mencoba menyalurkannya kedalam tubuh suaminya dalam genggaman kedua tangannya. Ia berjaga - jaga jika suatu saat nanti terjadi sesuatu pada suaminya.
Kedua matanya menjadi sangat sayu, kedipan matanya mulai melambat. Attar menatapnya dengan sendu, ia harus menahan semua emosi dalam dirinya, ia harus merelakan Kalina, semua ini demi kebaikan, pikirnya.
"Attar, aku sayang padamu dan kedua anak kita. Selamat tinggal..." ucap terakhir dari bibir Kalina. Genggaman tangannya melemah dan lunglai tak bernyawa.
Attar menahan isak tangisnya, ia rengkuh tubuh lemah istri yang dicintainya itu dengan erat.
Dibalik pintu sang ibu tanpa sengaja mendengar semua percakapan mereka. Ia mengcengkeram kuat jemarinya menahan tangis yang terbendung dikantung matanya.

***

5 tahun berlalu, sejak saat itu Safrina dan Safriza hidup terpisah. Attar meminta  ibunya untuk mengurus Safrina dan berpindah tempat jauh darinya. Serta dengan berat hati untuk tidak berkomunikasi dengannya, namun Attar berjanji agar selalu mengirimnya biaya hidup untuk mereka berdua.
"Bu, aku minta tolong rahasiakan identitas kami darinya. Semua ini demi kebaikannya." pinta Attar menggenggam kedua tangan Ibunya sesaat sebelum ia berangkat pergi.
Sang Ibu menahan air mata, sesak dada yang ia rasa. Namun ia berusaha menerima keputusan dari anaknya itu. "Baiklah"
.
"Nenek..." panggil dari kejauhan suara nyaring milik anak kecil berambut cokelat itu, ia berlari kecil menghampiri neneknya yang sedang duduk dikursi teras rumah.
Nenek itu berdiri dengan senyuman dan mengembangkan kedua tangan untuk memeluk sang cucu.
Ina tersenyum lebar menerima pelukan hangat dari orang yang ia sayangi, "Ina sayang nenek." ucapnya.
"Nenek juga sayang Ina." jawabnya sembari membelai pucuk kepalanya.
.
12 tahun kemudian,
Ina berlari masih dengan seragam sekolahnya menyelusuri kebun milik neneknya itu. Ia berniat mencari sang nenek, "Nenek dimana ya?" ucapnya, "Ah itu dia!" seketika ia melihat tubuh neneknya dari belakang.
"Nenek. Lihat!" serunya menunjukkan selembar kertas ulangan miliknya. Dengan bangga ia menanti pujian dari neneknya itu.
Sang nenek mengambil lembaran itu dan membacanya, walau sudah tua tapi penglihatannya masih bagus,"Woah nenek tak percaya ini. Kau dapat nilai bagus?" takjubnya.
Ina mengangguk senang dan percaya diri.
"Ini sangat luar biasa, nilai 70 sangat langka untuk bisa didapat darimu ya. Ini perkembangan yang bagus."
Lagi - lagi ia mengangguk senang.
Sejenak raut wajah nenek berubah masam, "Ya! Apa - apaan ini kemarin kau bilang akan dapat nilai sempurna?! Ini yang kau maksud sempurna? Bahkan nenek saja bisa dapat lebih dari ini.. Dasar anak nakal!" marahnya memukuli Ina dengan topi kebunnya.
Ina menghalau dengan kedua tangannya, "Ya ampun Nek. Kan lumayan bisa dapat nilai segitu Nek. Aku sudah berjuang sangat keras." alasannya.
"Hiaah.. Jangan beralasan. Setiap hari kau selalu main saja tidak pernah belajar, apanya yang berjuang keras. Jika orang tuamu masih ada, mereka akan memarahimu juga." omelnya.
Ina terdiam dan tak menghalau pukulan neneknya lagi.
Sang nenek tertegun, ah ia keceplosan bicara. "Ah.. Maksud nenek..."
"Iya aku mengerti.. Mereka akan kecewa padaku kan? Makanya mereka meninggalkanku pada nenek." ucap Ina sedih, ia berbalik dan berjalan menjauhi neneknya.
Sang nenek merasa bersalah dengan ucapannya barusan, "Ah.. Bodohnya aku ini.." gumamnya.

Ina berjalan lunglai menuju rumahnya, tatapan matanya kosong. Ia teringat akan pertanyaan yang sering ia lontarkan pada neneknya sejak dulu.
'Kemanakah orang tuaku?'
Ina membuka kenop pintu rumah neneknya, berjalan memasuki kamar tidur dan merebahkan tubuhnya disana. Dari dulu ia selalu berusaha agar terlihat tegar dihadapan neneknya walau terkadang sikapnya agak menyebalkan dan membuatnya sering diomeli seperti tadi.
Hal itu ia buat untuk mengalihkan rasa rindu pada kedua orang tuanya,"Nenek hanya bilang bahwa mereka telah tiada, tapi kalau aku minta diberitahu kuburannya dimana? Nenek tidak mau memberitahuku. Huuuhh.." keluhnya.
Ina memandangi langit - langit kamarnya, "Bagaimana ya rasanya jika punya ibu dan ayah, pasti menyenangkan." ucapnya.
Tanpa disadari liontin yang mengalung dilehernya mengeluarkan seberkas sinar.
Dalam kelelahan tubuh, hati dan pikirannya, Ina memejamkan kedua matanya dan terlelap tidur.

***

Diwaktu bersamaan dan tempat berbeda.
Safriza memberi salam ketika memasuki rumahnya, "Aku pulang."
"Oh ya. Kau sudah pulang rupanya. Apa hari ini tidak ada jadwal les?" tanya ibunya menghampiri.
Iza menggelengkan kepala sembari melepas sepatu miliknya dan menaruhnya ditempat sepatu.
"Hem apa kau mau makan? Ibu sudah membuat makanan kesukaanmu." tawar sang ibu.
"Iya nanti aku makan setelah ganti baju. Aku permisi kekamar ya Bu." ucapnya berlalu pergi dengan senyum.
Ibunya memandangi tubuh Iza dari belakang, "Hh.. Andai saja kau putri kandungku, aku pasti sangat bangga mempunyai anak sopan dan penurut sepertimu." gumamnya kemudian berlalu.
Iza memasuki kamarnya, menaruh tas di kursi dan dia terduduk ditepi tempat tidur.
Flash back,
Teman sebangku Iza menghela nafasnya kasar, sejak tiba disekolah raut wajahnya terlihat muram. Iza hanya memperhatikannya dalam diam tanpa berniat bertanya keadaannya, namun teman kelas yang lain menghampiri gadis itu.
"Hey kau kenapa? Kenapa muram seperti itu?" tanyanya menggeser kursi disampingnya.
Gadis itu membuka suara, "Kau tau kan kalau aku mempunyai seorang kakak 2 tahun lebih tua dariku?"
Yang bertanya tadi mengangguk, tanpa lepas pandang Iza tetap memperhatikan.
"Sebenarnya aku benci dengan kedua orang tuaku. Mereka tidak berlaku adil padaku. Kalian tau? Dua bulan lalu kakakku ulang tahun, dengan kegembiraan mereka merayakan pesta kecil dirumah dan membelikan kado yang mahal untuknya sedangkan ulang tahunku kemarin jangankan membelikanku hadiah, mereka ingatpun tidak."
Gadis yang bertanya itu terkejut, "Woah parah sekali, pasti perasaanmu sedih, lalu bagaimana?"
"Aku memberitahu mereka bahwa aku ulang tahun, tapi mereka menjadi gugup dan bilang kalau mereka lupa. Karena kesal dan rasanya ingin menangis, aku masuk kekamar dan membanting pintu." ucapnya sembari menunduk. Iza menurunkan wajahnya untuk melihat teman sebangkunya itu.
Gadis itu menangis pelan, "Rasanya buat apa aku menjadi anak mereka jika harus bertindak tidak adil seperti ini. Lebih baik aku tidak dilahirkan atau mungkin aku tak usah memiliki orang tua. Aku benci mereka."
Belum sempat mengucap gadis lain, Iza membuka suara, "Apa bicaramu itu tidak keterlaluan?"
Mereka berdua menoleh, "Keterlaluan apa maksudmu? Tentu saja tidak, kau tidak akan tau bagaimana perasaanmu jika orang tuamu bertindak tidak adil antara kau dengan saudaramu."
"Ah.. Kau kan anak tunggal, jadi mungkin kau tidak akan paham."
"Apa aku akan merasakan hal sama sepertimu jika aku mempunyai saudara?" tanya Iza.
Mereka berdua saling menatap, "Lebih baik kau mencuci wajahmu ditoilet, ayo aku antar." ucap gadis penanya dan disetujui oleh gadis yang bersedih itu.
Iza terdiam, ia mencoba mencerna ucapan teman - temannya itu.
Flash back off.
Iza menatap kosong lantai kamarnya, "Aku merasa kalau selama ini ada yang hilang dalam diriku. Bagaimana rasanya ya jika aku memiliki saudara kandung?" gumamnya kemudian ia merebahkan dirinya dan memejamkan kedua matanya. Iza tertidur pulas.

***

Saat ini di dunia mimpi,
Fazi berjalan cepat didepan Ina, ia sengaja berjalan berjauhan dengan gadis itu. Ina lagi - lagi cemberut dengan sikap Fazi yang menurutnya seenaknya.
"Hey, aku tau kau punya sepasang kaki yang panjang dan jalanmu cepat. Tapi apa kau tidak punya empati pada gadis sepertiku?" tukasnya bertulak pinggang.
Fazi menghentikan langkahnya dan membalik tubuh kekarnya itu, "Haaahhh.. Sekarang apa lagi. Bukannya tadi kau bilang tidak boleh dekat - dekat denganmu. Aku salah lagi?"
"Kapan aku bilang seperti itu?" elaknya.
Fazi memutar bola matanya, "Cepat kesini, kurasa aku menemukan tempat tinggal kakak sepupuku yang ku cari." panggilnya.
Ina segera menghampiri Fazi dengan langkah besar, "Oke."
Setelah sampai Fazi mengandeng pergelangan Ina dan berjalan kembali. Ina terkejut, "Hey!"
"Sudah diam ikut saja. Jangan cerewet!" serunya.
Ina menghela nafasnya mengalah.
Sebuah gubuk yang ditinggal penghuninya beberapa hari lalu berhasil ditemukan oleh Fazi, ya tempat ini adalah tempat dimana Zida tinggal.
Fazi melepas tangan Ina dan melongo kedalam gubuk itu dari balik jendela yang terbuka, "Sepertinya tidak ada orangnya. Ayo masuk."
"Hey jangan sembarang masuk dong."
"Ssttthhh.."
Ina membulatkan matanya kesal.
Fazi menyelusuri setiap sudut gubuk yang tak terlalu kecil itu, ia melihat nampan berisi potongan buah dan bekas dimakan oleh seseorang serta satu gelas berisi air sedikit. Ia menaruh telapak tangannya dimeja itu dan berusaha menelaah waktu kapan Zida pergi.
"Sepertinya dia sudah pergi dari tempat ini beberapa hari lalu?" ucapnya.
"Hah? Lalu bagaimana kita harus mencarinya?" tanya Ina.
"Hemm.. Kurasa kita harus mencari kearah lain. Karena kita dari barat, kemungkinan... Hemmm.. Tunggu." Fazi keluar gubuk dan mencari sesuatu disana.
"Ada apa lagi?" Ina membuntutinya.
Fazi membungkuk ketika menemukan bekas sepatu seseorang. "Hey Ina kemari."
Ina menurutinya dan berdiri disamping Fazi.
"Kau lihat ini apa?"
"Hem? Jejak sepatu? Lalu kenapa?"
"Hey ini salah satu keahlianku. Diam." Fazi meraba jejak sepatu itu dan mencoba membacanya.
Ina mengerutkan dahinya, "Dia ini makhluk aneh dari mana sih, sudah aneh berlagak pintar pula. Yah... Walaupun wajahnya sedikit tampan sih." gumamnya dalam hati.
"Ah.. Mereka diikuti seorang penguntit." ucapnya.
"Eh? Benarkah?"
"Kurasa Zida pergi dari sini karena ada seseorang yang mengikutinya dan kurasa dia tidak sendiri."
"Maksudmu penguntitnya ada 2 orang."
"Bukan, tapi seorang wanita."
"Hah?"
"Apa Zida sudah menikah lalu membawa istrinya?" Fazi mengetuk - ngetuk dagunya, "Kalau begitu aku kalah dengannya? Kira - kira istrinya itu  cantik tidak ya. Wahh aku..."
'pletak'. Ina mendaratkan tamparan keras dikepala Fazi.
"Aduhh.. Hey sakit tau! Aku bisa gegar otak kalau terus begini." protesnya.
"Justru aku meluruskan otakmu. Bicara yang benar jangan bicara ngawur." ucap Ina.
Fazi mengiris dan mencibir, "Kau itu wanita apa sih?!"
"Lalu apa? Sekarang kita harus apa?" Ina mengembalikan topik awal mereka.
"Hem? Kurasa karena mereka diikuti jadi mereka pergi jauh dari sini. Dari telaahku mereka pergi kearah sana." tunjuk Fazi.
"Oke ayo kita kesana, jangan buang - buang waktu. Jika sudah bertemu selesaikan urusanmu dan bantu aku keluar dari dunia ini."
"Hah? Kenapa kau jadi yang mengaturku."
Ina berjalan mendekat bahkan mencoba mendekatkan wajahnya, menatap kedua mata biru milik Fazi lekat.
Fazi menjadi gugup, "Hey.."
"Karena aku akan menerkammu jika kau tidak mengikuti perkataanku." ucapnya dingin.
Rona wajah Fazi menjadi merah dan sesaat kemudian dia menangkup dirinya sendiri takut, "Argh! Menerkamku? Kau menyeramkan.. Hiii..." ujarnya.
Ina kembali keposisinya semula, "Iya, bahkan mungkin lebih dari itu, aku akan menerkammu ketika kau tidur. Hahahaha.." gelak tawa Ina sembari berjalan mendahului Fazi yang masih syok dengan ucapan Ina.
"Apa itu benar?" ia bertanya dengan dirinya sendiri.
Ina menghentikan langkah kakinya, tatapan matanya berubah ketika melihat seseorang dihadapannya.
Fazi tak sengaja menabrak tubuh belakang Ina, "Ah.. Kenapa berhenti tiba - tiba? Hn? Ada apa?" ia mengikuti arah pandang mata wanita didepannya itu dengan tatapan takut. Kedua matanya menyipit tajam pada seseorang didepannya, "Kau lagi?"
"Kita bertemu lagi nona cantik. Hehe." Tara mengayun - ngayunkan pedangnya dihiasi senyum jahat diwajahnya.

***

Zida berlari tanpa arah, sesekali ia berhenti dan memanggil Iza yang saat pagi itu tiba - tiba menghilang. Zida merasa kesal, kenapa ia harus tertidur di mana kondisi mereka sedang tidak aman.
"Ah sial. Pasti mereka telah menculiknya." sesalnya memukul permukaan tanah.
"Zida?"
Suara yang familiar itu terdengar ditelinga Zida, bagai angin yang berhembus halus memberinya ketenangan. Zida melihat sepasang kaki dihadapannya, kemudian ia mendongak dan mendapati wanita yang dicarinya.
Tanpa sadar Zida memeluk erat Iza yang membawa beberapa buah dipelukannya. Sontak buah - buahan itu jatuh bergelindingan ditanah.
"Sukurlah, sukurlah.. Kau masih ada, tetaplah ada disampingku." Zida melepas pelukannya dan menatap mata Iza, "Kau mengerti?"
Iza yang masih syok dengan perlakuan Zida hanya mengangguk.

"Jadi kau berkeliling mencari buah - buahan ini?" saat ini mereka tengah duduk dibawah pohon rindang yang besar dan menikmati makan pagi.
Iza mengangguk, ia masih malu. Merasa wajahnya memerah, ia tidak berani menatap Zida yang berada disebelahnya.
Zida yang sadar akan hal itu menggaruk tengkuknya dan menengadah wajahnya ke atas, "Ah.. Maaf tadi tiba - tiba memelukmu."
"Tidak apa. Kau pasti mengira aku menghilang kan?" tebak Iza.
Zida mengangguk, "Aku sangat khawatir dan ketakutan tadi. Aku kira kau berhasil ditangkap oleh mereka."
Iza memberanikan diri untuk menoleh kearah Zida, "Terima kasih kau telah mengkhawatirkanku."
"Hem tak masalah." jawabnya.
"Wah.... Pemandangan pagi yang bagus." ucap seseorang yang tak diduga datang.
Zida dengan sigap berdiri dan melindungi Iza, "Tetap dibelakangku." bisiknya.
Iza yang terlihat ketakutan hanya mengangguk dan menyengkram kuat jubah milik Zida.
Obi dengan busur dibelakang punggungnya berjalan perlahan menghampiri mereka.
"Tetap disitu atau kau akan mati ditanganku!" seru Zida menghunuskan pedangnya.
"Tenanglah. Sebenarnya aku tidak ingin bertarung. Jika kalian bisa diajak kompromi, mungkin kalian akan kubiarkan hidup." jawab Obi dengan dinginnya.
"Cih. Tidak ada kata kompromi bagi penjahat seperti kalian. Itu hanya sekedar kata - kata bagi kalian. Akhirnya kami akan mati juga."
"Hn? Ternyata kau pintar juga ya?" Obi mengambil busur panahnya dan menarik talinya siap membidik kearah mereka.

***

Tbc

Minggu, 03 Juni 2018

FF Seokyu : You're Mine Chapter 6



You’re mine
Chapter 6



Title    : Seokyu
Genre : Romance, Comedy
Type   : Chapter (bersambung)
Cast :   Seo Joo hyun a.k.a Seo Joo hyun
            Cho Kyuhyun a.k.a Cho Kyuhyun
            Kim Taeyeon a.k.a Eomma Seohyun – Ny Seo
            Park Jung Soo a.k.a Appa Seohyun – Tuan Seo
            Choi Siwon a.k.a Appa Kyuhyun – Tuan Cho
            Tiffany Hwang a.k.a Eomma Kyuhyun – Ny Cho
            Im Yoona a.k.a Im Yoona
            Choi Sooyoung a.k.a Choi Sooyoung
            Lee Donghae a.k.a Lee Donghae
            Lee Hyuk Jae a.k.a Choi Eunhyuk
            etc.

Mian for typo and happy reading ^^
I'am Seokyu shipper. Don't Bash and don't Plagiat!!

Previous Chapter 1-2-3-4-5


***


Sejak kejadian makan malam tersebut, Seohyun merajuk pada Yoona. Pasalnya Yoona sedikit berbohong soal pertemuaannya dengan Kyuhyun palsu. Ia terus menghindari Yoona bahkan dengan bantuan Sooyoung pun.
Yoona menghela nafas panjang, sesekali ia memijat dahinya yang tak sakit itu.
Sooyoung melirik kearahnya, "Kalau Kau seperti itu, mirip nenek - nenek saja." ujarnya sembari menyeruput segelas minuman dikantin kampus.
Yoona mendelik tajam tak terima, "Diam kau!" ia menghela lagi, menyandarkan kepalanya ditepi jendela. "Kenapa anak itu mudah sekali tersinggung sih. Padahal kan aku sudah membantunya. Haisshh."
Sooyoung menopang dagunya, "Heh.. Kalian berdua ini kenapa? Apa ada hal yang tidak diketahui olehku?" selidiknya.
'Eh?' Yoona merasa terciduk. Selama ini kan sahabatnya satu ini tidak pernah tau apa yang mereka berdua rencanakan. "Ahniyo.."
Kedua mata Sooyoung menyipit, "Heh.. Jangan pikir aku tak tau.." katanya, "Cepat katakan sebelum aku mengamuk nanti." susulnya.
"Haaa... Baiklah. Aku membantu menggantikan posisi Seohyun saat pertemuan dengan Cho Kyuhyun." jawabnya.
"Hm? Lalu?" Sooyoung melipat kedua tangan didepan dadanya.
Yoona menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu, "Tapi aku malah bertemu dengan Kyuhyun palsu, Lee Donghae namanya. Ternyata mereka melakukan rencana yang sama denganku dan Seohyun."
Sooyoung mengangguk - angguk seakan mengerti. "Kemudian setelah itu dan bagaimana Seohyun merajuk seperti tadi?"
"Ah.. Sebab kemarin malam waktu bertemu dengan keluarga Kyuhyun dirumahnya. Aku dan Donghae Oppa ada disana. Dan kami menjelaskan apa yang terjadi. Sebenarnya eomma Seohyun tau kok hal ini, ya aku yang beri tau." Yoona menjelaskan.
Sooyoung terdiam, "Jadi Seohyun marah padamu akan hal ini?"
Yoona mengangguk.
Sooyoung berdecak, "Wah wah.. Biasanya Seohyun tak pernah marah seperti ini, berarti ini masalah besar baginya."
"Hem? Menurutmu begitu?"
"Lalu apa?"
"Mungkin karena dia malu karena sempat dipermalukan kedua orang tuanya kemarin malam tepat dihadapan orang tua Kyuhyun dan semua ini gara - gara aku mengatakan kebohongannya dengan eomma Seohyun." Yoona cemberut, "Ah.. Paboya!" ia mengutuk dirinya sendiri.
"Ya walaupun begitu, kau harus tetap meminta maaf pada Seohyun."
"Kurasa memang harus begitu, tapi dia selalu menghindar." sedihnya.
Sooyoung kembali menyeruput minumannya sembari melihat miris yeoja dihadapannya itu.

***


Semilir angin dibawah pohon rindang itu menyapu wajah Seohyun beriringan dengan helaian rambut yang sengaja digerainya. Ia berkali - kali menghela nafas, pikirannya buntu saat ini, sebenarnya ia merasa harga dirinya jatuh didepan orang tua Kyuhyun kemarin. Ini tidak sesuai rencana, memang ia berniat membuat sikap buruk didepan Kyuhyun yang dilihatnya adalah Donghae, namun ternyata dia sudah bertemu Kyuhyun yang asli sebelumnya.

"Argghh kenapa bisa begini?" Seohyun kesal menjambak sebagian rambutnya, "Huhu.. Eouni jahat sekali padaku. Coba kalau ia berkata terlebih dahulu padaku bahwa yang ditemuinya itu bukan Kyuhyun. Pasti tidak akan seperti ini." ia menghentak - hentakkan kakinya.
Seohyun menunduk, menenggelamkan kepala pada tas yang dipangkunya, "Lalu kenapa aku katakan 'tidak' pada namja itu? Padahal kan dia mau membatalkan perjodohan ini! Paboya Seohyun-ya!"
Ia menegakkan tubuhnya kembali, terdiam dan mengingat pertemuan pertama kali dengan namja itu, menyentuh bibirnya. "Kalau bukan karena ini... Mungkin aku juga akan membatalkannya kemarin." lirihnya.

Dilain tempat,

Aura menyeramkan hadir disekitar Kyuhyun, ia menatap tajam kearah Donghae. Rasanya ia ingin melahap namja sok tampan itu bulat - bulat. Berani - beraninya ia merencanakan sesuatu yang membuatnya malu didepan orang seperti malam kemarin.
Eunhyuk yang melihat bergidik ngeri dan menepuk bahu Donghae yang sejak tadi tak menghiraukan tatapan Kyuhyun, "Hey hey kau tidak lihat, seram sekali anak itu. Lihatlah." bisiknya.
Donghae melirik dan cuek kembali, "Biarkan saja." acuhnya.
"Eh?" Kemudian Eunhyuk kembali melihat Kyuhyun dan namja itu membuang wajahnya. "Hah? Apa aku juga ikut terlibat? Bahkan aku tidak tau apa masalah mereka berdua?" tanyanya sendiri.

***


Kedua orang tua Seohyun dan Kyuhyun telah menetapkan jadwal pertunangan mereka tanpa sepengetahuan anak - anak mereka.

"Dengan begini mereka tidak akan bisa menolak lagi. Iya kan Nyonya Choi." kekeh Taeyeon.
"Benar." jawab Tiffany.
Taeyeon menyandarkan tubuhnya disofa panjang dikediaman rumah Kyuhyun itu, "Ah.. Bagaimana bisa mereka seceroboh itu ya? Mau mengelabuhi kita hahaa.." tawanya.
Tiffany mengambil cangkir teh dimeja dan meminumnya sedikit, "Pada dasarnya mereka bertemu itu sudah takdir. Mereka pasti berjodoh. Betul kan Nyonya Seo?"
Taeyeon mengangguk, "Ah.. Memang anakku agak keras kepala, mohon dimaklumi ya."
"Tentu saja, begitu pula anakku. Dia sangat pembangkang. Haha.."
"Hem.. Padahal aku sudah membujuknya dengan mengatakan bahwa perusahaan Appanya akan bangkrut, tapi ternyata itu tidak membuat ia berempati sedikitpun. Hemm..." 
"Wah.. Begitukah?"
"Ya.."
"Pasti berat untukmu Nyonya Seo, menjalani amanah ini ya."
"Ah.. Ahniya.. Memang ini sudah takdirnya. Appa Seohyun dan Appa Kyuhyun kan memang berencana menjodohkan mereka sejak dulu."
"Benar. Bahkan sebelum menikahi kita ya.. Hahaa.."
Taeyeon mengangguk - angguk senang.
"Bagaimana jika kita adakan acara pertunangannya diluar ruangan. Kita buat nuansa putih. Pasti cantik sekali."
Taeyeon tengah membayangkan, "Ah.. Bagus juga. Apa kita pakai konsep flower garden?"
Tiffany menjentikkan jarinya, "Itu ide yang bagus. Apa perlu kita pakai WO langgananku?" tawarnya.
"Ah.. Apakah tidak berlebihan memakai WO segala? Ini kan hanya acara tunangan." jawab Taeyeon.
Tiffany menggeleng, "Ahni. Jika Nyonya Seo berkenan biar aku yang mengurus dekorasinya, bagaimana?"
"Jika itu tidak membuatmu repot Nyonya Choi."
"Tidak apa. Aku malah sangat senang melakukan ini."
"Benarkah? Ah.. Khamsahamnida.." 
Tiffany mengangguk - angguk sambil tersenyum.

***


Hari pertunanganpun tiba, tak menunggu lama hanya berselang satu minggu sejak acara makan malam dikediaman Seohyun. Eomma Kyuhyun melakukan perancangan dekorasi dengan WO langganannya dengan sangat cepat.

"Woah daebak. Bagus sekali tempat ini seperti difilm film ya.. Wah...." Sooyoung melongo saat ia tiba disana, decak kagum yang keluar dari ekspresi wajah dan mulutnya tak berhenti. "Wah.. Ini bunga asli? Keren..." Sooyoung menyentuh bunga yang melilit cantik pada gapura penyambutan tamu tanpa malu.
Yoona yang datang bersamanya sedikit risih dengan sikap noraknya. Ia menarik pelan lengan yeoja bertubuh jangkung itu, "Hey bisakah kau menjaga sikap.. Ingat ini acara sakral bukan party anak kampus.. Sadarlah.." bisiknya tepat ditelinga Sooyoung.
Sooyoung berdecak kesal, "Arraseo.." jawabnya dengan malas. Sedetik kemudian arah matanya tertuju ke meja panjang yang menghidangkan berbagai makanan, air liurnya hampir jatuh dari mulutnya yang sedikit menganga, "Ah... Surga disana ada surga makanan. Aku akan kesana." tanpa pamit ia berlari kecil menghampiri makanan yang sudah memanggilnya sejak tadi.
Yoona menghela nafasnya, "Haisshh anak itu.." ujarnya sembari menyusul Sooyoung. "Hey, aku bilang jaga sikap. Disini banyak orang - orang penting dari dua keluarga mereka. Jangan membuat image kita sebagai sahabat Seohyun menjadi buruk karena sikapmu ini." lagi - lagi Yoona membisiki Sooyoung.
Sooyoung tak mengindahkan peringatan dari Yoona. Ia sibuk mengunyah potongan cake yang penuh dimulutnya.
Yoona terkejut melihat kondisi Sooyoung, "Astaga!" Ia segera mengambil tissue dan mengelap tepi bibir Sooyoung yang terkena cream dari cake tersebut, "Kau bisa tidak sih makan yang cantik? Kalau begini kau terlihat tidak makan selama sebulan." omelnya.
Sooyoung tetap mengunyah dan berusaha cepat menelan makanan yang ada dimulutnya agar ia bisa mencicipi makanan yang lain, "Heyy.. Buat apa terlihat cantik tapi menyiksa. Ahni aku tidak akan melepaskan kesempatan makan makanan enak ini hahaha.."
Yoona mencubit pinggang ramping milik Sooyoung, "Kau ini susah sekali diberi tau sih!"
"Aww apayo..." Sooyoung meringis dengan mulut penuh makanan.

Donghae dan Eunhyuk tengah berada dikerumunan acara itu. Sesekali Eunhyuk membetulkan kain kecil yang menyemat disaku jasnya.

"Ah apa ini sudah benar?" tanya pada Donghae.
Donghae melihat. "Sini biar aku betulkan." jawabnya sambil menempatkan kain itu dengan benar.
"Ah.. Gomawo. Aku merasa tampan jika memakai jas ini." Eunhyuk dengan percaya dirinya.
Donghae hanya terkekeh geli, kemudian ia mengitari pemandangan disekitar taman itu. Tatapan matanya tertuju dimana Yoona dan Sooyoung berdiri. "Itu kan Yoona-ssi? Wah dia cantik sekali, neomu yeppo." gumamnya.
Eunhyuk mendengar gumaman Donghae dan ia mengikuti kemana tatapan mata namja itu berlabuh. "Eh Sooyoung? Kenapa bocah itu ada disini?" tanyanya. Ia menarik Donghae untuk menghampiri adiknya diseberang, "Kajja ikut aku." 
"Eh?" Donghae mengikuti ajakan Eunhyuk.
Sooyoung menoleh saat bahunya ditepuk oleh seseorang disampingnya, "Sebentar saja, biar aku habiskan dulu hehe.." jawabnya sekilas, "Eh Oppa?" sadarnya.
Eunhyuk mengernyitkan dahinya, melihat adiknya berdandan layaknya seorang wanita membuatnya aneh, "Hem.. Memang ternyata kau seorang wanita ya jika berdandan seperti ini?" katanya.
"Mwo? Memangnya kau anggap aku ini apa dari dulu."
"Gorila." jawab Eunhyuk asal.
"Yak mau kulempar pakai ini.." geram Sooyoung hampir melempar piring yang ada disana, namun sempat tangannya dicegah oleh Yoona.
"Sudahlah. Jangan ribut - ribut nanti buat malu." kata Yoona.
"Iya. Kau juga masa adikmu sendiri dibilang gorila." susul Donghae.
"Memang, karena dia makan seperti gorila banyak dan rakus." cibirnya.
"Ergghh namja yadong satu ini." kesal Sooyoung.
"Hem kenapa kau bisa disini?" tanya Eunhyuk padanya.
"Buat apa kau tahu huh!" 
"Ah.. Calon tunangan wanitanya teman kampus kami." jawab Yoona ramah.
Wajah Eunhyuk berubah menjadi sumringah saat melihat senyum Yoona, "Oh begitu rupanya, kami juga teman dari Cho Kyuhyun, tunangan prianya. Hehe.."
"Ah begitu, berarti teman dari Donghae Oppa?" tanya Yoona.
Eunhyuk terkejut dan memandang Donghae bingung, "Kalian sudah saling kenal rupanya?"
"Ah. Dia yang menggantikan Seohyun asli waktu itu." jelas Donghae.
"Hem? Menggantikan Seohyun asli?" tanya Eunhyuk sambil mencerna.

Seohyun saat ini berada diruang tunggu sendirian, berkali - kali ia berjalan mondar mandir gelisah. Hari ini ia terlihat cantik dengan mengenakan gaun putih selutut, rambutnya dibiarkan terurai hanya satu jepit cantik menghias dikepalanya.
Ia kembali duduk, satu kakinya menghentak - hentak lantai, ia menarik nafas sangat panjang kemudian membuangnya perlahan dilanjut menggigit kuku jarinya, "Eerghhh otthoke? Kenapa acara pertunangannya secepat ini? Kalau nanti aku harus menikah cepat bagaimana? Arrgghh" ia mencambak pelan kedua sisi ujung rambutnya.
'tok tok' suara ketukan pintu membuat Seohyun segera bangkit dari duduk dan merapikan rambutnya kembali. Eommanya masuk dengan senyum mengembang diwajahnya.
Seohyun memasang wajah merajuk, "Ne Eomma."
"Kau sudah siap Hyunie-ah?" tanya Taeyeon.
Seohyun mengangguk.
"Aigoo.. Senyumlah sedikit, ini kan hari bahagiamu." ujarnya membuat garis senyum dibibir Seohyun dengan dua jarinya.
"Hari bahagia Eomma dan Appa mungkin yang Eomma maksud." jawab Seohyun.
"Hem? Aigoo sudah besar kau masih pula merajuk. Dengarkan Eomma, semua ini kami lakukan demi kebaikan dan masa depan hidupmu lagipula Kyuhyun itu anak yang baik kok."
Seohyun mendehem, mengiyakan perkataan eommanya walau dihatinya berontak.
"Kajja. Kita keluar, acara akan segera dimulai." ajak Taeyeon.
"Ne eomma."

***

Kyuhyun terpaku ketika melihat yeoja didepannya, sesaat ia terpana dengan kecantikan Seohyun yang polos. Sadar akan tingkah laku Kyuhyun yang aneh, Seohyun memberi isyarat dengan kedua mata dan memanyunkan bibirnya sebentar.
'Eh? Apa - apaan tadi. Bagaimana bisa aku terpesona dengan gadis seperti dia. Sadarlah Kyuhyun sadarlah!' ucap Kyuhyun dalam hati sambil menepuk sebelah pipinya.
Semua tatapan para tamu undangan yang hadir diacara pertunangan keluarga besar itu tertuju kedepan podium dimana Kyuhyun dan Seohyun tengah berdiri berhadapan.
MC acara tersebut memberi arahan pada Eomma Kyu untuk memberi cincin pertunangan yang akan disematkan dijari Seohyun.
Kyuhyun menghampiri Tiffany, "Hey Eomma bukankah harusnya dirimu yang memasangkan cincin ini kenapa harus aku?" bisik Kyuhyun.
"Kau ikuti saja arahan dari MC, jangan cerewet." jawab bisik Tiffany tanpa lepas dari senyum kecilnya dihadapan para tamu.
"Tapi Eomma."
"Ikuti atau semua gamemu Eomma hancurkan." ancamnya.
Kyuhyun bergidik ngeri, "Arraseo." ia membalikkan tubuhnya kembali ke posisi semula.

"Woah.. Daebak, pakai MC segala. Kalau aku bertunangan nanti aku akan mengikuti konsep ini. Hem ya." Eunhyuk mengkhayal.
"Jangan berharap terlalu tinggi Oppa. Mana ada yeoja yang mau dengan namja mesum sepertimu." bisik Sooyoung tepat ditelinga Eunhyuk.
Eunhyuk terkejut, "Hey, kau bilang aku apa tadi?"
"Apa aku harus berteriak?" goda Sooyoung, "Hehe.." seringainya.
"Yak dasar kau gorila!" serunya dengan nada pelan namun penuh kesal.
Donghae yang sejak tadi memperhatikan tingkah konyol adik kakak itu hanya terkekeh geli, kemudian ia melihat yeoja disamping Sooyoung. Yoona tampak memperhatikan dengan seksama acara sahabatnya itu, sesekali ia tersenyum dan itu sukes membuat Donghae terpesona. 'Neomu yeppo, lama - lama aku bisa jatuh cinta melihatnya.' gumamnya.

Seohyun mengulurkan jemarinya, lalu Kyuhyun menyematkan cincin itu dijari manis sebelah kiri dan diikuti riuh tepukan tangan dari para tamu sesudahnya. Kedua insan itu memberi senyum dan hormat kepada semuanya.

***

Masih ditengah acara. Seohyun ijin pada Eommanya untuk masuk kedalam ruangan. Ia berjalan sedikit tertatih dan meringis. Ia mendudukkan dirinya dikursi pojok yang ia temukan disana.
Perlahan ia membuka highheels miliknya dan ia temukan luka lecet dibelakang kaki, "Ahh.. Pantas saja.." keluh Seohyun.
"Waeyo?" tanya seorang namja yang tiba - tiba berdiri dihadapannya.
Seohyun mendongak melihat siapa orang yang menanyakannya itu.
"Hem? Kakimu terluka, gwaenchana?" tanyanya kembali.
'Namja tampan dari mana ini?' ucapnya dalam hati.
"Hey nona?" namja itu melambaikan telapak tangannya dihadapan wajah Seohyun.
"Eh nde?"
Namja itu tersenyum, "Aku tanya kau tak apa?"
"Eh gwaenchanayo.. Hehe.." jawab Seohyun sedikit gugup.
Tanpa disuruh namja itu berlutut didepan Seohyun dan menyentuh kakinya, sontak Seohyun terkejut dengan perlakuannya yang tiba - tiba, "Hem kakimu lecet harus cepat diobati jika tidak nanti infeksi."
"Ah.. Tidak apa kok, ini hanya luka kecil saja." jawab Seohyun malu.
"Hey jangan mengacuhkannya.. Mau kubantu?" tawarnya sambil tersenyum manis.
Seohyun tertegun melihat senyuman itu sampai tidak bisa berkata apa - apa.
"Yak! Jung Yonghwa! Jangan suka tebar pesona seperti itu." kata Kyuhyun yang sejak tadi tak sengaja melihat mereka. ia berjalan menghampiri dengan tatapan tak suka.
Namja bernama Yonghwa itu berdiri, "Ah.. Rupanya kau."
"Eh?" Seohyun bengong.
"Kau boleh menggoda gadis lain asal jangan dia. Dia ini milikku!" Kyuhyun menarik pelan lengan Seohyun untuk berdiri.
Seohyun membulatkan matanya denganp ucapan Kyuhyun.
Yonghwa tersenyum, "Ahahaha arraseo. Jadi dia ini tunanganmu?" sadarnya, dia datang telat keacara pertunangan Kyuhyun.
"Ne." Kyuhyun masih dengan sikap dinginnya.
"Cih padahal aku hanya ingin membantunya kok, bahkan kami belum sempat berkenalan."
"Tidak usah, pergi sana. Keluargaku sudah menunggumu. Sana!" usir Kyuhyun seperti anak kecil.
"Haha.. Oke oke memang kau tidak akan suka padaku sampai kapanpun haha. Aku pergi." goda Yonghwa.
Kyuhyun menatap malas orang itu, "Cepat! kenapa masih berdiam disini."
"Ah.. Jangan lupa obati lukamu ya." ucap Yonghwa pada Seohyun.
"Yak!" kesal Kyuhyun.
Seohyun hanya mengangguk. Sedangkan Yonghwa berlalu pergi dengan gelak tawanya.
"Haaiisshh aku heran kenapa orang tuaku bisa menyukai orang itu?" gumamnya.
"Hem? Kau kenal dengannya?" tanya Seohyun.
"Dia anak dari kolega Appaku."
"Hem begitu."
Kyuhyun melihat kaki Seohyun, "Kakimu terluka?"
"Ah ya sedikit, tidak apa kok. Eh?" Seohyun tertegun melihat Kyuhyun sudah berjongkok membelakanginya.
"Cepat naik ke punggungku, kakimu pasti sakit jika dipakai berjalan. ppali, aku akan mengobati kakimu diruang tunggu." ujar Kyuhyun.
Seohyun bengong dengan sikap hangat Kyuhyun, merasa di acuhkan Kyuhyun menoleh dan berdecak.
"Hey cepatlah." suruhnya.
Seohyun terperangah, "Ah ne." kemudian ia naik kepunggung namja yang menjadi tunangannya itu. "Gomawoyo Kyuhyun-ssi."
Kyuhyun mengangguk, "Hey aku beri tau ya. Kau harus mengacuhkan namja tadi jika bertemu."
"Waeyo?"
"Namja serigala berbulu domba itu berbahaya."
"Lebih bahaya mana dibanding denganmu?" cibir Seohyun.
"Mwo? Aku? Aku tidak berbahaya tau." tegasnya.
"Apanya tidak berbahaya? Baru bertemu seorang gadis pertama kali langsung menciumnya tanpa ijin." delik Seohyun.
Kyuhyun tertohok, "Hey hey itu kan kecelakaan."
"Kecelakaan katamu, dasar mesum!" serunya.
"Aku tidak mesum tau!" belanya.
"Sama saja."
"Ah pokoknya kau tidak boleh kenal atau dekat dengannya. Mengerti!"
"Siapa kau melarangku seperti itu."
"Kau itu calon istriku, jadi jangan macam - macam. Kau adalah milikku sekarang." ucap Kyuhyun.
Seohyun tertegun dan terdiam, 'Apa maksudnya itu?'
"Ngomong - ngomong kau berat juga ya.."
"Mwooo????

***

Tbc

FF V - EUNHA (BTS X GFRIEND SHIPPER) - THE HANDSOME FREAK CHAPTER 6

The Handsome freak Chapter 6 Previous  1 ,  2 ,  3 ,  4 ,  5 Title : Fanfiction Chapter Genre : Romance, Comedy Ca...